Kapasitas manajemen keuangan daerah masih buruk. Salah satu indikasinya terlihat pada ketaatan dalam penyerahan laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) tahun 2007 kepada BPK. Hanya 106 LKPD yang diserahkan tepat waktu atau sebelum tenggat 15 Agustus 2008. Sementara itu, 363 berkas diserahkan melebihi batas waktu yang ditentukan. Kenyataan tersebut dikemukakan Gubernur Provinsi Gorontalo, Dr. Ir. Fadel Muhammad, dalam Simposium Nasional bertema “2009 Tanpa Korupsi”. Acara yang diselenggarakan oleh Fakultas Isipol UGM ini digelar di Auditorium Fakultas Teknologi Pertanian UGM pada hari Sabtu, 28 Februari 2009.
Lebih lanjut Fadel menyampaikan temuan BPK tentang pemborosan anggaran di 77 pemda. Pemborosan sebesar Rp170,68 milyar digunakan untuk belanja daerah, mulai dari belanja untuk instansi vertikal hingga tunjangan pimpinan dan anggota DPRD serta pejabat negara dan daerah. Disinggung juga temuan aset daerah dan penyertaan modal pemda yang tidak dapat ditelusuri dan dicatat dalam LKPD. ”Nilainya cukup fantastis, yakni Rp2,83 triliun pada 23 pemda” ujar pria kelahiran 20 Mei 1952 ini.
Berikutnya, temuan BPK lainnya, terdapat 23 pemda yang menyertakan anggarannya untuk kepemilikan saham, penyertaan modal, dan investasi pada bank atau perusahaan daerah. Besaran keperluan tersebut nilainya mencapai Rp1,17 triliun. Ditemukan juga pendapatan daerah, dana bagi hasil, dan dana bantuan dari pemerintah pusat yang dikelola oleh pimpinan daerah di luar sistem APBD. “Nilainya mencapai Rp3,03 triliun pada 44 pemda,” kata Fadel.
Selanjutnya, Fadel mengatakan bahwa untuk melawan dan memberantas korupsi dapat ditempuh dengan reformasi birokrasi daerah melalui model pemerintah wirausaha (entrepreneurial government). Model tersebut diilhami oleh gerakan new public management (NPM) yang telah diadopsi di negara-negara maju. NPM bak payung pelindung berbagai strategi reformasi sektor publik. Terdapat beberapa jalan yang dapat ditempuh untuk menerapkan NPM, yakni melalui kompetisi, pemisahan provider-purchaser, manajemen profesional, dan pengukuran kinerja. Namun, diingatkannya pula untuk berhati-hati dalam menerapkan NPM. NPM lebih berfokus pada aspek ekonomi, efisiensi, dan efektivitas sebuah sistem administrasi yang cenderung mengabaikan ketulusan, orientasi proses, dan akuntabilitas.
Menurutnya, korupsi bukan disebabkan oleh reformasi administrasi publik, tetapi akibat dari kegagalan organisasi. Kegagalan inilah yang memberikan peluang bagi para koruptor. Fadel juga menuturkan beberapa poin yang menjadi sasaran reformasi birokrasi, misalnya aspek kelembagaan. Beberapa hal yang dapat dilakukan, antara lain, adalah dengan menempatkan organisasi sesuai dengan fungsinya, menciptakan budaya organisasi dengan integritas dan kinerja yang tinggi, melaksanakan regulasi dengan tertib, serta meningkatkan kapasitas sumber daya manusia. ’’Mencetak SDM yang berinovasi, efektif, serta tanggap terhadap berbagai permasalahan daerah,” tegasnya. Terkait dengan upaya mewujudkan pemerintahan daerah yang bersih dan transparan, langkah awal yang harus ditempuh adalah pembenahan sumber daya aparatur pemerintahan. Di samping itu, dibutuhkan pelaporan keuangan daerah secara berkelanjutan dan dipublikasikan kepada publik. Reformasi di bidang teknologi juga harus dilakukan.
Selain Fadel, simposium juga menghadirkan pembicara Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi UGM (Zainal Arifin Mochtar, S.H., L.L.M.), Deputi KPK Bidang Pencegahan, Ketua DPRD Yogyakarta, Dr. Wahyudi Kumorotomo, M.P.P., dan Tim A Mahasiswa Jurusan Ilmu Adiminstrasi Negara UGM.
Dalam kesempatan tersebut, Ketua DPRD Yogyakarta, Arif Nur Hartanto, S.I.P., mencoba membandingkan sistem pemilu di Indonesia pada tahun 1999, 2004, dan 2009. Terdapat beberapa fenomena menarik mengenai partisipasi publik dalam kampanye. Pada tahun 1999, partisipasi politik masyarakat terlihat sangat menonjol, termasuk dalam pendanaan parpol. Beban kampanye saat itu lebih banyak ditanggung oleh partisipasi publik. “Tapi panggung politik yang terbangun justru menampilkan perilaku-perilaku koruptif anggota dewan,” katanya.
Arif melanjutkan, kondisi pemilu 2004 jauh berbeda dengan pemilu sebelumnya. Kala itu, partisipasi publik dalam pendanaan merosot tajam. Akibatnya, secara otomatis pembebanan dana kampanye ditanggung oleh para caleg sendiri. Sementara di tahun 2009 ini, sistem pemilu dengan suara terbanyak menjadikan para caleg berkompetisi meraih simpati publik dengan membelanjakan kapasitas finansial materialnya.
Sementara itu, Dr. Wahyudi Kumorotomo, M.P.P., dosen Magister Administrasi Publik UGM, mengemukakan faktor-faktor yang dapat diandalkan untuk mencegah korupsi di daerah, yakni transparansi, kepemimpinan, dan dukungan publik. Ia mengambil contoh kasus, antara lain, di Yogyakarta. Transparansi dilakukan dengan pemanfaatan teknologi informasi dalam birokrasi modern. Faktor lainnya, dukungan publik, terlihat dalam kasus di Solok, Kebumen, dan Yogyakarta. Bupati Solok tidak mungkin dapat mewujudkan kebijakan pemberantasan korupsinya tanpa dukungan optimal dari masyarakat. Terobosan Bupati Kebumen efektif untuk memberantas korupsi karena dukungan masyarakat terhadap pentingnya keterbukaan dalam proses pengadaan barang dan jasa. Demikian halnya Walikota Yogyakarta dapat memanfaatkan teknologi informasi bagi penyelenggaraan pelayanan publik yang bersih karena partisipasi masyarakat. “Upaya pencegahan korupsi memang merupakan pekerjaan bersama dan memerlukan komitmen semua pihak serta dukungan dari semua unsur masyarakat,” jelas Wahyudi.
Pembicara lainnya, Deputi KPK Bidang Pencegahan, EkoTjiptadi, menjelaskan tentang cara-cara yang bisa ditempuh untuk percepatan pemberantasan korupsi. Pelayanan publik yang berkualitas, terbuka, jujur, dan transparan juga merupakan upaya pencegahan korupsi selain melalui reformasi birokrasi. “Tidak melakukan pungutan liar, menolak suap atau imbalan serta menegakkan peraturan bila ada pelanggaran,” terangnya. Upaya lainnya adalah melalui pendidikan anti korupsi. (Humas UGM/Ika)
No comments:
Post a Comment