Telah banyak dilakukan riset intensif tentang migrasi di Indonesia. Namun, belum banyak penelitian yang dilakukan untuk mengetahui lebih dalam mengenai komposisi dan karakteristik kaum migran. Bertolak dari kenyataan tersebut, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM berupaya membedah fenomena urbanisasi dari komposisi dan karakteristik demografi para pendatang di 4 kota di Indonesia. Digelarlah Seminar “Compositions and Characteristics of Rural Urban Migrants in Four Indonesian Cities: in the Era Globalization and Decentralization”, Kamis (19/3), di gedung Masri Singarimbun PSKK UGM.
Dalam kesempatan itu dipaparkan berbagai hasil riset yang telah dilakukan oleh Tadjuddin Noer Effendi, Mujiyani, Fina Itriyati, Danang Arif Darmawan, dan Derajad S. Widhyharto. Seminar ini selain bertujuan untuk menyediakan ikhtisar tentang sejarah umum pola migrasi di Indonesia, juga memberikan gambaran demografi dan karakteristik sosial para pendatang, baik pendatang baru (tinggal <5 tahun) maupun lama (tinggal >5 tahun), serta penduduk kota. Survei dilakukan pada 2.436 keluarga yang terdiri atas 6.340 orang.
Dengan mengambil sampel kota Tangerang, Medan, Makasar, dan Samarinda, diperoleh fakta bahwa terdapat perbedaan pola antara pendatang baru, pendatang yang telah lama menetap, dan nonmigran. Pendatang yang telah lama menetap di daerah migrasi menunjukkan perubahan dan mobilitas sosial hampir mendekati karakteristik penduduk kota lainnya. Dalam pemenuhan kebutuhan sosial dan ekonomi, mereka mempunyai tingkat lebih tinggi dibandingkan dengan pendatang baru.
Menurut Tadjuddin, realita tersebut dapat dipahami karena pendatang baru lebih banyak didominasi oleh kaum muda dan belum berkeluarga sehingga berimplikasi pada biaya hidup yang relatif rendah. Di samping itu, terkait juga dengan posisi mereka yang masih berstatus pelajar, khususnya di Makasar dan Medan. Di Makasar, 75% pendatang baru adalah orang yang melanjutkan studi di akademi dan universitas. Jumlah yang lebih sedikit ada di Medan, yakni 45%. “Kontras dengan di Tangerang yang hanya 4% dan Samarinda 26%. Hal ini disebabkan kedua kota tersebut merupakan kota industri sehingga tujuan para pendatang menuju kota tersebut adalah bekerja, bukan untuk belajar,” tutur staf pengajar Fisipol UGM.
Dari data partisipasi pekerja berdasarkan pendidikan dan status migrasi, di setiap kota tampak bahwa pendatang baru yang hanya mengambil pendidikan dalam kurun waktu tidak lebih dari 6 tahun lebih tinggi dibandingkan dengan pendatang yang telah lama menetap dan nonmigran. Di Tangerang, pendatang baru dengan pendidikan lebih dari 6 tahun memiliki keterlibatan dalam bekerja lebih tinggi daripada yang lain. Sementara di Makasar, pendatang yang mengambil pendidikan lebih tinggi memiliki partisipasi yang rendah untuk masuk dunia kerja. Hal ini sejalan dengan tingginya minat untuk melanjutkan pendidikan di wilayah tersebut.
Terkait dengan keterampilan kerja, terlihat bahwa proporsi pekerja pendatang yang tidak berketerampilan masih sangat tinggi. Hal ini terjadi di semua kota. Fenomena ini berhubungan dengan rendahnya pendidikan para pekerja yang rata-rata setara SMA. Temuan lainnya, proporsi pendatang baru yang tidak dibekali keterampilan lebih banyak dibanding lainnya.
“Berbeda dengan di Samarinda (85%) dan Tangerang (88%), pekerja pendatang baru tanpa bekal keterampilan memiliki proporsi lebih tinggi dibanding nonmigran dan pendatang lama. Hal ini terkait dengan adanya fakta bahwa di kedua kota tersebut para pekerja hanya menempuh pendidikan kurang dari 6 tahun sehingga tidak dibekali dengan kemampuan yang cukup,” jelas Tadjuddin.
Dari segi sektor industri kerja, industri manufaktur, perdagangan, dan restoran merupakan sektor yang paling banyak dalam menyerap tenaga kerja. Di Samarinda dan Tangerang, persentase responden yang bekerja di industri manufaktur lebih tinggi daripada Medan dan Makasar. Untuk Medan dan Makasar, pekerja lebih banyak terserap pada sektor jasa dan perdagangan. Dijelaskan Tadjuddin, “Tingginya proporsi kaum migran yang bekerja di bidang manufaktur di Tangerang terkait dengan pembangunan Tangerang sebagai salah satu pusat industri di Indonesia. Sementara itu di Medan dan Makasar pembangunan tidak difokuskan sebagai kota industri sehingga tidak banyak kesempatan untuk bekerja di bidang tersebut.”
Berbagai perbedaan kondisi perekonomian dan lingkungan sosial pada empat kota tersebut sangat penting dalam memahami dampak urbanisasi di Indonesia. Kota industri, misalnya Tangerang, menampakkan pola yang sangat berbeda dengan Medan dan Makasar dalam sektor ketenagakerjaan dan tingkat kemiskinan. “Yang penting dari riset ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab berbagai perbedaan tersebut dan alasan mereka untuk melakukan urbanisasi,” ucap Tadjuddin. (Humas UGM/Ika)
Sunday, March 29, 2009
Ekonom UGM: Pilih Caleg dan Capres yang Punya Platform Tumbuhkan Kemandirian Bangsa
Menghadapi pemilihan umum legislatif dan presiden mendatang, ekonom UGM, Revrisond Baswir, mengingatkan para calon pemilih untuk tidak salah menentukan pilihan. Dukungan terutama seharusnya diberikan kepada caleg dan capres yang memiliki platform upaya nasionalisasi aset-aset strategis bangsa.
"Mereka yang memiliki komitmen kuat pada ekonomi kerakyatan dan menumbuhkan kemandirian, tentu harus mendapat dukungan," kata Revrisond. Sudah saatnya mendahulukan kepentingan nasional dan memilih orientasi memajukan kemandirian ekonomi lokal dalam kebijakan pembangunan.
"Indonesia itu butuh ekonomi kerakyatan. Sekarang ini terkesan Pemda dan Dewan memilih kebijakan beri karpet merah untuk memuluskan investasi asing yang justru merugikan ekonomi nasional," tuturnya dalam Seminar "Kemandirian Berbasis Ekonomi Lokal". Seminar diselenggarakan oleh National Press Club Indonesia di Sekolah Pascasarjana UGM, Kamis (19/3).
Hingga kini terdapat 477 daerah tingkat dua dengan 33 pemerintah tingkat provinsi di Indonesia. Dengan otonomi daerah yang ada, dirinya khawatir pejabat daerah salah memilih kebijakan dan melupakan amanat konstitusi sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945.
Dijelaskannya bahwa perekonomian nasional saat ini membutuhkan cukup banyak kehadiran pelaku ekonomi dari pengusaha yang tumbuh di tingkat lokal. Peluang menumbuhkan kemandirian ekonomi membutuhkan dukungan banyak pihak, termasuk kalangan universitas yang berperan menciptakan sumber daya manusia unggul di bidang ekonomi.
Sementara itu, pengusaha nasional yang juga mantan Menteri Tenaga Kerja RI, Abdul Latief, mengatakan perlunya gerakan secara konseptual dan terencana untuk kembali mengembangkan ekonomi kerakyatan. “Untuk menciptakan pelaku ekonomi nasional yang kuat memang butuh proteksi kebijakan yang berpihak kepada ekonomi kerakyatan,” ujarnya.
Abdul Latief tidak mempersoalkan siapa capres dan cawapres terpilih nantinya asalkan ada kejelasan program, khususnya ekonomi, pada kabinet terpilih nanti. Ia mengimbau, “Ekonomi kerakyatan mari terus kita kembangkan, disesuaikan dengan kondisi bangsa saat ini. Silakan saja siapa yang akan memimpin asalkan ada kejelasan dan ketajaman program yang berkomitmen pada kepentingan rakyat.” (Humas UGM/Gusti Grehenson
"Mereka yang memiliki komitmen kuat pada ekonomi kerakyatan dan menumbuhkan kemandirian, tentu harus mendapat dukungan," kata Revrisond. Sudah saatnya mendahulukan kepentingan nasional dan memilih orientasi memajukan kemandirian ekonomi lokal dalam kebijakan pembangunan.
"Indonesia itu butuh ekonomi kerakyatan. Sekarang ini terkesan Pemda dan Dewan memilih kebijakan beri karpet merah untuk memuluskan investasi asing yang justru merugikan ekonomi nasional," tuturnya dalam Seminar "Kemandirian Berbasis Ekonomi Lokal". Seminar diselenggarakan oleh National Press Club Indonesia di Sekolah Pascasarjana UGM, Kamis (19/3).
Hingga kini terdapat 477 daerah tingkat dua dengan 33 pemerintah tingkat provinsi di Indonesia. Dengan otonomi daerah yang ada, dirinya khawatir pejabat daerah salah memilih kebijakan dan melupakan amanat konstitusi sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945.
Dijelaskannya bahwa perekonomian nasional saat ini membutuhkan cukup banyak kehadiran pelaku ekonomi dari pengusaha yang tumbuh di tingkat lokal. Peluang menumbuhkan kemandirian ekonomi membutuhkan dukungan banyak pihak, termasuk kalangan universitas yang berperan menciptakan sumber daya manusia unggul di bidang ekonomi.
Sementara itu, pengusaha nasional yang juga mantan Menteri Tenaga Kerja RI, Abdul Latief, mengatakan perlunya gerakan secara konseptual dan terencana untuk kembali mengembangkan ekonomi kerakyatan. “Untuk menciptakan pelaku ekonomi nasional yang kuat memang butuh proteksi kebijakan yang berpihak kepada ekonomi kerakyatan,” ujarnya.
