Friday, October 30, 2009

Pengukuhan Prof. Laksono: Antropologi Dituntut Bekerja pada Isu-Isu Praktis

Peta jalan antropologi sesungguhnya berasal dari kepedulian Prof. Koentjaraningrat, seorang maestro antropologi Indonesia. Prof. Koentjaraningrat sangat besar perhatiannya dalam mengembangkan antropologi domestik Indonesia, antropologi yang mampu memecahkan masalah-masalah besar nasional.

Menurut Prof. Dr. Paschalis Maria Laksono, M.A., jalan yang dipaparkan memang terbatas pada isu identitas budaya, yang mencakup isu integrasi nasional dan perubahan sosial-budaya. “Memang hingga sekarang soal ini masih tetap krusial. Apalagi dengan terjadinya interkoneksi antara komunitas-komunitas tempatan kita dengan dunia akibat globalisasi kapital,” ujarnya, Selasa (27/10), di Balai Senat saat dikukuhkan sebagai guru besar pada Fakultas Ilmu Budaya UGM.

Dalam pidato berjudul “Peta Jalan Antropologi Indonesia Abad Kedua Puluh Satu: Memahami Invisibilitas (Budaya) di Era Globalisasi Kapital”, Laksono memaparkan pendekatan yang kemudian ditawarkan ialah melalui ranah kognitif dan simbolik dengan cara-cara yang reflektif parsipatoris. Dengan demikian, antropologi Indonesia pada abad XXI dituntut bekerja pada isu-isu praktis dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu, bersama dengan warga komunitasnya berupaya pula mengembangkan penelitian untuk mengidentifikasi masalah di sekelilingnya, sekaligus mengidentifikasi diri masyarakat dan antropolog. “Dalam hal ini antropologi ikut bersama masyarakat, berpolitik membangun sejarah baru,” kata pria kelahiran Yogyakarta, 6 April 1953 ini.

Suami Yuliana Widyati Nuraini ini juga mengatakan posisi antropologi tidak bebas nilai. Antropologi menjadi ilmu yang terlibat dalam proses-proses sosial-budaya di masyarakat. Oleh karena itu, dari berbagai pengalaman, antropologi sebaiknya tetap fokus pada isu strategis yang berkaitan dengan ontologi identitas budaya, yakni pada proses bagaimana kesadaran diri yang dialektis menyandarkan pada rantai komunikasi yang jumbuh. “Antara 'saya' dan 'kamu' yang saling memberi pengakuan nyata,” tutur ayah tiga anak ini.

Melalui pemetaan, lanjut Laksono, memperjelas betapa kompleks tantangan antropologi pada masa-masa yang akan datang. Bahkan, dapat disaksikan betapa komunitas-komunitas tempatan di garis depan globalisasi terus mendapat tekanan dari modal, yang secara terus menerus mengapresiasi sumber-sumber alam.

“Mereka dan kita selayaknya sama-sama merasakan betapa sulitnya menegakkan identitas kita dalam situasi yang tertekan. Oleh karena itu, jalan yang terbuka kemudian adalah menautkan antropologi dengan gerakan-gerakan sosial untuk menghindari kegagalan penamaan yang hanya berdasar kekuasaan, yang mengarah pada kekerasan akibat penyingkiran unsur-unsur yang tidak dapat diasimilasi pemegang arus besar masyarakat,” pungkas penerima Fullbright Program Scholar in Residence sebagai dosen tamu di Lafayette College, Easton, Pennsylvania USA, tahun 2005-2006 ini. (Humas UGM)

No comments:

Post a Comment

Search Web Here :

Google
Hope all visited can search anything in "Goole Search" above. click button BACK" in page search)