Wednesday, June 27, 2012

Populasi Monyet Daun di Gunung Slamet Kian Terancam



YOGYAKARTA - Rekrekan (Presbytis fredericae) atau monyet daun merupakan salah satu primata endemik pemakan daun di kawasan Gunung Slamet yang hingga kini habitatnya kian terancam. Padahal, di Pulau Jawa, tempat hidup primata ini hanya terbatas pada daerah hutan yang terisolasi, seperti Gunung Slamet, Gunung Cupu-Simembut, Gunung Dieng, dan Gunung Lawu.
Habitat yang digunakan oleh rekrekan di Gunung Slamet seluas 33.230 ha dan yang tidak digunakan 24.737 ha. Karena terbatasnya luas hutan pegunungan, perkembangan pembangunan yang meningkat di bidang permukiman, perkebunan, dan pertanian di Pulau Jawa, habitat rekrekan di hutan Gunung Slamet menjadi lebih terancam dari habitat lainnya.
Di Gunung Slamet, rekrekan paling banyak ditemukan di daerah tingkat lereng yang curam. Kelerengan dapat membantu rekrekan terhindar dari predator dan memiliki pandangan yang lebih luas. Oleh karena itu, rekrekan banyak ditemukan pada ketinggian habitat diatas 600 meter di atas permukaan laut. “Ketinggian 1.100-1.300 mdpl merupakan ketinggian dimana rekrekan paling banyak ditemukan, karena pada ketinggian itu ditemukan pakan yang bervariasi,” kata Abdi Fitria, S.Hut, M.P., dalam ujian promosi doktor di fakultas kehutanan, Sabtu (23/6).
Di Gunung Slamet, Rekrekan paling banyak ditemukan pada lereng dengan sudut kemiringan 35-40 derajat sebanyak 28 kelompok dan 131 individu. Sedangkan pada lereng 25-35 derajat ditemukan 9 kelompok dan 43 individu.
Kondisi hutan di area Gunung Slamet yang telah banyak mengalami alih fungsi lahan dari hutan menjadi non hutan. Keberadaan hutan primer dengan kanopi dan tutupan yang luas sangat mempengaruhi keberadaan dan penyebaran primate ini. “Ditemukan 8 kelompok dengan 68 individu di daerah hutan primer,” katanya.
Hutan primer di Gunung Slamet menjadi penting bagi Rekrekan karena adanya ketersediaan pakan alami yang spesifik untuk Rekrekan, sehingga memungkinkan rekrekan untuk dapat berkembang biak dan memperbanyak keturunan. “Semakin luasnya pembukaan lahan, akan semakin mendesak habitat Rekrekan dan akan mengarah pada penurunan jumlah populasi Rekrekan,” ujarnya.
Dari hasil penelitian Abdi Fitri, Rekrekan merupakan golongan primata yang memiliki sistem sosial dengan membentuk kelompok-kelompok kecil. Hal ini kaitannya dengan pencarian dan pemenuhan kebutuhan pakan.”Tidak pernah ditemukan adanya sistem berpindah antar anggota kelompok rekrekan, khususnya individu betina,” kayanya.
Bahkan yang lebih unik lagi, individu jantan dan betina yang telah dewasa akan meninggalkan kelompoknya dengan perlahan dan membentuk kelompok sendiri. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari kompetisi makan antar pejantan dan sebagai upaya memperoleh kehidupan berupa sumber pakan yang lebih berkualitas.
Abdi Fithria mengusulkan, perlu adanya peningkatan sosial ekonomi dan partisipasi masyarakat dalam usaha perlindungan dan pelestarian hutan melalui program ekowisata dan edu wisata. Namun yang tidak kalah penting, ujar Abdi, perlu dilakukan peningkatan status kawasan dan kegiatan pembinaan habitat sehingga ekosistem Gunung Slamet tetap lestari. (Humas UGM/Gusti Grehenson)