Abdul Latief tidak mempersoalkan siapa capres dan cawapres terpilih nantinya asalkan ada kejelasan program, khususnya ekonomi, pada kabinet terpilih nanti. Ia mengimbau, “Ekonomi kerakyatan mari terus kita kembangkan, disesuaikan dengan kondisi bangsa saat ini. Silakan saja siapa yang akan memimpin asalkan ada kejelasan dan ketajaman program yang berkomitmen pada kepentingan rakyat.” (Humas UGM/Gusti Grehenson
Sekolah Pascasarjana UGM Rintis Lembaga Mediator Kesehatan Indonesia
Berbagai persoalan sengketa bidang kesehatan sampai saat ini belum dapat diselesaikan secara optimal oleh peradilan, baik di tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung. Hal tersebut mengakibatkan banyak kasus sengketa bidang kesehatan yang menumpuk di lembaga peradilan dan belum terselesaikan. Salah satunya adalah kasus malpraktik. Untuk mengatasi hal itu, solusi yang dapat dipilih, antara lain, dengan melibatkan lembaga mediator kesehatan.
Dalam rangka mengembangkan peran lembaga mediator di bidang kesehatan, Sekolah Pascasarjana UGM merintis munculnya lembaga yang menangani mediasi di bidang kesehatan. Dibentuklah Ikatan Mediator Kesehatan Indonesia (IMKI). Pembentukan lembaga mediator kesehatan ini diresmikan bersamaan dengan dilantiknya pengurus IMKI. Pelantikan dilakukan oleh Direktur Sekolah Pascasarjana UGM yang dalam kesempatan tersebut diwakili oleh Prof. Dr. Ir. Edhi Martono selaku Wakil Direktur.
Dalam pengarahannya, Edhi Martono berharap IMKI sebagai wadah organisasi yang berfungsi menjalankan mediator kesehatan dapat bekerja sesuai dengan budaya luhur bangsa Indonesia.“Kita memiliki tradisi yang baik dalam menyelesaikan segenap masalah, dengan cara menjalankan musyawarah untuk mufakat,” katanya. Di masa mendatang, IMKI diharapkan tidak hanya mengurusi sengketa di bidang kesehatan semata, tetapi merambah di bidang lain yang masih memerlukan mediasi.
Ketua DPP IMKI, Dr. Indra Bastian, kepada wartawan mengatakan di Indonesia baru terdapat empat lembaga mediator kesehatan, meliputi tiga lembaga yang ada di Jakarta dan satu lagi di Yogyakarta yang dibentuk di Sekolah Pascasarjana UGM. “Yogyakarta merupakan kota keempat setelah ada 3 lembaga mediator kesehatan di Jakarta. Salah satunya di Sekolah Pascasarjana UGM,” tuturnya.
Dikatakan Indra, kasus sengketa di peradilan bidang kesehatan saat ini jumlahnya cukup banyak. Oleh karena itu, peran mediator untuk melakukan mediasi sangat penting sebelum sengketa tersebut masuk ke ranah hukum.
Di negara-negara maju seperti Amerika dan Australia, lembaga mediator kesehatan sudah sangat berkembang dan dinilai efektif menyelesaikan sengketa dunia kesehatan. “ Di Indonesia memang belum populer dibandingkan dengan luar negeri. Di sana lembaga seperti ini memang sudah cukup berkembang,” ujar Indra usai mengikuti pelantikan IMKI. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Dalam rangka mengembangkan peran lembaga mediator di bidang kesehatan, Sekolah Pascasarjana UGM merintis munculnya lembaga yang menangani mediasi di bidang kesehatan. Dibentuklah Ikatan Mediator Kesehatan Indonesia (IMKI). Pembentukan lembaga mediator kesehatan ini diresmikan bersamaan dengan dilantiknya pengurus IMKI. Pelantikan dilakukan oleh Direktur Sekolah Pascasarjana UGM yang dalam kesempatan tersebut diwakili oleh Prof. Dr. Ir. Edhi Martono selaku Wakil Direktur.
Dalam pengarahannya, Edhi Martono berharap IMKI sebagai wadah organisasi yang berfungsi menjalankan mediator kesehatan dapat bekerja sesuai dengan budaya luhur bangsa Indonesia.“Kita memiliki tradisi yang baik dalam menyelesaikan segenap masalah, dengan cara menjalankan musyawarah untuk mufakat,” katanya. Di masa mendatang, IMKI diharapkan tidak hanya mengurusi sengketa di bidang kesehatan semata, tetapi merambah di bidang lain yang masih memerlukan mediasi.
Ketua DPP IMKI, Dr. Indra Bastian, kepada wartawan mengatakan di Indonesia baru terdapat empat lembaga mediator kesehatan, meliputi tiga lembaga yang ada di Jakarta dan satu lagi di Yogyakarta yang dibentuk di Sekolah Pascasarjana UGM. “Yogyakarta merupakan kota keempat setelah ada 3 lembaga mediator kesehatan di Jakarta. Salah satunya di Sekolah Pascasarjana UGM,” tuturnya.
Dikatakan Indra, kasus sengketa di peradilan bidang kesehatan saat ini jumlahnya cukup banyak. Oleh karena itu, peran mediator untuk melakukan mediasi sangat penting sebelum sengketa tersebut masuk ke ranah hukum.
Di negara-negara maju seperti Amerika dan Australia, lembaga mediator kesehatan sudah sangat berkembang dan dinilai efektif menyelesaikan sengketa dunia kesehatan. “ Di Indonesia memang belum populer dibandingkan dengan luar negeri. Di sana lembaga seperti ini memang sudah cukup berkembang,” ujar Indra usai mengikuti pelantikan IMKI. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
SMEDC UGM dan PT Danareksa Serahkan Bantuan 25.000 Bibit Pohon Albaziah di Gunungkidul
Sebagai wujud program bina lingkungan, Small and Medium Enterprises Development Centre (SMEDC) UGM bekerja sama dengan PT Danareksa, Tbk. menyerahkan bantuan 25.000 bibit pohon albaziah atau sengon laut kepada Desa Watugajah, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul, Kamis (19/3).
Secara simbolis penyerahan bantuan ditandai dengan penandatanganan oleh Direktur PT Danareksa, Tbk., Kepala SMEDC UGM, Bupati Gunungkidul, Kepala SD Watugajah, dan Kepala TK ABA Dusun Jelok di SD Watugajah, Gedangsari, Gunungkidul.
Kepada wartawan, Kepala SMEDC UGM, Ir. Gatot Murdjito, M.S., mengatakan kegiatan ini merupakan wujud pelaksanaan program sinergi pemberdayaan potensi masyarakat. Program diwujudkan melalui pembudidayaan albaziah guna memenuhi kebutuhan kayu. “Juga untuk mencegah penggundulan, untuk mengurangi erosi, dan longsornya lahan di Watugajah,” tutur Gatot.
Dijelaskannya, bibit albaziah tersebut akan ditanam di lima dusun di Desa Watugajah, yaitu Plasan, Jelok, Gunung Cilik, Taman Sari, dan Watugajah. Tiap dusun mendapatkan 500 bibit. Selanjutnya, bibit diserahkan ke sejumlah RT yang kemudian mendistribusikannya kepada warga. “Untuk kesepakatan hasil 4-5 tahun, 70% untuk warga penanam, 10% untuk RT, 5% untuk RW, 5% untuk dusun, dan 10% untuk UGM,“ rinci Gatot. Dipilihnya albaziah karena melihat pohon jenis ini dalam jangka pendek dapat menghasilkan kayu dengan prospek harga yang bagus.
Menurut Bupati Gunungkidul, Suharto, S.H., Desa Watugajah merupakan wilayah yang memiliki karakteristik alam berbeda dengan daerah lainnya di Gunungkidul. “Watugajah memiliki lapisan tanah yang dalam sehingga bisa ditanami pohon albaziah. Sementara di daerah lain, lapisan tanahnya tidak begitu dalam sehingga sulit untuk ditanami pohon albaziah,” ujarnya. Bupati mengharapkan kegiatan semacam ini nantinya dapat membantu membangun pondasi pertanian yang kuat di Gunungkidul.
Sementara itu, dikatakan oleh Drs. Wahzary Wardaya (Direktur PT Danareksa, Tbk.) bahwa di samping untuk mencegah erosi, penanaman pohon albaziah juga dapat meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat.
Selain bantuan bibit pohon, diserahkan pula bantuan sarana pendidikan kepada SD Watugajah. Bantuan berupa 1 paket alat peraga matematika, 2 unit meja kursi guru, 2 buah komputer, dan buku-buku untuk koleksi perpustakaan. TK ABA Dusun Jelok juga tidak luput dari pemberian bantuan. Satu unit meja kursi guru, 10 meja murid, 4 alat permainan, dan 1 white board dihibahkan sebagai bentuk dukungan terhadap program pendidikan anak usia dini.
Turut hadir dalam kesempatan tersebut, Ketua Senat Akademik UGM (Prof. Dr. dr. Sutaryo), Wakil Dekan Bidang Akademik dan Penelitian Fakultas Peternakan UGM (Dr. Ir. Adiarto, M.Sc.), beberapa pejabat di lingkungan Pemda Gunungkidul, perwakilan dari kelompok tani, perajin perak, pedagang buah dan pedagang hasil pertanian. (Humas UGM/Ika)
Secara simbolis penyerahan bantuan ditandai dengan penandatanganan oleh Direktur PT Danareksa, Tbk., Kepala SMEDC UGM, Bupati Gunungkidul, Kepala SD Watugajah, dan Kepala TK ABA Dusun Jelok di SD Watugajah, Gedangsari, Gunungkidul.
Kepada wartawan, Kepala SMEDC UGM, Ir. Gatot Murdjito, M.S., mengatakan kegiatan ini merupakan wujud pelaksanaan program sinergi pemberdayaan potensi masyarakat. Program diwujudkan melalui pembudidayaan albaziah guna memenuhi kebutuhan kayu. “Juga untuk mencegah penggundulan, untuk mengurangi erosi, dan longsornya lahan di Watugajah,” tutur Gatot.
Dijelaskannya, bibit albaziah tersebut akan ditanam di lima dusun di Desa Watugajah, yaitu Plasan, Jelok, Gunung Cilik, Taman Sari, dan Watugajah. Tiap dusun mendapatkan 500 bibit. Selanjutnya, bibit diserahkan ke sejumlah RT yang kemudian mendistribusikannya kepada warga. “Untuk kesepakatan hasil 4-5 tahun, 70% untuk warga penanam, 10% untuk RT, 5% untuk RW, 5% untuk dusun, dan 10% untuk UGM,“ rinci Gatot. Dipilihnya albaziah karena melihat pohon jenis ini dalam jangka pendek dapat menghasilkan kayu dengan prospek harga yang bagus.
