Monday, March 9, 2009

Tim Peneliti UGM Kembangkan Ganyong untuk Produksi Bio-ethanol

Bagi sebagian orang, rimpang ganyong (Canna edulis Ker) selama ini dipandang sebelah mata sehingga kurang dibudidayakan. Rimpang yang selama ini diketahui hanya sebagai makanan selingan atau tepung pengganti tepung terigu, ternyata juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak tanah dan bensin. Hal ini terungkap setelah Tim Peneliti UGM mengembangkan produksi bio-ethanol dari rimpang kana sebagai salah satu bahan bakar hidrogen.

“Menarik dari ganyong, tanaman ini belum banyak dibudidayakan dan punya potensi besar. Karena mengandung zat pati yang cukup tinggi, gulanya cukup tinggi, sehingga punya potensi untuk bahan bio-ethanol. Selain itu, tanaman itu mudah tumbuh, toleran pada naungan, punya potensi yang cukup tinggi untuk dibudidayakan,” kata Dr. Kumala Dewi, M.Sc., salah seorang anggota tim peneliti dalam Pameran 25 Hasil Kegiatan Penelitian UGM dan Hi-Link Project di Hotel Sheraton Yogyakarta, Selasa (4/3).

Selain Kumala Dewi, peneliti lain adalah Prof. Dra. Endang Sutariningsih Soetarto, M.Sc., Ph.D., keduanya merupakan dosen Fakultas Biologi UGM, serta Prof. Dra. Wega Trisunaryanti, M.S., Ph.D. dari Fakultas MIPA UGM.

Dalam penelitian tersebut, produksi bio-ethanol dilakukan dengan cara memanfaatkan kadar pati di dalam ganyong yang mencapai 15-20 persen. Kandungan pati kemudian dirombak secara hidrolisis untuk menjadi ikatan yang lebih sederhana melalui proses Liquefaction Saccharification.

“Dengan ikatan yang lebih sederhana, rantai glukosa yang lebih panjang, kita potong-potong sehingga menjadi bentuk gula yang sederhana. Selanjutnya difermentasi dengan bantuan khamir yang biasa dipakai sebagai ragi roti,” kata perempuan kelahiran Magelang, 8 April 1966 ini.

Berikutnya dilakukan fermentasi selama 3-4 hari. Hasil fermentasi berupa alkohol. Namun, kadar alkohol akan meningkat tajam selama berlangsung proses fermentasi hingga mencapai 40 persen pada hari keeempat. Hasil fermentasi lalu didestilasi untuk proses pemurnian. Dari destilasi pertama diperoleh bio-ethanol dengan kadar 50-75 persen. Selanjutnya, dilakukan destilasi ulang untuk memperoleh bio-ethanol dengan kadar di atas 90 persen.

“Setelah itu bio-ethanol dapat dimurnikan dengan menggunakan molecular sieves,” tutur Kumala Dewi lebih lanjut. Dari penelitian ini, kualitas kadar bio-ethanol 98 persen dapat memenuhi standar bahan substitusi bensin. Konsentrasi maksimum yang disarankan untuk pencampuran bio-ethanol 98 persen dengan bensin adalah 10 persen.

Disebutkan dalam penelitian itu, satu kilogram (kg) ganyong dapat menghasilkan 120 cc bio-ethanol. Artinya, diperlukan 7-8 kg ganyong untuk menghasilkan satu liter bio-ethanol. Dengan kata lain, diperlukan perbandingan 8:1 untuk dapat menghasilkan bio-ethanol berkadar 75 persen dan perbandingan 12:1 untuk bioethanol berkadar 97-98 persen.

Kumala Dewi bersama anggota tim lainnya melakukan penelitian sejak Juli 2008 setelah mendapat dana hibah dari Hi-Link. Ide untuk memanfaatkan ganyong diperolehnya tahun 1993. Kala itu ia tengah melakukan penelitian budidaya ganyong.

“Di situ saya mendapatkan bahwa ganyong mudah tumbuh dan pembentukan umbinya bisa dimanipulasi sedemikian rupa sehingga produksi lebih banyak. Namun kan, pemanfaatannya banyak yang belum tahu. Selain untuk pangan, karena mengandung pati dan gula maka saya punya ide untuk mengembangkannya sebagai bahan bio-ethanol,” jelas ibu tiga anak ini. (Humas UGM/Gusti Grehenson)

No comments:

Post a Comment

Search Web Here :

Google
Hope all visited can search anything in "Goole Search" above. click button BACK" in page search)