Rumah Sakit Pendidikan (RSP) di Indonesia belum mempunyai payung hukum. Peraturan khusus, baik berupa undang-undang (UU) maupun peraturan pemerintah (PP), belum ada yang mengatur tentang RSP. Padahal, payung hukum sangat diperlukan untuk mengatur berbagai hal terkait dengan peran, tugas, fungsi, tanggung jawab, perlindungan hukum, dan pendanaan RSP.
Hal tersebut disampaikan alumnus Fakultas Kedokteran UGM, Dr. dr. Sutoto, M.Kes., dalam pidato Dies Natalis ke-63 Fakultas Kedokteran (FK) UGM, Kamis (5/3) di Auditorium FK UGM. Menurut Direktur Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta ini, keberadaan RSP bagi institusi pendidikan kedokteran merupakan suatu hal yang mutlak. RSP berperan sebagai wahana pembelajaran klinik bagi para peserta didiknya.
Peran ini dikuatkan oleh Konsil Kedokteran yang telah mengeluarkan Standar Pendidikan Dokter. Disebutkan dalam standar tersebut, institusi pendidikan kedokteran harus menjamin tersedianya fasilitas pendidikan klinik bagi mahasiswa. Fasilitas terdiri atas RSP dan sarana kesehatan. Beberapa tahun terakhir, pertambahan jumlah institusi pendidikan kedokteran dirasakan sangat pesat, baik milik pemerintah maupun swasta. Kebanyakan dari institusi tersebut belum memiliki sertifikat dan terakreditasi sebagai RSP.
“Banyak rumah sakit yang dipakai untuk wahana pembelajaran klinik oleh pendidikan kedokteran belum memiliki sertifikat dan belum terakreditasi sebagai rumah sakit pendidikan, sedangkan standar pendidikan profesi dokter menyatakan rumah sakit yang digunakan untuk pendidikan harus terakreditasi,” kata pria kelahiran Purwokerto, 21 Juli 1952 ini.
Disebutkan Sutoto, jumlah institusi pendidikan kedokteran berdasarkan data Depdiknas telah mencapai 69. Sementara dari hasil penelitian Depkes dan UGM pada tahun 2003, terdapat 97 rumah sakit yang berfungsi sebagai RSP. Akan tetapi, RSP yang secara resmi memiliki sertifikat dari Menteri Kesehatan RI hanya 39, ditambah dengan 12 Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan.
RSP bertugas melayani masyarakat, mendidik para calon dokter dan dokter spesialis konsultan, serta mendidik tenaga kesehatan lainnya. Di samping itu, RSP juga berfungsi sebagai pusat penelitian kedokteran dan penapisan teknologi kedokteran. Oleh karena itu, RSP bukan hanya padat tugas, padat pakar, dan padat profesi, tetapi juga padat interaksi, padat teknologi, dan padat masalah.
Dengan adanya payung hukum, RSP juga harus mendapat subsidi khusus dari pemerintah karena beban tugasnya lebih besar. Beban yang lebih besar dan banyak pada RSP tentu saja menimbulkan pengeluaran biaya yang lebih besar dibandingkan dengan rumah sakit nonpendidikan.
“Pengeluaran biaya yang lebih besar ini belum didukung oleh pendanaan maupun subsidi khusus dari pemerintah guna menjalankan tugas ganda tersebut,” ujar Sutoto.
Sementara itu, dalam Laporan Dekan FK UGM, Prof. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D. menyampaikan bahwa FK UGM mendukung upaya, rencana pendirian, dan pembangunan Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada sebagai RSP yang dapat bersinergi dengan RSP Dr. Sardjito. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
No comments:
Post a Comment