Menurut Bupati Gunungkidul, Suharto, S.H., Desa Watugajah merupakan wilayah yang memiliki karakteristik alam berbeda dengan daerah lainnya di Gunungkidul. “Watugajah memiliki lapisan tanah yang dalam sehingga bisa ditanami pohon albaziah. Sementara di daerah lain, lapisan tanahnya tidak begitu dalam sehingga sulit untuk ditanami pohon albaziah,” ujarnya. Bupati mengharapkan kegiatan semacam ini nantinya dapat membantu membangun pondasi pertanian yang kuat di Gunungkidul.
Sementara itu, dikatakan oleh Drs. Wahzary Wardaya (Direktur PT Danareksa, Tbk.) bahwa di samping untuk mencegah erosi, penanaman pohon albaziah juga dapat meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat.
Selain bantuan bibit pohon, diserahkan pula bantuan sarana pendidikan kepada SD Watugajah. Bantuan berupa 1 paket alat peraga matematika, 2 unit meja kursi guru, 2 buah komputer, dan buku-buku untuk koleksi perpustakaan. TK ABA Dusun Jelok juga tidak luput dari pemberian bantuan. Satu unit meja kursi guru, 10 meja murid, 4 alat permainan, dan 1 white board dihibahkan sebagai bentuk dukungan terhadap program pendidikan anak usia dini.
Turut hadir dalam kesempatan tersebut, Ketua Senat Akademik UGM (Prof. Dr. dr. Sutaryo), Wakil Dekan Bidang Akademik dan Penelitian Fakultas Peternakan UGM (Dr. Ir. Adiarto, M.Sc.), beberapa pejabat di lingkungan Pemda Gunungkidul, perwakilan dari kelompok tani, perajin perak, pedagang buah dan pedagang hasil pertanian. (Humas UGM/Ika)
Friday, March 27, 2009
Sisihkan 616 Karya, Joni Martono Terbaik Lomba Logo 60 Tahun UGM
Setelah dilakukan seleksi terhadap 616 karya logo, Dewan Juri Lomba Desain Logo 60 Tahun UGM menetapkan logo karya Joni Martono, S.Pd., guru SMP Negeri 9 Yogyakarta, menjadi yang terbaik. Menyusul kemudian terbaik kedua, hasil karya seorang desainer grafis asal Kotagede Yogyakarta, Bima Surya Pamila. Juara ketiga diraih Ketut Adhi Apriana yang masih tercatat sebagai mahasiswa ISI Denpasar.
Tim juri yang diketuai oleh Ir. Bambang Hari Wibisono, M.U.P., M.Sc., Ph.D. juga menetapkan I. Putu Adi Permana, mahasiswa STSRD Visi Indonesia, sebagai juara harapan I. Selain itu, Puput Ardiansyah, mahasiswa Teknik Arsitektur UGM, terpilih sebagai juara harapan II. Selain piagam, kepada para pemenang lomba diberikan sejumlah uang. Uang lima juta rupiah berhak dibawa pulang oleh peraih juara pertama. Penyandang gelar juara II dan III masing-masing mendapatkan tiga juta dan dua juta rupiah. Terakhir, para juara harapan memperoleh satu juta rupiah.
Peserta lomba tercatat mencapai 403 orang dengan jumlah karya sebanyak 616 buah. Hal tersebut menunjukkan antusiasme masyarakat terhadap lomba yang digelar UGM ini sangat luar biasa. Peserta lomba bervariasi, mulai dari pelajar SMU, karyawan pemerintah dan swasta, hingga pengajar bergelar doktor. Mereka tidak hanya berasal dari Yogyakarta dan sekitarnya, tetapi juga dari sebagian besar kota di Jawa. Selain itu, peserta dari Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Bali juga turut mengadu kemampuannya dalam perlombaan ini.
Drs. Suryo Baskoro, M.S. selaku Sekretaris Dewan Juri menjelaskan Lomba Desain Logo 60 tahun UGM digelar dalam rangka meningkatkan rasa memiliki warga terhadap UGM. Di samping itu, lomba digelar dengan harapan agar masyarakat turut serta terlibat dalam peringatan Dies Natalis ke-60 UGM. "Yang pasti lomba ini digelar untuk memberikan tetenger khusus 60 tahun UGM berkiprah di tengah masyarakat dan bangsa," tutur Suryo, Kamis (19/3) di kampus UGM.
Dikatakannya, lomba logo dibuka pada 13 Februari 2009 dan ditutup 17 Maret 2009. Sosialisasi lomba dilakukan melalui penyebaran flyer ke unit-unit kerja internal dan posting di website UGM. Untuk penjurian dipilih 10 orang profesional di bidangnya. "Inilah pentingnya memberikan dorongan kepada sivitas akademika UGM dan publik umum untuk berkreasi dalam bentuk karya desain logo 60 tahun UGM," kata Suryo. (Humas UGM)
Tim juri yang diketuai oleh Ir. Bambang Hari Wibisono, M.U.P., M.Sc., Ph.D. juga menetapkan I. Putu Adi Permana, mahasiswa STSRD Visi Indonesia, sebagai juara harapan I. Selain itu, Puput Ardiansyah, mahasiswa Teknik Arsitektur UGM, terpilih sebagai juara harapan II. Selain piagam, kepada para pemenang lomba diberikan sejumlah uang. Uang lima juta rupiah berhak dibawa pulang oleh peraih juara pertama. Penyandang gelar juara II dan III masing-masing mendapatkan tiga juta dan dua juta rupiah. Terakhir, para juara harapan memperoleh satu juta rupiah.
Peserta lomba tercatat mencapai 403 orang dengan jumlah karya sebanyak 616 buah. Hal tersebut menunjukkan antusiasme masyarakat terhadap lomba yang digelar UGM ini sangat luar biasa. Peserta lomba bervariasi, mulai dari pelajar SMU, karyawan pemerintah dan swasta, hingga pengajar bergelar doktor. Mereka tidak hanya berasal dari Yogyakarta dan sekitarnya, tetapi juga dari sebagian besar kota di Jawa. Selain itu, peserta dari Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Bali juga turut mengadu kemampuannya dalam perlombaan ini.
Drs. Suryo Baskoro, M.S. selaku Sekretaris Dewan Juri menjelaskan Lomba Desain Logo 60 tahun UGM digelar dalam rangka meningkatkan rasa memiliki warga terhadap UGM. Di samping itu, lomba digelar dengan harapan agar masyarakat turut serta terlibat dalam peringatan Dies Natalis ke-60 UGM. "Yang pasti lomba ini digelar untuk memberikan tetenger khusus 60 tahun UGM berkiprah di tengah masyarakat dan bangsa," tutur Suryo, Kamis (19/3) di kampus UGM.
Dikatakannya, lomba logo dibuka pada 13 Februari 2009 dan ditutup 17 Maret 2009. Sosialisasi lomba dilakukan melalui penyebaran flyer ke unit-unit kerja internal dan posting di website UGM. Untuk penjurian dipilih 10 orang profesional di bidangnya. "Inilah pentingnya memberikan dorongan kepada sivitas akademika UGM dan publik umum untuk berkreasi dalam bentuk karya desain logo 60 tahun UGM," kata Suryo. (Humas UGM)
Sosialisasi Pemilu KKN PPM UGM: Disangka Kampanye Caleg, Ada yang Minta “Amplop”
Sosialisasi pemilu yang dilakukan pada masa-masa kampanye menjelang pemilu legislatif 9 April 2009 ternyata mendapat respon beragam dari masyarakat. Hal ini dialami puluhan mahasiswa KKN PPM UGM yang bekerja sama dengan KPUD Sleman saat melakukan sosialisasi pemilu di pasar Prambanan, Sleman, Rabu (17/3).
Sosialisasi diikuti masyarakat, baik yang belum tahu, setengah tahu, maupun sudah tahu tentang cara memilih yang dianggap sah. Ironisnya, ada beberapa orang yang meminta amplop uang kepada para mahasiswa. “Dikira kita kampanye caleg-caleg. Mereka ada yang minta dan menanyakan amplop ke kita,” kata Hazwan Iskandar Jaya, anggota KPUD Kabupaten Sleman, yang ditemui di sela-sela sosialisasi. Meski begitu, ia menilai permintaan warga tersebut sebagai hal yang wajar karena selama ini masyarakat terbiasa menerima amplop dari para caleg menjelang pemilu.
Namun, tidak semua yang disosialisasikan berharap ada pemberian uang. Salah satunya, Warjono (60), warga Kecamatan Manisrenggo, Klaten. Sebelumnya, ia tidak mengerti cara mencentang atau mencontreng dalam pemilu kelak. Setelah mendapat sosialisasi dari para mahasiswa, akhirnya ia tahu. “Karena kebetulan saya lewat depan pasar dan menanyakan langsung. Sekarang sudah tahu cara mencontreng” kata Warjono yang sehari-hari bekerja sebagai tukang ojek di pasar Prambanan.
Lain halnya dengan Bambang (51), warga dusun Kranggan, Bokoharjo, Klaten. Ia mengaku sudah tahu cara memilih lewat iklan di televisi. Namun, ia belum tahu letak posisi centangan di kertas suara. “Sudah tahu kalau caranya mencontreng, tapi belum tahu di mana letak centangannya, apa di dalam kotak (di kertas suara), di belakang nama (caleg), atau di bawahnya. Biar tidak keliru dan batal besok (pemilu),” ujar penjual angkringan di depan pasar Prambanan.
Seperti diutarakan Hazwan Iskandar, sosialisasi pemilu di daerah Prambanan tidak mengalami banyak kesulitan karena sebelumnya telah dilakukan sosialisasi oleh para caleg. “Saya kira sudah cukup, mereka sudah familiar karena para caleg sudah masuk ke pedukuhan, RW, dan RT. Kita terbantu dengan caleg yang terjun ke konstituen masing-masing,” ujarnya.