Tuesday, June 19, 2012

Tim Polhukam Serap Aspirasi Desain Induk Wawasan Kebangsaan



Pasca reformasi, Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan melihat proses rasa persatuan dan kesatuan bangsa semakin melemah. Banyak nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 mulai ditinggalkan. Sebagai contoh di bidang politik, proses rekrutmen para pemimpin berlabel demokrasi melalui pemilu presiden, pemilu legislatif, dan pemilukada masih diwarnai dengan money politik dan penyimpangan. Para pemimpin pun setelah terpilih mementingkan kelompok dan partai. Sementara itu, sangat besar biaya yang harus dikeluarkan, ratusan hingga miliaran untuk menjadi pemimpin. "Harga yang sangat mahal. Inilah satu hal yang kita lihat di lapangan," ujar Ketua Tim Politik, Hukum, dan Keamanan Deputi VI Menkopolhukam Bidang Kesatuan Bangsa, Dr. Perwira, S.H., M.H., M.Si, di Ruang Multimedia UGM, Kamis (14/6).
Fakta menunjukkan banyak anggota DPR, DPRD, gubernur, dan bupati yang tersangkut masalah korupsi. Survei bahkan menunjukkan DPR sebagai lembaga terkorup di Indonesia. "Inilah salah satu yang mendorong kita, mana titik lemah dari ini semua," katanya.
Menurut Perwira, integritas individu dalam berbagai bidang dan nilai-nilai patriotisme cenderung ditinggalkan. Moralitas di segala bidang kehidupan, seperti politik, ekonomi, hukum, dan budaya semakin merosot. Demikian pula dengan ketertiban masyarakat, para penyelenggara negara dinilai telah kehilangan rasa kritis dan tanggung jawab. "Para pemimpin yang duduk di eksekutif, legislatif, dan yudikatif lebih mempedulikan apa yang bisa diambil dari negara, bukan apa yang bisa diberikan kepada negara. Perhatian pemimpin politik lebih mengutamakan pencitraan dan kenyamanan diri ketimbang memperhatikan kesejahteraan dan keadilan," tambahnya.
Oleh karena itu, saat berbicara dalam acara kunjungan kerja Tim Polhukam RI, ia berharap masukan para akademisi UGM untuk Rencana Penyusunan Desain Induk Pemantapan Wawasan Kebangsaan. Meski empat kementerian/ lembaga telah memiliki pedoman tentang wawasan kebangsaan, Kemenkopolhukam tetap mencoba membuat desain induk sebagai pedoman bagi kementerian/lembaga atau masyarakat dalam upaya pemantapan wawasan kebangsaan.
Kemenkokesra memiliki buku Desain Induk Karakter Bangsa, sedangkan Kemendagri memiliki modul tentang wawasan kebangsaan, lembaga pertahanan nasional, yang berjudul Pemantapan Nilai-Nilai Kebangsaan. Sementara itu, Dewan Ketahanan Nasional mempunyai buku Enkulturasi Empat Pilar Kebangsaan. "Sangat beragam. Namun, yang pasti penyusunan Desain Induk Pemantapan Wawasan Kebangsaan didorong oleh kesepakatan para pemimpin Lembaga Tertinggi Negara pada 24 Mei 2011 lalu bahwa Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan empat pilar yang harus diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," tuturnya.
Wakil Rektor Bidang Sistim Informasi dan Keuangan, Dr. Didi Achjari, S.E., Akt., M.Com., menyambut baik forum ini karena dengan kondisi kampus UGM yang terdiri atas berbagai budaya tentu terdapat banyak isu yang masuk dan membutuhkan saringan wawasan kebangsaan yang kuat. "Kalau tidak, tentu menimbukan risiko. Dampaknya mahasiswa yang mestinya belajar di kampus UGM bisa tidak selesai kuliah, bahkan terseret pada hal-hal yang tidak baik," katanya. (Humas UGM/ Agung)

