Rakyat dijadikan 'barang murahan' yang seolah-olah dapat 'dibeli' oleh para calon pemimpin Indonesia. Hal tersebut selalu saja terjadi pada setiap pelaksanaan pesta demokrasi, baik pemilihan presiden dan wakil presiden, pemimpin daerah, maupun anggota legislatif. Rakyat senantiasa diposisikan sebagai komoditas dagang yang tidak begitu bernilai. “Kemiskinan rakyat dijual sebagai barang yang dijanjikan akan diselesaikan oleh para aktivis politik dan juga calon pemimpin,” kata Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kerakyatan UGM, Prof. Dr. Ir. San Afri Awang, M.Sc., dalam seminar bulanan di Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Kamis (26/2), dengan tajuk “Rakyat Dijual Murah oleh Partai Politik” .
Indikasi lain yang muncul adalah janji-janji yang dikampanyekan para caleg untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan, tetapi tanpa dipahami konsep dan esensi sesungguhnya tentang ekonomi kerakyatan menurut pasal 33 UUD 1945. Lebih lanjut dikatakannya, “Sebenarnya jika para caleg berkehendak, pastilah mereka dapat memperkuat ekonomi kerakyatan di Indonesia.”
San Afri menambahkan, saat ini para caleg tengah menjalankan dramaturgi, yang diistilahkan oleh Erfin Gufman dalam sosiologi politik sebagai bagian dari narsis dan kebohongan publik. Para aktivis politik bersandiwara di hadapan rakyat, baik melalui kampanye di media cetak maupun elektronik. “Para caleg di depan rakyat ngomong yang manis-manis, tetapi di belakang panggung sudah beda lagi. Mereka hanya ingat pada rakyat saat membutuhkan saja. Saat tidak butuh, rakyat dilupakan begitu saja,” tandasnya.
Banyak partai dalam kampanye menampilkan keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai. Salah satu misalnya adalah mengklaim keberhasilan swasembada pangan. Sementara itu, kesejahteraan petani justru tidak diangkat. Begitu pula dengan subsidi dan distribusi pupuk. Cara-cara seperti ini sesungguhnya tidak akan begitu saja mendulang dukungan rakyat. “Rakyat sebenarnya sudah paham bahwa mereka selalu tertipu oleh caleg dan parpol yang narsis,” imbuhnya.
Terkait dengan persoalan tersebut, San Afri mengajak untuk melihat kembali potret kemiskinan di Indonesia. Data Kompas (13/2) menunjukkan angka kemiskinan penduduk yang terus meningkat dari tahun 2004 sampai dengan 2009. Pada tahun 2004, jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah 28,505 juta jiwa (12,57%) dan tahun 2009 diprediksikan mencapai 33,714 juta jiwa (14,87%). Data tersebut memperlihatkan bahwa kondisi perekonomian rakyat masih sangat memprihatinkan. Kemiskinan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Dilihat dari struktur ekonomi Indonesia, hanya sebanyak 0,2% (0,1%) yang menjalankan usaha besar dan konglomerat (UBK). Sementara itu, pelaku usaha kecil menengah dan koperasi (UKMK) mencapai 99,8% (99,9%). Menilik angka tersebut, tampak bahwa para UBK, yang rata-rata pemain aktif dalam partai politik, justru yang menikmati pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia. Dengan kata lain, para pengusaha dan konglomerat telah memonopoli perekonomian Indonesia. Dijelaskan oleh San Afri, fenomena tersebut menguatkan kembali teori pertentangan kelas, yakni akan adanya kelas masyarakat borjuis dan kelas masyarakat kecil (mikro, menengah). Struktur ekonomi memicu keresahan dan konflik sosial antarkedua kelas tersebut.
Dilontarkannya juga beberapa permasalahan yang perlu dipikirkan lebih lanjut oleh para aktivis partai, caleg, dan calon presiden. Di antaranya, pemikiran untuk mengembalikan rasa percaya diri bangsa agar tidak bergantung pada negara asing. Hal itu dapat dilakukan dengan mencintai dan membeli produk dalam negeri. Perlu juga dilakukan upaya-upaya untuk mengidentifikasi potensi-potensi yang ada di masyarakat dalam pengimplementasian teknologi tepat guna dan penciptaan inovasi produk-produk rakyat. Pada akhir diskusi, San Afri menegaskan agar pada pemilu mendatang, rakyat tidak memilih politisi busuk dan terbuai dengan janji-janji yang dilontarkan. (Humas UGM/Ika)
No comments:
Post a Comment