Meski demikian, pihaknya tetap melakukan sosialisasi terkait dengan pendidikan pemilih dan pendidikan politik masyarakat pemilih. “Kalau caleg untuk kepentingan pribadi masing-masing. Kita lebih menyosialisasikan pendidikan pemilih penting untuk pendidikan politik masyarakat karena perbedaan pendapat dan pilihan jangan sampai merusak hubungan komunikasi masyarakat,” tuturnya.
Sosialisasi kali ini merupakan kelanjutan dari sosialisasi sebelumnya yang dilakukan sejak 13 Maret 2009, meliputi pasar Tempel, Gamping, Sleman, Godean, dan terakhir rencananya akan dilaksanakan di Plaza Ambarukmo.
Sosialisasi yang dilaksanakan sejak pukul 08.00 hingga 12.00 ini ditujukan kepada para penjual dan pembeli di area pasar. Koordinator Mahasiswa Unit (Kormanit) KKN PPM Prambanan, Adi Irawan Setyawan, mengaku alasan pemilihan pasar Prambanan sebagai lokasi sosialisasi karena pasar ini memiliki aktivitas paling tinggi dibandingkan dengan pasar-lainnya di Kabupaten Sleman.
“Antusias dari masyarakat cukup positif. Kita targetkan pada para pedagang dan konsumen yang berbelanja. Kita memberikan simulasi di tempat, memberi contoh surat suaranya, untuk menguji sejauh mana pengetahuan mereka tentang cara mencentang, terkait dengan centangan yang dianggap sah. Hampir 75 persen sudah baik,” kata Adi menutup pembicaraan. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Sosialisasi diikuti masyarakat, baik yang belum tahu, setengah tahu, maupun sudah tahu tentang cara memilih yang dianggap sah. Ironisnya, ada beberapa orang yang meminta amplop uang kepada para mahasiswa. “Dikira kita kampanye caleg-caleg. Mereka ada yang minta dan menanyakan amplop ke kita,” kata Hazwan Iskandar Jaya, anggota KPUD Kabupaten Sleman, yang ditemui di sela-sela sosialisasi. Meski begitu, ia menilai permintaan warga tersebut sebagai hal yang wajar karena selama ini masyarakat terbiasa menerima amplop dari para caleg menjelang pemilu.
Namun, tidak semua yang disosialisasikan berharap ada pemberian uang. Salah satunya, Warjono (60), warga Kecamatan Manisrenggo, Klaten. Sebelumnya, ia tidak mengerti cara mencentang atau mencontreng dalam pemilu kelak. Setelah mendapat sosialisasi dari para mahasiswa, akhirnya ia tahu. “Karena kebetulan saya lewat depan pasar dan menanyakan langsung. Sekarang sudah tahu cara mencontreng” kata Warjono yang sehari-hari bekerja sebagai tukang ojek di pasar Prambanan.
Lain halnya dengan Bambang (51), warga dusun Kranggan, Bokoharjo, Klaten. Ia mengaku sudah tahu cara memilih lewat iklan di televisi. Namun, ia belum tahu letak posisi centangan di kertas suara. “Sudah tahu kalau caranya mencontreng, tapi belum tahu di mana letak centangannya, apa di dalam kotak (di kertas suara), di belakang nama (caleg), atau di bawahnya. Biar tidak keliru dan batal besok (pemilu),” ujar penjual angkringan di depan pasar Prambanan.
Seperti diutarakan Hazwan Iskandar, sosialisasi pemilu di daerah Prambanan tidak mengalami banyak kesulitan karena sebelumnya telah dilakukan sosialisasi oleh para caleg. “Saya kira sudah cukup, mereka sudah familiar karena para caleg sudah masuk ke pedukuhan, RW, dan RT. Kita terbantu dengan caleg yang terjun ke konstituen masing-masing,” ujarnya.
Meski demikian, pihaknya tetap melakukan sosialisasi terkait dengan pendidikan pemilih dan pendidikan politik masyarakat pemilih. “Kalau caleg untuk kepentingan pribadi masing-masing. Kita lebih menyosialisasikan pendidikan pemilih penting untuk pendidikan politik masyarakat karena perbedaan pendapat dan pilihan jangan sampai merusak hubungan komunikasi masyarakat,” tuturnya.
Sosialisasi kali ini merupakan kelanjutan dari sosialisasi sebelumnya yang dilakukan sejak 13 Maret 2009, meliputi pasar Tempel, Gamping, Sleman, Godean, dan terakhir rencananya akan dilaksanakan di Plaza Ambarukmo.
Sosialisasi yang dilaksanakan sejak pukul 08.00 hingga 12.00 ini ditujukan kepada para penjual dan pembeli di area pasar. Koordinator Mahasiswa Unit (Kormanit) KKN PPM Prambanan, Adi Irawan Setyawan, mengaku alasan pemilihan pasar Prambanan sebagai lokasi sosialisasi karena pasar ini memiliki aktivitas paling tinggi dibandingkan dengan pasar-lainnya di Kabupaten Sleman.
“Antusias dari masyarakat cukup positif. Kita targetkan pada para pedagang dan konsumen yang berbelanja. Kita memberikan simulasi di tempat, memberi contoh surat suaranya, untuk menguji sejauh mana pengetahuan mereka tentang cara mencentang, terkait dengan centangan yang dianggap sah. Hampir 75 persen sudah baik,” kata Adi menutup pembicaraan. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Bidang Pendidikan dan Ekonomi, Asia Perlu Meniru Model Integrasi Regional Uni Eropa
Negara-negara di kawasan Asia perlu menerapkan model integrasi regional di bidang pendidikan dan ekonomi seperti yang dilakukan Uni Eropa. Meskipun demikian, diperlukan pemahaman secara mendalam dan lebih baik untuk menjadikan Uni Eropa sebagai model integrasi regional di segala bidang. Pendapat tersebut disampaikan dosen Jurusan Hubungan Internasional Fisipol UGM, Dr. Muhadi Sugiono, M.A., di sela-sela penutupan Konferensi Internasional “Hubungan Indonesia-Uni Eropa Terkini”, Selasa malam (17/3), di University Club (UC) UGM.
Menurut ketua penyelenggara konferensi ini, diperlukan pengembangan pemahaman untuk menjadikan Eropa sebagai model integrasi regional. “Selama ini kita punya asumsi yang salah tentang bagaimana Uni Eropa. Entah dalam politik, ekonomi, dan sebagainya,” ujarnya. Perkembangan Uni Eropa tidak dapat ditiru sepenuhnya. “Apabila kita melihat Uni Eropa dengan cara yang salah, cara kita meniru pun juga salah,” imbuhnya.
Konferensi dilaksanakan selama dua hari, yakni 15-17 Maret 2009, di Sekolah Pascasarjana UGM. Materi yang dibahas salah satunya adalah isu aktual dan kajian tentang perkembangan Eropa. Sedikitnya 35 makalah dipresentasikan dalam konferensi yang diikuti 150 peserta ini. Peserta berasal dari 17 perguruan tinggi di Indonesia dan dua universitas di India dan Republik Ceko.
Dikatakan oleh Muhadi Sugiono bahwa di bidang pendidikan, sistem yang diterapkan di Uni Eropa sangat bervariasi, sama seperti Asia. Ada upaya untuk mengembangkan pendidikan agar dapat sesuai satu sama lain. Tujuannya adalah supaya mahasiswa di kawasan Uni Eropa dapat menikmati keuntungan dari integrasi pendidikan itu. “Dari integrasi pendidikan ini, mahasiswa dari tiap negara bisa pindah ke berbagai negara yang lainnya,” ujarnya.
Menurut Muhadi Sugiono, konsep ini sangat menguntungkan jika diterapkan di Asia. Hanya saja, untuk saat ini negara-negara di Asia masih memiliki ego yang sangat tinggi. “Mahasiswa Indonesia mau ke Malaysia sulit karena belum ada sistem yang membuat mereka bisa terbantukan,” jelasnya.
Di bidang ekonomi, Uni Eropa melakukan integrasi dengan membuka diri masing-masing. Dengan begitu, di antara mereka dapat saling mengisi dan memanfaatkan keunggulan masing-masing. “Di ASEAN, kita belum bisa seperti itu. Misalnya Indonesia, banyak berhubungan dagang di luar ASEAN. Singapura melakukan hal yang sama, artinya kita tidak menempatkan negara-negara di kawasan ASEAN sebagai kelompok regional sangat penting,” kata Muhadi Sugiono.
Acara malam penutupan tersebut dihadiri Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Julia Wilson, dan Dirjen Hubungan Amerika-Eropa-Departemen Luar Negeri RI, Retno Marsudi. Dalam pidato sambutannya, Wakil Rektor Senior Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat (WRS P3M) UGM, Prof. Dr. Retno S. Sudibyo, M.Sc. Apt., berharap perguruan tinggi di negara-negara Uni Eropa dapat melakukan kolaborasi dengan UGM.
Diakui WRS P3M, UGM saat ini lebih fokus mengembangkan program pendidikan pascasarjana, di samping program pendidikan tingkat sarjana yang sudah berjalan cukup baik. “Seluruh Mahasiswa UGM berjumlah sekitar 50 ribu orang, berasal dari 33 provinsi dan 51 negara di seluruh dunia,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Menurut ketua penyelenggara konferensi ini, diperlukan pengembangan pemahaman untuk menjadikan Eropa sebagai model integrasi regional. “Selama ini kita punya asumsi yang salah tentang bagaimana Uni Eropa. Entah dalam politik, ekonomi, dan sebagainya,” ujarnya. Perkembangan Uni Eropa tidak dapat ditiru sepenuhnya. “Apabila kita melihat Uni Eropa dengan cara yang salah, cara kita meniru pun juga salah,” imbuhnya.
Konferensi dilaksanakan selama dua hari, yakni 15-17 Maret 2009, di Sekolah Pascasarjana UGM. Materi yang dibahas salah satunya adalah isu aktual dan kajian tentang perkembangan Eropa. Sedikitnya 35 makalah dipresentasikan dalam konferensi yang diikuti 150 peserta ini. Peserta berasal dari 17 perguruan tinggi di Indonesia dan dua universitas di India dan Republik Ceko.
Dikatakan oleh Muhadi Sugiono bahwa di bidang pendidikan, sistem yang diterapkan di Uni Eropa sangat bervariasi, sama seperti Asia. Ada upaya untuk mengembangkan pendidikan agar dapat sesuai satu sama lain. Tujuannya adalah supaya mahasiswa di kawasan Uni Eropa dapat menikmati keuntungan dari integrasi pendidikan itu. “Dari integrasi pendidikan ini, mahasiswa dari tiap negara bisa pindah ke berbagai negara yang lainnya,” ujarnya.
