Pengamat politik UGM, Abdul Gaffar Karim, menyesalkan adanya klaim keberhasilan kebijakan negara dengan cara eksploitasi petani yang dilakukan empat parpol dalam kampanye politiknya. Bentuk klaim parpol berupa keberhasilan manajemen pertanian dan janji penyejahteraan. Klaim keberhasilan manajemen pertanian dilakukan oleh Partai Golkar, Partai Demokrat (PD), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sementara janji penyejahteraan, secara implisit dilakukan oleh Partai Gerindra dan ketiga parpol diatas.
Menurut Gaffar, klaim semacam itu terjadi karena adanya kerancuan sistematik dalam politik dan pemerintahan di Indonesia. Pertama, tidak pas antara sumber mandat kekuasaan dan pola pengelolaan kekuasaan. Kedua, kerancuan antara mekanisme presidensial dan parlementer. Ketiga, absennya etika politik.
“Sistem kita tidak tegas, apakah menganut sistem presidensial atau parlementer,” kata Gaffar dalam Seminar Bulanan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, Kamis sore (5/3).
Lebih lanjut dikatakan Gaffar, meskipun Presiden SBY dipilih dan mendapat mandat dari rakyat, seharusnya ia bebas menentukan dan memilih menteri yang loyal kepadanya untuk duduk di kabinet. Menteri tersebut dapat saja berasal dari Partai Demokrat.
Namun dalam kenyataannya, kabinet pelangi bentukan SBY justru berdasarkan atas koalisi partai, antara lain PD, Golkar, PPP, PAN, dan PKS. Ini menyebabkan beberapa menteri yang berasal dari partai masing-masing mengklaim keberhasilan tugasnya dengan mengatasnamakan bendera partainya saat kampanye. “Bahkan ada menteri yang mengklaim sebagai inisiator kesejahteraan,” imbuh Gaffar.
Adanya klaim keberhasilan dengan mengeksploitasi petani menurut Gaffar disebabkan kalangan petani merupakan salah satu dari dua target konstituen paling menggiurkan di Indonesia. Target lainnya adalah pemilih pemula.
“Pemilih pemula merupakan investasi untuk menjaring konstituen. Sementara para petani, secara statistik jumlahnya masih cukup signifikan,”jelasnya.
Dikatakan Gaffar, saat ini jumlah petani di Indonesia menempati porsi terbesar dalam lapisan masyarakat. Data sensus pertanian tahun 2003 menunjukkan jumlah kepala keluarga (KK) petani berkisar 25,4 juta. Secara sistematis jika diasumsikan tiap KK terdapat minimal tiga jiwa yang memiliki hak suara, jumlah suara yang dapat didulang akan mencapai 76,2 juta.
“Suatu jumlah yang cukup untuk menghantar seorang capres menuju kursi RI 1 dalam satu putaran,” tandas staf pengajar Fisipol UGM ini.
Gaffar juga menyesalkan langkah PDIP yang menyebut dirinya sebagai partai oposisi. Hal itu juga merupakan akibat adanya kerancuan mekanisme presidensial dan parlementer. Menurutnya, partai oposisi lebih lazim dikenal dalam sistem parlementer daripada presidensial.
“Dalam sistem presidensial tidak dikenal yang namanya partai oposisi. Sebaliknya di sistem parlementer, partai oposisi ini dibayar. Tugasnya menrecoki, menganggu pemerintah yang berkuasa, dan memanaskan suasana politik lewat media massa,” katanya.
Gaffar juga menyinggung langkah DPR yang selalu mengkritisi kinerja eksekutif dengan cara memanggil para menteri dan dirjen untuk melaporkan hasil kerjanya. Dalam sistem presidensial seharusnya penilaian kinerja pemerintah ditentukan oleh rakyat dengan cara dipilih kembali atau tidak dipilih dalam pemilu berikutnya.
Selanjutnya Gaffar menilai perlu dilakukan pembenahan dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Pembenahan harus dilakukan secara sistematik, menyeluruh dan tidak tambal sulam, serta perlu penguatan etika politik.
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM, Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum, mempertanyakan klaim keberhasilan oleh 4-5 partai politik tentang swasembada pangan tahun 2008 sebagai bahan materi kampanye.
“Seperti produksi beras 2008 yang kabarnya swasembada beras. Meski masih tanda tanya kebenarannya, setidaknya sudah ada 4-5 parpol lantang menyatakan sukses besar pengabdiannya di balik swasembada yang masih tanda tanya itu,” ujar Maksum. (Humas UGM/Gusti Grehenson
No comments:
Post a Comment