Yogya, KU
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan sekitarnya secara tektonik merupakan kawasan dengan tingkat aktivitas kegempaan yang cukup tinggi di Indonesia. Kondisi ini disebabkan wilayah tersebut berdekatan dengan zona tumbukan lempeng di Samudera Indonesia. Di samping akibat aktivitas tumbukan lempeng tektonik, daerah Yogyakarta juga sangat rawan gempa bumi akibat aktivitas sesar-sesar lokal di daratan. Kondisi tektonik semacam ini menjadikan Yogyakarta dan sekitarnya sebagai kawasan seismik aktif dan kompleks.
“Sangat mungkin bisa berpotensi terjadi gempa bumi kuat dan tsunami di masa mendatang,” kata peneliti Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika, Daryono,. S.Si., M.Si., dalam seminar bulanan “'Mengantisipasi Ancaman Bencana di Wilayah DIY” di Ruang Seminar PSBA UGM, Sabtu (24/10).
Berdasarkan data sejarah kegempaan, DIY telah 12 kali mengalami bencana gempa bumi merusak, yakni pada tahun 1840 dan 1859 yang juga terjadi tsunami, 1867 (5 tewas dan 327 rumah roboh), 1875, 1937 (2.200 rumah roboh), 1943 (250 orang tewas, 28 ribu rumah roboh), 1957, 1981, 1992, 2001, 2004, serta 2006 lalu.
Menurut Daryono, di Jawa Tengah (Jateng) dan Yogyakarta, sesar-sesar lokal yang masih aktif dan jenis tanah yang gembur dengan kandungan air tanah cukup tinggi tampaknya telah mengamflikasi getaran gempa bumi. Hal itulah yang menyebabkan kerusakan parah di wilayah tersebut. “Gempa bumi Jateng dan Jogja ini merupakan contoh klasik gempa bumi subduksi dangkal yang berpusat di cekungan busur Jawa,” jelasnya.
Daryono menambahkan sejak dahulu Bantul merupakan kawasan yang selalu mengalami kerusakan paling parah setiap terjadi gempa bumi. “Kondisi alam semacam ini merupakan sebuah kenyataan yang harus diterima oleh masyarakat Bantul sehingga suka tidak suka semua itu harus dihadapi oleh penduduk yang tinggal di kawasan seismik aktif,” ujarnya.
Menurut Daryono, pemahaman tentang manajemen bencana perlu dimengerti dan dikuasasi oleh seluruh lapisan masyarakat, pemerintah, dan swasta guna menekan jumlah korban jiwa menjadi sekecil mungkin. Di samping itu, juga untuk meminimalkan kerugian harta benda yang mungkin timbul.
Sementara itu, peneliti PSBA, Dr. Danang Sri Hadmoko, menyoroti pentingnya mewaspadai bencana sekunder akibat gempa bumi. Salah satunya adalah bencana tanah lonsor akibat keretakan tanah daerah pebukitan dan pegunungan pascagempa. “Bulan Januari merupakan bulan yang tedapat kasus tertinggi bencana alam longsor karena konsentrasi curah hujan maksimum,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
No comments:
Post a Comment