Menurut Muhadi Sugiono, konsep ini sangat menguntungkan jika diterapkan di Asia. Hanya saja, untuk saat ini negara-negara di Asia masih memiliki ego yang sangat tinggi. “Mahasiswa Indonesia mau ke Malaysia sulit karena belum ada sistem yang membuat mereka bisa terbantukan,” jelasnya.
Di bidang ekonomi, Uni Eropa melakukan integrasi dengan membuka diri masing-masing. Dengan begitu, di antara mereka dapat saling mengisi dan memanfaatkan keunggulan masing-masing. “Di ASEAN, kita belum bisa seperti itu. Misalnya Indonesia, banyak berhubungan dagang di luar ASEAN. Singapura melakukan hal yang sama, artinya kita tidak menempatkan negara-negara di kawasan ASEAN sebagai kelompok regional sangat penting,” kata Muhadi Sugiono.
Acara malam penutupan tersebut dihadiri Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Julia Wilson, dan Dirjen Hubungan Amerika-Eropa-Departemen Luar Negeri RI, Retno Marsudi. Dalam pidato sambutannya, Wakil Rektor Senior Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat (WRS P3M) UGM, Prof. Dr. Retno S. Sudibyo, M.Sc. Apt., berharap perguruan tinggi di negara-negara Uni Eropa dapat melakukan kolaborasi dengan UGM.
Diakui WRS P3M, UGM saat ini lebih fokus mengembangkan program pendidikan pascasarjana, di samping program pendidikan tingkat sarjana yang sudah berjalan cukup baik. “Seluruh Mahasiswa UGM berjumlah sekitar 50 ribu orang, berasal dari 33 provinsi dan 51 negara di seluruh dunia,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Pelajar di Yogyakarta, 29,1 Persen Perokok
Sebanyak 29,1 persen remaja usia sekolah di Yogyakarta merupakan perokok aktif. Dari jumlah tersebut, 93 persen adalah laki-laki dan 7 persen perempuan. Data didapatkan dari hasil penelitian Pusat Studi Wanita (PSW) UGM terhadap 400 responden yang berusia 7 sampai dengan 18 tahun. Responden terdiri atas pelajar SD, SMP, SMU, SMK, dan remaja putus sekolah serta anak jalanan yang ada di Yogyakarta.
Dari penelitian yang dilakukan pada 2008 lalu, umur rata-rata remaja Yogyakarta pertama kali merokok adalah 12 tahun 6 bulan. Artinya, mereka telah mulai merokok pada usia setara dengan pelajar SMP kelas satu. Temuan lainnya adalah mereka membelanjakan uang sebesar Rp4.900,00 setiap harinya hanya untuk membeli rokok. Hal tersebut diungkapkan Kepala PSW UGM, Dr. Siti Hariti Sastriyani, S.S., M.Hum.
“Artinya mereka bisa menghabiskan hampir satu bungkus rokok dalam satu hari,” kata Sastriyani. Dari hasil penelitian diketahui pula bahwa lingkungan sekolah menjadi salah satu faktor pendorong para siswa untuk menjadi perokok.
Pernyataan tersebut diamini oleh Sisparyadi, S.Sos, salah seorang anggota tim peneliti PSW UGM. Perilaku merokok mereka dilakukan di lingkungan sekolah. “Lingkungan sekolah dan guru menjadi faktor pendorong para siswa untuk merokok,” katanya. Selain lingkungan dalam sekolah yang permisif bagi siswa untuk merokok, warung-warung di sekitar sekolah pun menjadi tempat ideal untuk merokok. Di samping itu, tempat-tempat hiburan juga menjadi tempat mangkal siswa untuk merokok.
Disebutkan Sisparyadi, penyebab siswa menjadi perokok, antara lain, lingkungan keluarga, pergaulan teman sebaya, lemahnya pangawasan di lingkungan sekolah dan tempat umum, serta pengaruh iklan dan promosi rokok. “Dari lingkungan keluarga 64,4 persen karena meniru perilaku dari ayahnya, sedangkan 3,8 persen mengikuti ibu, dan 70,3 persen meniru perilaku orang di sekitarnya,” rincinya.
Menurut Sastriyani, ada beberapa langkah yang perlu diambil untuk mencegah dan mengurangi bertambahnya remaja berperilaku merokok. Pertama, perlu diterapkan peraturan tidak merokok di dalam rumah dengan pengawasan dan contoh dari orang tua. Langkah kedua, pengawasan dan nasihat orang tua tentang model pergaulan yang dibangun anak dengan teman sebayanya. Ketiga, membatasi pergaulan dengan teman sebaya yang merokok.
Sementara itu, di lingkungan sekolah perlu dibuat aturan larangan merokok dengan sanksi yang tegas dan jelas. “Para guru tidak merokok di sekolah akan mengurangi risiko siswa melanggar peraturan tersebut,” tambah Sastriyani. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Dari penelitian yang dilakukan pada 2008 lalu, umur rata-rata remaja Yogyakarta pertama kali merokok adalah 12 tahun 6 bulan. Artinya, mereka telah mulai merokok pada usia setara dengan pelajar SMP kelas satu. Temuan lainnya adalah mereka membelanjakan uang sebesar Rp4.900,00 setiap harinya hanya untuk membeli rokok. Hal tersebut diungkapkan Kepala PSW UGM, Dr. Siti Hariti Sastriyani, S.S., M.Hum.
“Artinya mereka bisa menghabiskan hampir satu bungkus rokok dalam satu hari,” kata Sastriyani. Dari hasil penelitian diketahui pula bahwa lingkungan sekolah menjadi salah satu faktor pendorong para siswa untuk menjadi perokok.
Pernyataan tersebut diamini oleh Sisparyadi, S.Sos, salah seorang anggota tim peneliti PSW UGM. Perilaku merokok mereka dilakukan di lingkungan sekolah. “Lingkungan sekolah dan guru menjadi faktor pendorong para siswa untuk merokok,” katanya. Selain lingkungan dalam sekolah yang permisif bagi siswa untuk merokok, warung-warung di sekitar sekolah pun menjadi tempat ideal untuk merokok. Di samping itu, tempat-tempat hiburan juga menjadi tempat mangkal siswa untuk merokok.
Disebutkan Sisparyadi, penyebab siswa menjadi perokok, antara lain, lingkungan keluarga, pergaulan teman sebaya, lemahnya pangawasan di lingkungan sekolah dan tempat umum, serta pengaruh iklan dan promosi rokok. “Dari lingkungan keluarga 64,4 persen karena meniru perilaku dari ayahnya, sedangkan 3,8 persen mengikuti ibu, dan 70,3 persen meniru perilaku orang di sekitarnya,” rincinya.
Menurut Sastriyani, ada beberapa langkah yang perlu diambil untuk mencegah dan mengurangi bertambahnya remaja berperilaku merokok. Pertama, perlu diterapkan peraturan tidak merokok di dalam rumah dengan pengawasan dan contoh dari orang tua. Langkah kedua, pengawasan dan nasihat orang tua tentang model pergaulan yang dibangun anak dengan teman sebayanya. Ketiga, membatasi pergaulan dengan teman sebaya yang merokok.
Sementara itu, di lingkungan sekolah perlu dibuat aturan larangan merokok dengan sanksi yang tegas dan jelas. “Para guru tidak merokok di sekolah akan mengurangi risiko siswa melanggar peraturan tersebut,” tambah Sastriyani. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Puluhan Guru Biologi SMA Ikuti Kursus Singkat Pengenalan Aplikasi Teknologi PCR
Puluhan guru SMA bidang studi Biologi dan mahasiswa mengikuti kursus singkat tentang teknologi aplikasi Polymerase Chain Reaction (PCR) di Laboratorium Genetika Fakultas Biologi UGM, Selasa (17/3). Demonstrasi replikasi DNA dengan teknik PCR ini dilaksanakan dalam rangka penjajakan kerja sama bidang biologi molekular dan sosialisasi pengembangan ilmu dasar antara Fakultas Biologi UGM dengan Kassel University, Jerman.
Dalam kesempatan tersebut, disampaikan presentasi oleh Jeans Gebrauer, staf Organic Agriculture Kassel University, Jerman. Dikemukakannya bahwa PCR merupakan teknologi dalam biologi molekular yang telah diterapkan meluas untuk berbagai macam analisis biologi molekular.
Ia mengatakan aplikasi teknologi metode PCR adalah tiruan dari proses replikasi DNA in vivo (dalam tubuh induk). Cara kerja PCR terdiri atas tiga siklus, yakni pembukaan rantai DNA utas ganda (denaturasi), penempelan primer (annealing), dan perpanjangan rantai DNA baru (extension) hingga menghasilkan duplikasi DNA yang diinginkan.
Dituturkan oleh salah seorang peserta, Arifin, S.Si. yang merupakan guru SMA Kolese de Britto, untuk tingkat SMA pengetahuan tentang metode PCR baru sebatas teori dan belum sampai praktik karena keterbatasan peralatan. Di tataran teori pun, materi bioteknologi tidak bisa diberikan secara mendalam karena keterbatasan waktu.
“Menurut saya, kurikulum kita belum mendukung pendalaman bioteknologi. Waktu yang dialokasikan hanya 1 semester di kelas XII. Itu pun masih dibagi ke dalam beberapa pokok bahasan,” terangnya.
Selain mahasiswa dari Fakultas Biologi UGM, kursus ini diikuti oleh guru biologi dari beberapa SMA di Yogyakarta, antara lain, SMAN 1 Yogyakarta, SMAN 4 Yogyakarta, SMA Kolese De Britto, dan SMA Stella Duce. (Humas UGM/Ika)
Dalam kesempatan tersebut, disampaikan presentasi oleh Jeans Gebrauer, staf Organic Agriculture Kassel University, Jerman. Dikemukakannya bahwa PCR merupakan teknologi dalam biologi molekular yang telah diterapkan meluas untuk berbagai macam analisis biologi molekular.
