Krisis yang dihadapi sebuah negara tidak dapat diatasi sendiri oleh pemerintah. Masyarakat harus dilibatkan dan diikutsertakan secara luas untuk rela berkorban demi bangsa dan negaranya. Pengalaman inilah yang dilakukan oleh Korea ketika mengatasi krisis ekonomi di tahun 1997.
“Bagi orang Korea, memaknai krisis itu ada dua. Menganggap krisis sebagai waktu darurat, berbahaya, dan sangat sulit, atau menjadi kesempatan baru untuk mengubah keadaan yang lebih baik,” kata Prof. Yang Seung Yoon dari Hankuk University of Foreign Studies, Korea. Pernyataan itu disampaikannya dalam diskusi terbatas dengan puluhan mahasiswa UGM. Diskusi diselenggarakan dengan mengambil tema “Pengalaman Korea dalam Mengatasi Krisis” bertempat di Ruang Multi Media, Selasa (10/3).
Prof. Yang, 64 tahun, masih ingat saat ibunya merelakan cincin pemberian almarhum ayahnya untuk diserahkan kepada negara yang tengah dilanda krisis. Cincin tersebut telah disimpan ibunya selama 40 tahun. Namun, demi berkorban bagi negara, sang ibu dengan tulus ikhlas menyerahkan peninggalan berharga satu-satunya. Sebagai anak, Prof. Yang sempat melarang dan mencegah ibunya untuk tidak menyerahkan cincin tersebut. Apa jawab sang ibu? “Negara dulu, Bapak nanti,” tiru Prof. Yang.
Menurut profesor tamu Fakultas Isipol dan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM ini, semangat nasionalisme bangsa Korea yang tinggi telah menjadikan Korea lebih cepat pulih dan bangkit mengatasi krisis ekonomi dibandingkan dengan Indonesia. Semangat ini pula yang menjadikan Korea dapat maju menyamai Jepang dalam waktu empat puluh tahun.
Prof. Yang mengingatkan masyarakat Indonesia agar memiliki semangat nasionalisme yang sama untuk membantu bangsanya dalam menghadapi krisis ekonomi. Apa yang dialami bangsa Indonesia saat ini hampir sama dengan Korea pada empat puluh tahun lalu.
Sementara itu, Park See Woo, Presiden Direktur PT Solar Park yang merupakan perusahaan tenaga surya terbesar di dunia, mengatakan krisis yang dihadapi Indonesia tidak sedemikian sulit dibandingkan dengan krisis yang dihadapi Korea saat ini. Ia menyebutkan nilai tukar mata uang Indonesia terhadap dolar mengalami penurunan hingga 2 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Sementara Korea, turun hingga 45 persen.
Dalam kesempatan itu, Park See Woo menganjurkan agar para mahasiswa memanfaatkan potensi energi biomassa yang merupakan energi potensial di masa depan. Karena selain sebagai sumber energi terbarukan, energi biomassa juga merupakan jalan keluar dari ketergantungan manusia pada masalah lingkungan.
“Biomassa merupakan solusi masa depan. Mungkin teknologi ini belum dikuasai Indonesia. Saya yakin, jika bersungguh-sungguh dalam waktu 10 tahun Indonesia bisa memanfaatkan teknologi biomassa ini,” tutur pengusaha yang telah menanamkan investasinya di Wonosobo dalam usaha pembuatan kapsul dari serbuk gergaji.
Dalam pandangannya, Indonesia tidak dapat terus menerus bergantung dengan minyak bumi dan batu bara karena suatu saat akan habis. Sementara itu, potensi energi biomassa di Indonesia merupakan yang terbesar di dunia. Di luar negeri, harganya cukup mahal sehingga Amerika, Rusia, Jepang, Cina, dan Korea sendiri mulai meliriknya saat ini. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
No comments:
Post a Comment