Sunday, March 29, 2009

Potret Kaum Migran di Era Globalisasi dan Desentralisasi

Telah banyak dilakukan riset intensif tentang migrasi di Indonesia. Namun, belum banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui lebih dalam mengenai komposisi dan karakteristik kaum migran. Bertolak dari kenyataan tersebut, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM berupaya membedah fenomena urbanisasi dari komposisi dan karakteristik demografi para pendatang di 4 kota di Indonesia. Digelarlah Seminar “Compositions and Characteristics of Rural Urban Migrants in Four Indonesian Cities: in the Era Globalization and Decentralization”, Kamis (19/3), di gedung Masri Singarimbun PSKK UGM.


Dalam kesempatan itu dipaparkan berbagai hasil riset yang telah dilakukan oleh Tadjuddin Noer Effendi, Mujiyani, Fina Itriyati, Danang Arif Darmawan, dan Derajad S. Widhyharto. Seminar ini selain bertujuan untuk menyediakan ikhtisar tentang sejarah umum pola migrasi di Indonesia, juga memberikan gambaran demografi dan karakteristik sosial para pendatang, baik pendatang baru (tinggal <5 tahun) maupun lama (tinggal >5 tahun), serta penduduk kota. Survei dilakukan pada 2.436 keluarga yang terdiri atas 6.340 orang.


Dengan mengambil sampel kota Tangerang, Medan, Makasar, dan Samarinda, diperoleh fakta bahwa terdapat perbedaan pola antara pendatang baru, pendatang yang telah lama menetap, dan nonmigran. Pendatang yang telah lama menetap di daerah migrasi menunjukkan perubahan dan mobilitas sosial hampir mendekati karakteristik penduduk kota lainnya. Dalam pemenuhan kebutuhan sosial dan ekonomi, mereka mempunyai tingkat lebih tinggi dibandingkan dengan pendatang baru.


Menurut Tadjuddin, realita tersebut dapat dipahami karena pendatang baru lebih banyak didominasi oleh kaum muda dan belum berkeluarga sehingga berimplikasi pada biaya hidup yang relatif rendah. Di samping itu, terkait juga dengan posisi mereka yang masih berstatus pelajar, khususnya di Makasar dan Medan. Di Makasar, 75% pendatang baru adalah orang yang melanjutkan studi di akademi dan universitas. Jumlah yang lebih sedikit ada di Medan, yakni 45%. “Kontras dengan di Tangerang yang hanya 4% dan Samarinda 26%. Hal ini disebabkan kedua kota tersebut merupakan kota industri sehingga tujuan para pendatang menuju kota tersebut adalah bekerja, bukan untuk belajar,” tutur staf pengajar Fisipol UGM.


Dari data partisipasi pekerja berdasarkan pendidikan dan status migrasi, di setiap kota tampak bahwa pendatang baru yang hanya mengambil pendidikan dalam kurun waktu tidak lebih dari 6 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan pendatang yang telah lama menetap dan nonmigran. Di Tangerang, pendatang baru dengan pendidikan lebih dari 6 tahun memiliki keterlibatan dalam bekerja lebih tinggi daripada yang lain. Sementara di Makasar, pendatang yang mengambil pendidikan lebih tinggi memiliki partisipasi yang rendah untuk masuk dunia kerja. Hal ini sejalan dengan tingginya minat untuk melanjutkan pendidikan di wilayah tersebut.


Terkait dengan keterampilan kerja, terlihat bahwa proporsi pekerja pendatang yang tidak berketerampilan masih sangat tinggi. Hal ini terjadi di semua kota. Fenomena ini berhubungan dengan rendahnya pendidikan para pekerja yang rata-rata setara SMA. Temuan lainnya, proporsi pendatang baru yang tidak dibekali keterampilan lebih banyak dibanding lainnya.

“Berbeda dengan di Samarinda (85%) dan Tangerang (88%), pekerja pendatang baru tanpa bekal keterampilan memiliki proporsi lebih tinggi dibanding nonmigran dan pendatang lama. Hal ini terkait dengan adanya fakta bahwa di kedua kota tersebut para pekerja hanya menempuh pendidikan kurang dari 6 tahun sehingga tidak dibekali dengan kemampuan yang cukup,” jelas Tadjuddin.


Dari segi sektor industri kerja, industri manufaktur, perdagangan, dan restoran merupakan sektor yang paling banyak dalam menyerap tenaga kerja. Di Samarinda dan Tangerang, persentase responden yang bekerja di industri manufaktur lebih tinggi daripada Medan dan Makasar. Untuk Medan dan Makasar, pekerja lebih banyak terserap pada sektor jasa dan perdagangan. Dijelaskan Tadjuddin, “Tingginya proporsi kaum migran yang bekerja di bidang manufaktur di Tangerang terkait dengan pembangunan Tangerang sebagai salah satu pusat industri di Indonesia. Sementara itu di Medan dan Makasar pembangunan tidak difokuskan sebagai kota industri sehingga tidak banyak kesempatan untuk bekerja di bidang tersebut.”


Berbagai perbedaan kondisi perekonomian dan lingkungan sosial pada empat kota tersebut sangat penting dalam memahami dampak urbanisasi di Indonesia. Kota industri, misalnya Tangerang, menampakkan pola yang sangat berbeda dengan Medan dan Makasar dalam sektor ketenagakerjaan dan tingkat kemiskinan. “Yang penting dari riset ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab berbagai perbedaan tersebut dan alasan mereka untuk melakukan urbanisasi,” ucap Tadjuddin. (Humas UGM/Ika)

No comments:

Post a Comment

Search Web Here :

Google
Hope all visited can search anything in "Goole Search" above. click button BACK" in page search)