Ia mengatakan aplikasi teknologi metode PCR adalah tiruan dari proses replikasi DNA in vivo (dalam tubuh induk). Cara kerja PCR terdiri atas tiga siklus, yakni pembukaan rantai DNA utas ganda (denaturasi), penempelan primer (annealing), dan perpanjangan rantai DNA baru (extension) hingga menghasilkan duplikasi DNA yang diinginkan.
Dituturkan oleh salah seorang peserta, Arifin, S.Si. yang merupakan guru SMA Kolese de Britto, untuk tingkat SMA pengetahuan tentang metode PCR baru sebatas teori dan belum sampai praktik karena keterbatasan peralatan. Di tataran teori pun, materi bioteknologi tidak bisa diberikan secara mendalam karena keterbatasan waktu.
“Menurut saya, kurikulum kita belum mendukung pendalaman bioteknologi. Waktu yang dialokasikan hanya 1 semester di kelas XII. Itu pun masih dibagi ke dalam beberapa pokok bahasan,” terangnya.
Selain mahasiswa dari Fakultas Biologi UGM, kursus ini diikuti oleh guru biologi dari beberapa SMA di Yogyakarta, antara lain, SMAN 1 Yogyakarta, SMAN 4 Yogyakarta, SMA Kolese De Britto, dan SMA Stella Duce. (Humas UGM/Ika)
Fakultas Biologi Terima "Opset" Hewan Dilindungi Dari BKSDA Propinsi DIY
Badan Koordinasi Sumber Daya Alam (BKSDA) menyerahkan sejumlah "opset" hewan dilindungi kepada Fakultas Biologi UGM. Penyerahan enam "opset" macan, enam cenderawasih, dan lima penyu ini disampaikan Kepala BKSDA, Ir. Djohan Hutama Perbahsari, M.M. kepada Dekan Fakultas Biologi UGM, Dr. Retno Peni Sancayaningsih, M.Sc. Upacara penyerahan berlangsung pada Selasa (17/3), di Museum Biologi, Jalan Sultan Agung, Yogyakarta, disaksikan Ketua Badan Musyawarah Museum (KRT Thomas Haryo Nagoro), Kepala Museum Biologi (Drs. Trijoko, M.Si.), dan perwakilan Kassel University-Jerman (Dr. Jen Gebauer).
Peni menyambut baik penyerahan tersebut karena merupakan salah satu bentuk kepercayaan BKSDA kepada Fakultas Biologi UGM. "Kepada BKSDA saya mengucapkan terima kasih karena memang sebetulnya konservasi ini menjadi tanggung jawab kita bersama," katanya.
Pemberian sejumlah "opset" hewan ke Museum Biologi dinilai sangat tepat karena tempat tersebut dapat menjadi fasilitas pendidikan bagi siswa-siswa SD, SMP dan SMA. "Museum ini tentunya akan sangat membantu mereka untuk tahu secara persis bahwa hewan-hewan ini yang menjadi concern kita untuk perlindungan di masa yang akan datang," tutur Peni.
Ia meyakini pendidikan akan memberikan sumbangan bagi pengembangan mentalitas anak didik. Mereka diharapkan paham betul akan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia. "Sementara jumlah kekayaan itu tak terhingga dan perlu dilindungi secara bersama," lanjutnya.
Dalam acara tersebut dilakukan penandatanganan berkas serah terima oleh BKSDA dan Fakultas Biologi UGM. BKSDA bertekad menjadi garda depan dalam melindungi biodiversitas di Indonesia. Ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab terhadap hewan-hewan dilindungi semakin memprihatinkan. "Beberapa malahan diekspor. Ini tentu menjadi concern bersama, bahkan akhir-akhir ini ular dan gigi harimau banyak yang diekspor. Ini tentu menjadi tanggung jawab kita bersama," imbuh Peni.
Museum Biologi dikunjungi rata-rata 1.800 orang per tahun. Jumlah ini memiliki kecenderungan meningkat. Untuk pengembangan ke depan, akan dilakukan kerja sama lingkup instansi dan menyinergikannya dalam bentuk wisata museum. Museum dirancang nantinya akan disatukan dengan Taman Pintar dan museum-museum lain, seperti Museum Sentalu.
Peni menambahkan, "Dalam waktu tidak lama lagi, kami berharap akan ada training singkat tatanama secara sistematika untuk staf BKSDA. Dengan training ini diharapkan akan dihasilkan penulisan specimen secara benar dan tepat." (Humas UGM)
Peni menyambut baik penyerahan tersebut karena merupakan salah satu bentuk kepercayaan BKSDA kepada Fakultas Biologi UGM. "Kepada BKSDA saya mengucapkan terima kasih karena memang sebetulnya konservasi ini menjadi tanggung jawab kita bersama," katanya.
Pemberian sejumlah "opset" hewan ke Museum Biologi dinilai sangat tepat karena tempat tersebut dapat menjadi fasilitas pendidikan bagi siswa-siswa SD, SMP dan SMA. "Museum ini tentunya akan sangat membantu mereka untuk tahu secara persis bahwa hewan-hewan ini yang menjadi concern kita untuk perlindungan di masa yang akan datang," tutur Peni.
Ia meyakini pendidikan akan memberikan sumbangan bagi pengembangan mentalitas anak didik. Mereka diharapkan paham betul akan kekayaan alam yang dimiliki Indonesia. "Sementara jumlah kekayaan itu tak terhingga dan perlu dilindungi secara bersama," lanjutnya.
Dalam acara tersebut dilakukan penandatanganan berkas serah terima oleh BKSDA dan Fakultas Biologi UGM. BKSDA bertekad menjadi garda depan dalam melindungi biodiversitas di Indonesia. Ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab terhadap hewan-hewan dilindungi semakin memprihatinkan. "Beberapa malahan diekspor. Ini tentu menjadi concern bersama, bahkan akhir-akhir ini ular dan gigi harimau banyak yang diekspor. Ini tentu menjadi tanggung jawab kita bersama," imbuh Peni.
Museum Biologi dikunjungi rata-rata 1.800 orang per tahun. Jumlah ini memiliki kecenderungan meningkat. Untuk pengembangan ke depan, akan dilakukan kerja sama lingkup instansi dan menyinergikannya dalam bentuk wisata museum. Museum dirancang nantinya akan disatukan dengan Taman Pintar dan museum-museum lain, seperti Museum Sentalu.
Peni menambahkan, "Dalam waktu tidak lama lagi, kami berharap akan ada training singkat tatanama secara sistematika untuk staf BKSDA. Dengan training ini diharapkan akan dihasilkan penulisan specimen secara benar dan tepat." (Humas UGM)
Sunday, March 22, 2009
Dosen UGM Manfaatkan Potensi Aluminium Bekas di Yogyakarta
Di Yogyakarta, barang bekas berbentuk aluminium (skrap) tidak lagi dibuang di tempat sampah atau dijual ke pengumpul untuk dijual kembali ke pabrik. Saat ini, aluminium bekas telah banyak dimanfaatkan oleh para perajin. Setelah melewati “daur ulang cerdas”, mereka menyulap barang bekas tersebut menjadi barang-barang yang dapat digunakan kembali. Para perajin tidak hanya dapat menghasilkan produk alat-alat rumah tangga, seperti wajan, panci, dan alat kukus, tetapi juga jenis produk lainnya, antara lain aksesoris dan perlengkapan otomotif.
Cikal bakal metode ini diperkenalkan oleh Dr. Suyitno, S.T., M.Sc. yang merupakan staf pengajar Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik UGM. Sekarang ini telah ada sekurang-kurangnya 59 unit usaha yang bergerak dalam usaha daur ulang aluminium dan berhasil menyerap 971 tenaga kerja langsung.
“Bahan baku aluminium di Yogyakarta per tahun mencapai 120 ton sehingga potensial untuk dimanfaatkan dan menyerap tenaga kerja lokal,” kata Suyitno saat ditemui di ruang kerjanya.
Suyitno menceritakan awal mula pengenalan daur ulang cerdas kepada perajin di Yogyakarta. Semua berangkat dari keprihatinannya terhadap perajin alumunium yang hanya menghasilkan produk seragam dan massal, yakni peralatan rumah. “Kondisi ini menjadi dilematis. Saat bahan baku produksi mengalami kelangkaan di pasaran dan para perajin tidak bisa menaikan harga jual, yang terjadi adalah kelesuan di sektor usaha ini,” ujarnya.
Akhirnya, untuk mengatasi kondisi tersebut, Suyitno menawarkan kepada perajin untuk melakukan diversifikasi produk hasil daur ulang alumunium. Dikatakan oleh pria yang meraih gelar master dan doktor di Department of Materials Science and Engineering Delft University of Technology, Belanda, ini bahwa pendampingan terhadap perajin skrap Yogyakarta telah dimulai sejak 2006. Saat itu, ia membuat segmentasi pada perajin skrap dengan berdasar output yang dihasilkan.
Menurut Suyitno, ada empat kelompok perajin. Pertama, perajin yang tetap fokus meneruskan produksi alat rumah tangga. Kelompok kedua, perajin yang berfokus membuat aksesoris. Ketiga, perajin yang fokus pada pembuatan alat-alat otomotif. Yang terakhir adalah kelompok perajin yang memproduksi ingot. Ingot adalah alumunium yang telah dilebur, tetapi hanya dibentuk batangan-batangan, belum menjadi suatu produk.
Daur ulang aluminium ini memiliki berbagai keunggulan. Keunggulannya ialah dapat menjadi tradisi yang tiada henti, memberikan kontribusi bagi lingkungan, proses lebih sederhana, hemat energi, dan dapat menjadi bisnis internasional. “Alumunium merupakan bahan yang sangat luwes. Berbagai produk peralatan rumah tangga sampai teknologi modern bisa dihasilkan dari bahan alumunium,” jelas Suyitno.
Konsep “daur ulang cerdas” pada prinsipnya adalah melakukan daur ulang dengan pemilahan skrap. Skrap kemudian dikelompokkan sesuai dengan jenisnya. Setelah itu dilakukan peleburan secara terpisah dan dicetak. “Misal barang bekas alat rumah tangga, didaur ulang menjadi alat rumah tangga. Bekas otomotif didaur ulang menjadi perlengkapan otomotif. Begitu juga dengan skrap lainnya,” tutur pria yang menekuni kajian metalurgi ini.
