Masyarakat intelektual harus bertanggung jawab atas penyelamatan dan pelestarian warisan budaya lokal. Beberapa peristiwa yang mengancam kelestarian dan keselamatan warisan budaya justru dilakukan oleh sebagian masyarakat intelektual, terdidik, dan lebih paham peraturan perundang-undangan. “Adalah sangat ironis jika masyarakat intelektual yang diberikan anugerah ilmu pengetahuan menjadi penyebab hancurnya budaya bangsa,” kata budayawan UGM Prof. Dr. Timbul Haryono, M.Sc. dalam pidato Dies Natalis ke-63 Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM di Auditorium Poerbatjaraka, Selasa (3/3).
Menurutnya, masyarakat intelektual yang mengancam kelestarian dan keselamatan warisan budaya ini muncul karena masih kurang memahami betapa pentingnya fungsi budaya lokal dalam membentuk kesatuan bangsa. Di samping itu, terdapat faktor kepentingan yang lebih berorientasi pada keuntungan material yang didapat dari kebudayaan lokal. Padahal, kebudayaan lokal memiliki peran penting dalam aspek edukasi, ideologi, dan ekonomi.
Masyarakat intelektual seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat umum. Mereka semestinya berada di baris depan dalam gerakan moral penyelamatan budaya lokal demi kepentingan nasional. “Kita harus mulai dari lokal demi kepentingan nasional. Kita mulai dari lokal menuju global. Lebih baik menyelamatkan budaya lokal untuk kepentingan global daripada mementingkan global, tetapi membahayakan yang lokal,” kata Guru Besar FIB tersebut.
Pendidikan Masyarakat
Proses pendidikan kepada masyarakat untuk membentuk sikap apresiatif terhadap warisan budaya perlu terus dilakukan. Berbagai cara dan media dapat dipilih untuk keperluan itu. Melalui pendekatan edukatif diharapkan dapat dibentuk sikap dan komitmen untuk memelihara dan melestarikan warisan budaya lokal demi kepentingan nasional. Dalam aspek pendidikan, warisan budaya sangat bermanfaat bagi pendidikan bangsa. Di Candi Borobudur dan Prambanan misalnya, tersimpan sumber acuan atau informasi bagi dunia ilmu pengetahuan. Berbagai disiplin ilmu dapat memanfaatkannya, seperti seni lukis, arsitektur, geologi, geografi, ilmu lingkungan hidup, teknologi, dan sebagainya. “Pemanfaatan yang lain, warisan budaya ini sangat penting untuk pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti,” tambah Timbul.
Sementara dalam kepentingan ekonomi, keberadaan warisan budaya akan dapat menunjang perkembangan ekonomi. Terutama perkembangan kepariwisataan, akan sangat erat berkaitan dengan perkembangan ekonomi. Sektor pariwisata telah menjadi andalan dalam pemasukan devisa negara. Namun, semua itu tidak ada artinya jika keselamatan warisan budaya tidak dijaga dengan baik. “Harus disadari, pemanfaatan yang berlebihan atau pemanfaatan yang hanya berorientasi pada kepentingan ekonomi akan dapat mengancam atau bahkan merusak kelestarian dan keselamatan warisan budaya itu sendiri,” jelasnya.
Selanjutnya dikatakan, pendidikan adalah proses yang panjang dan bertahap sehingga kepada peserta didik harus ditanamkan dan ditumbuhkan kesadaran memiliki warisan budaya. Hal itu dapat dilakukan dengan proses “tepung-dunung-srawung” secara apresiatif dan benar. Tahap pertama adalah “tepung” atau dikenal. Artinya, masyarakat perlu diberi penjelasan agar kenal terhadap warisan budayanya sendiri. Dengan demikian, kalau tahap ini sudah dilaksanakan, masyarakat akan “dunung” atau paham secara lebih dalam tentang makna budaya lokal. Pada akhirnya, setelah “dunung” adalah tahap “srawung”. Tahap “srawung” ialah tahap pelaksanaan operasional, yakni dekat dengan budayanya sendiri dan dapat memanfaatkannya untuk kepentingan masyarakat.
“Srawung” yang sudah dilandasi dengan “tepung” dan “dunung” akan berdampak positif. Masyarakat akan benar-benar sadar bahwa budaya lokal adalah bagian dari kehidupan mereka yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Timbul menambahkan “srawung” tanpa didahului oleh “tepung” serta “srawung” yang tidak “dunung” cukup berbahaya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
No comments:
Post a Comment