Wednesday, June 13, 2012

UGM Pertimbangkan Penambahan Kuota Mahasiswa



YOGYAKARTA – Universitas Gadjah Mada (UGM) mempertimbangkan usulan pemerintah tentang penambahan 10% kuota mahasiswa yang diterima dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Pasalnya, penambahan mahasiswa yang diterima untuk studi di UGM harus menyesuaikan dengan kondisi fasilitas dan kapasitas fakultas masing-masing. “Kami akan rapat dengan dekan-dekan Selasa depan membicarakan hal itu,” kata Direktur Administrasi Akademik UGM, Prof. Dr. Budi Prasetyo Widyobroto, D.E.A., D.E.S.S., kepada wartawan usai meninjau pelaksanaan ujian SNMPTN hari kedua di UGM, Rabu (13/6).
Di UGM terdapat 18 fakultas, yang masing-masing memiliki kewenangan dalam menentukan jumlah kuota mahasiswa. “Itu haknya fakultas. Mereka yang tahu kondisi masing-masing,” kata Budi.
Menurut Budi, tentang usulan penambahan kuota sebesar 10% seharusnya pemerintah perlu mempertimbangkan dulu kesiapan setiap universitas dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran, termasuk dukungan pemerintah terhadap infrastruktur dan sumber daya manusia di tiap-tiap perguruan tinggi. Seperti diketahui, untuk tahun ini jumlah calon mahasiswa UGM yang diterima melalui jalur SNMPTN ujian tulis sebanyak 3.442 orang. Apabila usulan penambahan kuota mahasiswa tersebut diterima, UGM akan menambah sekitar 340-an kursi untuk mahasiswa baru.
Menjawab pertanyaan wartawan terkait dengan pelaksanaan ujian SNMPTN pada hari kedua, Budi Prasetyo selaku Ketua Panitia Lokal SNMPTN Yogyakarta mengatakan dari 36.490 peserta yang sudah terdaftar di Panitia Lokal Yogyakarta, sebanyak 2.500 peserta diketahui tidak hadir. Dari tiga lokasi pelaksanaan ujian, di UGM, UNY, dan UIN Sunan Kalijaga, jumlah peserta yang tidak hadir berturut-turut 1.149 peserta 947 peserta, dan 404 peserta. “Jadi, sekitar 6,85 persen yang tidak hadir,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)

Friday, June 8, 2012

Seminar Publikasi Ilmiah Syarat Meraih Gelar Akademik



Terbitnya surat edaran Kemendikbud Nomor 152/E/T/2012 tertanggal 27 Januari 2012 tentang Penulisan dan Publikasi Karya Ilmiah di Jurnal Ilmiah sebagai syarat kelulusan bagi mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 menimbulkan kontroversi dan isu kontemporer di lingkungan akademisi. Di satu sisi, kebijakan tersebut merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kualitas pendidikan di perguruan tinggi. Di sisi lain, bila diterapkan kebijakan itu menimbulkan dilema sebab di Indonesia bertebaran perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, dengan berbagai visi, misi, bentuk, dan kurikulum.
Tidak sedikit perguruan tinggi yang dikelola secara profesional, tetapi ada pula yang dikelola secara abal-abal. Di kota Yogyakarta saja terdapat ratusan perguruan tinggi, mulai dari yang terkenal hingga yang tidak "terdengar". Belum lagi hampir di setiap kabupaten atau kotamadia saat ini berdiri perguruan tinggi. Berbagai permasalahan dihadapi perguruan tinggi menyangkut kualitas sumber daya manusia, khususnya dosen yang andal, mutu lulusan, penelitian, hingga karya-karya intelektual yang dihasilkan.
Terkait dengan hal itu, Himpunan Mahasiswa Pascasarjana (HMP) UGM merangkum semua permasalahan tersebut dalam Seminar dan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk 'Publikasi Ilmiah, Tiket Baru untuk Meraih Gelar Akademik'. Kegiatan yang berlangsung di Ruang Multimedia UGM, Senin (4/6), menghadirkan pembicara Prof. Dr. Harno Pranowo, Pengelola Jurnal Indo of Chem, dan Prof. Dr. Ir. Zuprizal, D.E.A., Asisten Wakil Rektor Senior P3M.
Sebagai akademisi yang berhasil menembus dua jurnal peternakan internasional di Amerika, Zuprizal mengatakan karya tulisan yang berhasil menembus jurnal sebagai ganti syarat penulisan tesis memang cukup menjanjikan. Meski masih dalam perdebatan, bila hal ini disetujui tentu menjadi keuntungan mahasiswa karena tidak harus menulis tebal-tebal laporan akhir.
Pengalaman membuktikan tesis/disertasi yang telah disusun sebagai syarat karya ilmiah untuk kelulusan terkadang hanya sebagai karya ilmiah akhir yang tidak dimanfaatkan. Padahal, untuk menyusunnya terkadang harus mengeluarkan ongkos yang tidak sedikit. "Hingga menjual mobil pun mungkin dilakukan. Namun, apa yang terjadi setelah dinyatakan lulus dan diwisuda? Kan biasanya hanya dirayakan dengan makan-makan, sementara yang namanya tugas karya ilmiah akhir seperti tidak ada artinya. Berbeda dengan tulisan ilmiah yang menembus jurnal-jurnal internasional, cukup 7 hingga 8 halaman, namun memberikan banyak manfaat bagi banyak pihak karena dibaca banyak orang," katanya. (Humas UGM/ Agung)

Search Web Here :

Google
Hope all visited can search anything in "Goole Search" above. click button BACK" in page search)