Pemisahan sangat berpengaruh terhadap kualitas produk hasil daur ulang. Melalui pemisahan skrap akan dihasilkan produk dengan kualitas yang lebih tinggi. Jika tidak dilakukan pemisahan, yang dihasilkan adalah produk berkualitas rendah. “Produk-produk berkualitas tinggi tercampur dengan produk berkualitas rendah, maka output yang dihasilkan adalah produk yang kualitasnya juga rendah. Secara otomatis produk yang dihasilkan kualitasnya akan turun karena pencampuran tersebut,” kata Suyitno.
Lebih lanjut dijelaskannya, proses peleburan juga sangat penting dalam upaya peningkatan kualitas produk. Sebagai contoh, tempat yang digunakan sebagai wadah peleburan dapat mempengaruhi kualitas output. Wadah peleburan dari besi dapat menurunkan kualitas produk karena besi akan turut larut di dalamnya. Suyitno menawarkan keramik sebagai wadah peleburan untuk dapat menghasilkan produk yang berkualitas tinggi.
Selama ini perajin memang belum mampu mencampur dan mengomposisi bahan. Harapannya, para perajin tidak hanya dapat melakukan daur ulang, tetapi juga mampu menciptakan suatu produk. “Ke depannya saya akan mulai menularkan pengetahuan secara teknis pembuatan produk-produk dari skrap. Mulai dari bahan apa saja yang harus digunakan serta besaran persentase bahan penyusunnya,” kata Suyitno.
Dicontohkannya, untuk membuat veleg motor, bahan-bahan penyusunnya adalah mangan, silikon, dan alumunium. Persentase penggunaan bahan seusai dengan standar dunia. “Karena produknya bisa menjadi bisnis internasional,” ujar pria kelahiran Semarang, 3 November 1970 ini. (Humas UGM/Ika)
Cikal bakal metode ini diperkenalkan oleh Dr. Suyitno, S.T., M.Sc. yang merupakan staf pengajar Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik UGM. Sekarang ini telah ada sekurang-kurangnya 59 unit usaha yang bergerak dalam usaha daur ulang aluminium dan berhasil menyerap 971 tenaga kerja langsung.
“Bahan baku aluminium di Yogyakarta per tahun mencapai 120 ton sehingga potensial untuk dimanfaatkan dan menyerap tenaga kerja lokal,” kata Suyitno saat ditemui di ruang kerjanya.
Suyitno menceritakan awal mula pengenalan daur ulang cerdas kepada perajin di Yogyakarta. Semua berangkat dari keprihatinannya terhadap perajin alumunium yang hanya menghasilkan produk seragam dan massal, yakni peralatan rumah. “Kondisi ini menjadi dilematis. Saat bahan baku produksi mengalami kelangkaan di pasaran dan para perajin tidak bisa menaikan harga jual, yang terjadi adalah kelesuan di sektor usaha ini,” ujarnya.
Akhirnya, untuk mengatasi kondisi tersebut, Suyitno menawarkan kepada perajin untuk melakukan diversifikasi produk hasil daur ulang alumunium. Dikatakan oleh pria yang meraih gelar master dan doktor di Department of Materials Science and Engineering Delft University of Technology, Belanda, ini bahwa pendampingan terhadap perajin skrap Yogyakarta telah dimulai sejak 2006. Saat itu, ia membuat segmentasi pada perajin skrap dengan berdasar output yang dihasilkan.
Menurut Suyitno, ada empat kelompok perajin. Pertama, perajin yang tetap fokus meneruskan produksi alat rumah tangga. Kelompok kedua, perajin yang berfokus membuat aksesoris. Ketiga, perajin yang fokus pada pembuatan alat-alat otomotif. Yang terakhir adalah kelompok perajin yang memproduksi ingot. Ingot adalah alumunium yang telah dilebur, tetapi hanya dibentuk batangan-batangan, belum menjadi suatu produk.
Daur ulang aluminium ini memiliki berbagai keunggulan. Keunggulannya ialah dapat menjadi tradisi yang tiada henti, memberikan kontribusi bagi lingkungan, proses lebih sederhana, hemat energi, dan dapat menjadi bisnis internasional. “Alumunium merupakan bahan yang sangat luwes. Berbagai produk peralatan rumah tangga sampai teknologi modern bisa dihasilkan dari bahan alumunium,” jelas Suyitno.
Konsep “daur ulang cerdas” pada prinsipnya adalah melakukan daur ulang dengan pemilahan skrap. Skrap kemudian dikelompokkan sesuai dengan jenisnya. Setelah itu dilakukan peleburan secara terpisah dan dicetak. “Misal barang bekas alat rumah tangga, didaur ulang menjadi alat rumah tangga. Bekas otomotif didaur ulang menjadi perlengkapan otomotif. Begitu juga dengan skrap lainnya,” tutur pria yang menekuni kajian metalurgi ini.
Pemisahan sangat berpengaruh terhadap kualitas produk hasil daur ulang. Melalui pemisahan skrap akan dihasilkan produk dengan kualitas yang lebih tinggi. Jika tidak dilakukan pemisahan, yang dihasilkan adalah produk berkualitas rendah. “Produk-produk berkualitas tinggi tercampur dengan produk berkualitas rendah, maka output yang dihasilkan adalah produk yang kualitasnya juga rendah. Secara otomatis produk yang dihasilkan kualitasnya akan turun karena pencampuran tersebut,” kata Suyitno.
Lebih lanjut dijelaskannya, proses peleburan juga sangat penting dalam upaya peningkatan kualitas produk. Sebagai contoh, tempat yang digunakan sebagai wadah peleburan dapat mempengaruhi kualitas output. Wadah peleburan dari besi dapat menurunkan kualitas produk karena besi akan turut larut di dalamnya. Suyitno menawarkan keramik sebagai wadah peleburan untuk dapat menghasilkan produk yang berkualitas tinggi.
Selama ini perajin memang belum mampu mencampur dan mengomposisi bahan. Harapannya, para perajin tidak hanya dapat melakukan daur ulang, tetapi juga mampu menciptakan suatu produk. “Ke depannya saya akan mulai menularkan pengetahuan secara teknis pembuatan produk-produk dari skrap. Mulai dari bahan apa saja yang harus digunakan serta besaran persentase bahan penyusunnya,” kata Suyitno.
Dicontohkannya, untuk membuat veleg motor, bahan-bahan penyusunnya adalah mangan, silikon, dan alumunium. Persentase penggunaan bahan seusai dengan standar dunia. “Karena produknya bisa menjadi bisnis internasional,” ujar pria kelahiran Semarang, 3 November 1970 ini. (Humas UGM/Ika)
Pengembangan Kurikulum Profesi Gizi: Penilaian Kompetensi dengan Metode OSCE
Sejak tahun 2006, Program Studi S1 Gizi Kesehatan Fakultas Kedokteran (FK) UGM telah menyelenggarakan program Pendidikan Profesi Gizi (Dietetic Internship). Dibukanya program tersebut sebagai salah satu upaya meningkatkan kemampuan dan spesifikasi keahlian tenaga gizi. Program ditujukan bagi lulusan Sarjana Gizi Kesehatan. Mengacu pada American Dietetic Association (ADA), tujuan bidang materi, kompetensi, dan proses pembelajaran terbagi dalam 3 kelompok kompetensi bidang pembelajaran. Ketiganya ialah bidang Gizi Klinik, Manajemen Sistem Penyelenggaraan Makanan (MSPM), dan Gizi Masyarakat.
Penilaian proses pendidikan Dietetic Internship dilakukan dengan evaluasi tiap materi bidang. Evaluasi dilakukan secara langsung oleh instruktur klinik sesuai dengan studi kasus, meliputi aspek-aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Pada akhir program, dilakukan evaluasi komprehensif terhadap peserta didik secara tertulis dan lisan. Tim evaluator melakukan evaluasi untuk menilai dan menetapkan bahwa peserta didik telah memiliki kompetensi sesuai dengan profesinya. Namun, sampai saat ini belum ada standar penilaian kompetensi untuk profesi gizi. Untuk itu, perlu dibuat dan disusun metode yang tepat untuk menguji kompetensi peserta didik pada pendidikan profesi gizi.
Sebagai syarat kelulusan untuk memasuki jenjang pendidikan profesi di Program Studi Pendidikan Dokter dan Ilmu Keperawatan FK UGM, penilaian kompetensi dilakukan dengan metode Objective Structured Clinical Examination (OSCE). Konsep dan aplikasi OSCE adalah untuk menilai kompetensi pada pendidikan profesi; merumuskan kompetensi bidang gizi klinik, gizi masyarakat, dan MSPM; serta merumuskan panduan materi dan teknis pelaksanaan uji kompetensi pada Profesi Gizi. Metode ini menilai kompetensi peserta didik pada tataran show how, yaitu menilai performance dan keterampilan peserta didik dalam melakukan sebuah kompetensi.
Guna mengenalkan metode OSCE dan memahami konsep serta aplikasinya, Program Studi S1 Gizi Kesehatan FK UGM didukung oleh Asosiasi Institusi Pendidikan Gizi Indonesia (AIPGI) menyelenggarakan Workshop “Penilaian Kompetensi dengan Metode OSCE pada Pendidikan Profesi Gizi”. Workshop digelar di Wisma MM UGM, 2 Maret 2009 .
Workshop diikuti oleh sekitar 50 peserta. Mereka terdiri atas pengelola Pendidikan Profesi Gizi UGM, ketua dan pengurus organisasi profesi gizi, antara lain, KIGI Kolegium Ilmu Gizi Indonesia (KIGI) dan Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI), dan anggota AIPGI, di antaranya Universitas Indonesia, IPB, Universitas Diponegoro Semarang, Universitas Hasanudin Makasar, STIKES Baiturrahim Jambi, STIKES Alma Ata Yogyakarta, STIKES Respati Yogyakarta, Poltekkes Jakarta II, dan Poltekkes Yogyakarta.
Wakil Dekan Bidang Administrasi, Keuangan, dan Sumber Daya FK UGM, dr. Muhammad Mansyur Romi, S.U., PA(K), mewakili Dekan FK UGM membuka acara tersebut. Selanjutnya disampaikan sambutan-sambutan oleh Ketua AIPGI (Prof. dr. Hamam Hadi, M.S., Sc.D.), Ketua KIGI (Prof. dr. Soekirman, MPS-ID., Ph.D.), dan Ketua DPP PERSAGI (Dr. dr. Arum Atmawikarta, S.K.M., M.P.H.).
