Wednesday, March 18, 2009

Firman Lubis Tawarkan Rekonstruksi Sejarah Sosial Jakarta Era '50-an dan '60-an

Jakarta tahun 1950-an dan 1960-an adalah sekelumit kisah Indonesia yang belum selesai membangun identitas baru pascarevolusi. Para sejarawan membaca dua era tersebut sebagai periodisasi yang menyangkut permasalahan-permasalahan sensitif. Berbagai persoalan tentang sistem politik, kelas, sosialisme, dan pergerakan nasional acap kali menenggelamkan pembahasan penting mengenai keseharian kehidupan masyarakat pada masa tersebut.

Firman Lubis, penulis buku “Jakarta 1950-an: Kenangan Semasa Remaja” dan “Jakarta 1960-an: Kenangan Semasa Mahasiswa”, mencoba menghadirkan nuansa lain dengan merekonstruksi kehidupan masyarakat kala itu. Dalam diskusi kedua bukunya di Auditorium Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Firman menyampaikan rekonstruksi sejarah sosial Jakarta era 1950-an ketika mulai berbenah diri dan membangun kehidupan setelah lepas dari penjajahan Jepang. Diskusi diselenggarakan oleh Jurusan Sejarah FIB UGM, Kamis (12/3).

Pada masa itu, di masyarakat masih banyak perlakuan diskriminatif, pertentangan, dan sifat mementingkan golongan serta kelompok. Karena itu, sangat sulit untuk membangun semangat kebangsaan. “Saat itu, banyak terjadi tarikan-tarikan serta pertentangan yang disertai kekerasan karena kondisi masyarakat yang multiras dan multikultur,” ujar Firman.

Dalam salah satu bukunya, diceritakan suasana revolusi, rasa antikolonialisme, dan kondisi kepemimpinan orde lama di bawah kepemimpinan Soekarno era 1960-an. Firman menuturkan kesaksian pribadinya sebagai pelaku sejarah ketika menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. “Sistem pendidikan masa itu belum mendorong pemikiran mahasiswa untuk berekspresi secara bebas dan kritis,” imbuhnya.

Terkait dengan peristiwa aksi mahasiswa yang mendukung ABRI untuk menumpas PKI, Firman mengatakan bahwa pada awalnya ABRI belum menunjukkan perlawanannya terhadap PKI. Mahasiswalah yang memulai aksi. Didorong rasa ketidakpuasan pada kondisi saat itu, mahasiswa pun bergerak.

Hadir dalam diskusi, Toeti Kakiailatu (mantan wartawan senior Tempo) yang turut membedah buku. Menurutnya, dua buku tersebut memberikan kajian yang berbeda dari buku-buku yang telah ada. Perbedaan lebih terasa karena di dalamnya dibumbui berbagai pengalaman personal penulis.

“Firman telah mengisi kekosongan kisah kehidupan sehari-hari masyarakat yang tengah berkembang dan bertransformasi, serta memberi kesejukan di tengah kemarau panjang kurangnya buku-buku yang mengupas sejarah sosial maupun lokal secara detail,” kata Toeti.

Dituturkannya bahwa buku ini dapat digunakan untuk pembelajaran sejarah kala itu. Hal tersebut berguna dalam membangun Indonesia agar tidak mengulang kesalahan masa lampau dan memperbaiki kondisi ke depan. Sedikit kritik yang disampaikan Toeti, menurutnya penulisan buku ini belum menggunakan acuan dan penggunaan indeks yang sesuai dengan kaidah penulisan baku. (Humas UGM/Ika)

No comments:

Post a Comment

Search Web Here :

Google
Hope all visited can search anything in "Goole Search" above. click button BACK" in page search)