Hutan merupakan sumber daya alam yang tidak ternilai harganya. Luas kawasan hutan Indonesia adalah 120,35 juta hektar. Dengan kawasan seluas itu, Indonesia menempati urutan ketiga hutan tropis terluas di dunia setelah Brazil di Amerika Latin dan Kongo di Afrika. Kekayaan keanekaragaman hayati hutan Indonesia mencakup 13 juta jenis tumbuhan dan satwa hampir 70% spesies di dunia.
Meskipun demikian, fakta di lapangan menunjukkan laju deforestasi masih cukup tinggi, yaitu 1,08 juta hektar/tahun. Melihat nilai absolutnya memang terlihat angka yang cukup besar. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49%, angka itu masih dapat diterima.
Sekditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan RI, Dr. Ir. Haryadi, M.B.A., M.M., mengemukakan hal tersebut dalam seminar nasional yang mengangkat tema “Generasi Muda Cerdas dan Cekatan dalam Perbaikan Lingkungan” di University Club UGM, Rabu (11/2).
Status kawasan hutan saat ini masih bersifat mengambang. Pertumbuhan ekonomi, laju pembangunan, dan pemekaran administrasi pemerintahan menimbulkan tekanan yang cukup besar akan perlunya perubahan tataruang, baik di tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional. Ketidakseimbangan laju perubahan tataruang dengan kemampuan kehutanan untuk mewujudkan legalitas kawasan hutan menyebabkan belum adanya kepastian kawasan.
Haryadi menuturkan penebangan liar saat ini tidak hanya terjadi di kawasan hutan produksi, tetapi telah mulai merambah ke hutan lindung dan hutan konversi. “Produksi kayu ilegal telah mencapai angka 50 juta m kubik/tahun. Di samping itu, negara juga merugi sebesar Rp30 triliun/tahun,” ujarnya.
Fakta lain menunjukkan pembakaran hutan dan ladang, perambahan hutan, konflik manusia dengan hewan, global warming, erosi, tanah longsor, dan banjir merupakan faktor-faktor penyebab kerusakan hutan dan lingkungan selama ini. Berdasarkan fakta terakhir dari interpretasi citra landsat, terdapat 19 kawasan yang perlu direhabilitasi. Luas kawasan adalah 41,75 juta hektar yang terdiri atas hutan negara, meliputi hutan lindung dan konversi (6,30 juta hektar); hutan produksi (15,20 juta hektar); dan lahan kritis di luar hutan (20,25 juta hektar).
Hutan merupakan unsur ekosistem dengan karakteristik khusus dan memiliki fungsi serbaguna. Diperkirakan sekitar 30 juta orang menggantungkan hidupnya dari sektor kehutanan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Di samping itu, fungsi sosial hutan juga sebagai penyangga kehidupan serta sebagai penyedia komoditas kayu, nonkayu, dan jasa.
Terkait dengan kerusakan hutan, Hariyadi menambahkan, dalam ambang batas tertentu hutan memiliki kemampuan memulihkan diri sendiri. Apabila tingkat kerusakan hutan relatif besar dan di luar batas kemampuan, diperlukan campur tangan manusia, teknologi dengan biaya tinggi, energi yang besar, dan waktu yang panjang.
Lantas, bagaimana jalan yang harus ditempuh untuk mengelola hutan di masa mendatang? Hariyadi menyebutkan selain dengan membangun komitmen segenap pemangku kepentingan, juga harus mengembangkan visi dan misi yang jelas, menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas di bidang kehutanan, menata kelembagaan, serta memilih eksekutor yang tepat.
“Gerakan penyelamatan hutan dan lingkungan akan berjalan efektif jika memenuhi empat syarat, yakni paradigma yang jelas, konkret, dan terukur; jejaring yang luas dan mengakar; pemimpin tangguh dengan komitmen sangat kuat; serta momentum yang tepat,” tegas alumnus Fakultas Kehutanan angkatan 1974 ini.
Dalam kesempatan itu, Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum, Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM, juga menyampaikan pemikirannya. Dikatakannya bahwa internalisasi moral lingkungan banyak mengalami kegagalan karena negara tidak berhasil menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada. Internalisasi lingkungan sangat dibutuhkan, tetapi hal itu saja tidak cukup. Di samping membangun kesadaran individu, kesadaran masyarakat secara luas juga harus dibangun untuk dapat mencapai hasil maksimal. Kebijakan serta kapasitas negara yang anti terhadap lingkungan juga menjadi hambatan utama dalam pengelolaan hutan.
”Dikotomi ekonomi yang menganaktirikan agro dan lingkungan sudah saatnya untuk dihentikan. Begitu juga dengan pembangunan sebagai alat ekonomis. Pembangunan kawasan berbasis politik ekologi, politik ekonomi dan politik kesejahteraan sudah waktunya untuk dirancang,” tandas Maksum.
Hal senada juga dikatakan Prof. Dr. Ir. Chafid Fandeli, M.S. yang merupakan staf pengajar Fakultas Kehutanan UGM. Jika ingin membina pembangunan yang berkelanjutan melalui paradigma berwawasan lingkungan, harus dimulai dari kesadaran masing-masing individu, mau mengerti, dan berperilaku secara arif. Perubahan individu juga harus diikuti oleh perubahan dalam masyarakat. “Jika hanya dilakukan pada tataran individu, tetapi masyarakatnya tidak berubah, maka permasalahan secara fundamental tidak bisa terselesaikan,” jelas Chafid.
Sementara itu, Walikota Solo, Ir. Joko Widodo, lebih banyak menyampaikan langkah-langkah yang telah ditempuhnya dalam usaha perbaikan lingkungan. Joko mencontohkan relokasi PKL di beberapa tempat di kota Solo. Tempat lama para PKL dijadikan sebagai ruang hijau terbuka. Selain untuk menciptakan kota yang tertata, hal tersebut juga untuk mewujudkan kawasan berwawasan lingkungan. (Humas UGM/Ika)
No comments:
Post a Comment