Acara workshop dibagi menjadi beberapa acara inti yang berupa diskusi panel. Hadir sebagai pemateri adalah dr. Gandes Retno Rahayu, M.Med.Ed., Ph.D., dr. Trijoko Hadianto, DTM&H, M.Kes., dan Dr. dr. Arum Atmawikarta, S.K.M., M.P.H. Setelah diskusi panel, peserta mengikuti diskusi kelompok. Para peserta dibagi menjadi tiga kelompok, yakni kelompok gizi klinik, gizi masyarakat, dan MSPM. Hasil diskusi kelompok kemudian dipresentasikan di depan seluruh peserta workshop.
Untuk mempersiapkan workshop tersebut, Program Studi S1 Gizi Kesehatan telah melakukan praworkshop. Pada 16 Februari 2009 dilakukan brainstorming penerapan uji keterampilan dengan metode OSCE pada pendidikan profesi gizi. Peserta praworkshop adalah pengelola Pendidikan Profesi Gizi dan para instruktur profesi UGM. (Ade)
Penilaian proses pendidikan Dietetic Internship dilakukan dengan evaluasi tiap materi bidang. Evaluasi dilakukan secara langsung oleh instruktur klinik sesuai dengan studi kasus, meliputi aspek-aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Pada akhir program, dilakukan evaluasi komprehensif terhadap peserta didik secara tertulis dan lisan. Tim evaluator melakukan evaluasi untuk menilai dan menetapkan bahwa peserta didik telah memiliki kompetensi sesuai dengan profesinya. Namun, sampai saat ini belum ada standar penilaian kompetensi untuk profesi gizi. Untuk itu, perlu dibuat dan disusun metode yang tepat untuk menguji kompetensi peserta didik pada pendidikan profesi gizi.
Sebagai syarat kelulusan untuk memasuki jenjang pendidikan profesi di Program Studi Pendidikan Dokter dan Ilmu Keperawatan FK UGM, penilaian kompetensi dilakukan dengan metode Objective Structured Clinical Examination (OSCE). Konsep dan aplikasi OSCE adalah untuk menilai kompetensi pada pendidikan profesi; merumuskan kompetensi bidang gizi klinik, gizi masyarakat, dan MSPM; serta merumuskan panduan materi dan teknis pelaksanaan uji kompetensi pada Profesi Gizi. Metode ini menilai kompetensi peserta didik pada tataran show how, yaitu menilai performance dan keterampilan peserta didik dalam melakukan sebuah kompetensi.
Guna mengenalkan metode OSCE dan memahami konsep serta aplikasinya, Program Studi S1 Gizi Kesehatan FK UGM didukung oleh Asosiasi Institusi Pendidikan Gizi Indonesia (AIPGI) menyelenggarakan Workshop “Penilaian Kompetensi dengan Metode OSCE pada Pendidikan Profesi Gizi”. Workshop digelar di Wisma MM UGM, 2 Maret 2009 .
Workshop diikuti oleh sekitar 50 peserta. Mereka terdiri atas pengelola Pendidikan Profesi Gizi UGM, ketua dan pengurus organisasi profesi gizi, antara lain, KIGI Kolegium Ilmu Gizi Indonesia (KIGI) dan Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI), dan anggota AIPGI, di antaranya Universitas Indonesia, IPB, Universitas Diponegoro Semarang, Universitas Hasanudin Makasar, STIKES Baiturrahim Jambi, STIKES Alma Ata Yogyakarta, STIKES Respati Yogyakarta, Poltekkes Jakarta II, dan Poltekkes Yogyakarta.
Wakil Dekan Bidang Administrasi, Keuangan, dan Sumber Daya FK UGM, dr. Muhammad Mansyur Romi, S.U., PA(K), mewakili Dekan FK UGM membuka acara tersebut. Selanjutnya disampaikan sambutan-sambutan oleh Ketua AIPGI (Prof. dr. Hamam Hadi, M.S., Sc.D.), Ketua KIGI (Prof. dr. Soekirman, MPS-ID., Ph.D.), dan Ketua DPP PERSAGI (Dr. dr. Arum Atmawikarta, S.K.M., M.P.H.).
Acara workshop dibagi menjadi beberapa acara inti yang berupa diskusi panel. Hadir sebagai pemateri adalah dr. Gandes Retno Rahayu, M.Med.Ed., Ph.D., dr. Trijoko Hadianto, DTM&H, M.Kes., dan Dr. dr. Arum Atmawikarta, S.K.M., M.P.H. Setelah diskusi panel, peserta mengikuti diskusi kelompok. Para peserta dibagi menjadi tiga kelompok, yakni kelompok gizi klinik, gizi masyarakat, dan MSPM. Hasil diskusi kelompok kemudian dipresentasikan di depan seluruh peserta workshop.
Untuk mempersiapkan workshop tersebut, Program Studi S1 Gizi Kesehatan telah melakukan praworkshop. Pada 16 Februari 2009 dilakukan brainstorming penerapan uji keterampilan dengan metode OSCE pada pendidikan profesi gizi. Peserta praworkshop adalah pengelola Pendidikan Profesi Gizi dan para instruktur profesi UGM. (Ade)
Pelantikan Dietisien Baru Program Studi S1 Gizi Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM
Sebanyak 22 dietisien baru telah dilantik pada hari Selasa, 24 Februari 2009 di Auditorium II Fakultas Kedokteran (FK) UGM. Para dietisien baru tersebut merupakan angkatan ke-4 dari program pendidikan profesi gizi di Program Studi Gizi Kesehatan FK UGM.
Dietisien merupakan profesi yang baru di Indonesia. Oleh karena itu, diharapkan para lulusan mampu mengembangkan dan menerapkan ilmu yang didapat selama studi dengan cara yang bertanggung jawab, profesional, bermoral, dan berintegritas tinggi terhadap kepentingan nasional. Hal tersebut seperti tercermin dalam visi dan misi Program Studi S1 Gizi dan Kesehatan FK UGM. Dengan demikian, walaupun tergolong profesi baru, diharapkan dapat mempunyai pengaruh dan sumbangan terhadap permasalahan gizi dan kesehatan, baik nasional maupun internasional.
Sejak angkatan I tahun 2006, Program Profesi Gizi Program Studi S1 Gizi Kesehatan FK UGM telah meluluskan dietisien sejumlah 70 orang. Pendidikan profesi gizi di UGM merupakan pendidikan profesi pertama dan sering dijadikan rujukan atau referensi bagi penyelenggara pendidikan gizi di Indonesia.
Nilai akademik yang dicapai oleh dietisien baru yang dilantik sangat memuaskan. IPK sempurna 4,00 yang diraih oleh Maria Dora Tri Yogyantini, S.Gz. Maria merupakan mahasiswa tugas belajar yang berdinas sebagai ahli gizi di RS Panti Rapih, Yogyakarta. Lulusan lain yang meraih nilai cumlaude berjumlah 9 Orang (41%) dan nilai sangat memuaskan sebanyak 13 Orang (59%).
Acara sumpah profesi gizi dipimpin oleh Dekan FK UGM, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc, Ph.D. yang sekaligus melantik para dietisien. Acara dihadiri oleh Direktur RSUP Dr. Sardjito yang dalam kesempatan tersebut diwakili oleh Direktur SDM dan Akademik, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DIY (diwakili oleh Kepala Bidang Kesehatan Keluarga), Ketua Dewan Pimpinan Daerah Persatuan Ahli Gizi Indonesia (DPD PERSAGI) DIY, jajaran Wakil Dekan FK UGM, lahan praktik profesi, dosen, instruktur profesi, dll.
Sebelum disumpah, telah diadakan acara malam pelepasan mahasiswa profesi dan swadaya di Auditorium II FK UGM pada 17 Februari 2009. Acara diisi dengan penampilan adik-adik angkatan, baik dari kelas reguler maupun swadaya. Mereka menampilkan berbagai jenis hiburan, mulai dari paduan suara, vocal group, tari modern, akustik, hingga parodi.
Sejak berdiri tahun 2003, Program Studi S1 Gizi telah meluluskan mahasiswa S1 sejumlah 428 orang, terdiri atas mahasiswa reguler 103 orang dan swadaya sejumlah 325 orang.
Mahasiswa swadaya diwisuda pada pagi harinya, 18 Februari 2009. Jumlah mahasiswa yang diwisuda sebanyak 73 orang. Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) rata-rata mahasiswa yang diwisuda periode kali ini adalah 3,19 dengan IPK tertinggi 3,65 (cumlaude) diraih oleh Ririn Iryani, S.Gz.
Pada setiap sambutannya, Ketua Program Studi, dr. Emy Huriyati, M.Kes. selalu mengingatkan para lulusan, baik mahasiswa swadaya maupun profesi, agar senantiasa memegang teguh wibawa almamater dan membentuk forum komunikasi alumni. Program studi akan selalu menjembatani dan memfasilitasinya. (Ade)
Dietisien merupakan profesi yang baru di Indonesia. Oleh karena itu, diharapkan para lulusan mampu mengembangkan dan menerapkan ilmu yang didapat selama studi dengan cara yang bertanggung jawab, profesional, bermoral, dan berintegritas tinggi terhadap kepentingan nasional. Hal tersebut seperti tercermin dalam visi dan misi Program Studi S1 Gizi dan Kesehatan FK UGM. Dengan demikian, walaupun tergolong profesi baru, diharapkan dapat mempunyai pengaruh dan sumbangan terhadap permasalahan gizi dan kesehatan, baik nasional maupun internasional.
Sejak angkatan I tahun 2006, Program Profesi Gizi Program Studi S1 Gizi Kesehatan FK UGM telah meluluskan dietisien sejumlah 70 orang. Pendidikan profesi gizi di UGM merupakan pendidikan profesi pertama dan sering dijadikan rujukan atau referensi bagi penyelenggara pendidikan gizi di Indonesia.
Nilai akademik yang dicapai oleh dietisien baru yang dilantik sangat memuaskan. IPK sempurna 4,00 yang diraih oleh Maria Dora Tri Yogyantini, S.Gz. Maria merupakan mahasiswa tugas belajar yang berdinas sebagai ahli gizi di RS Panti Rapih, Yogyakarta. Lulusan lain yang meraih nilai cumlaude berjumlah 9 Orang (41%) dan nilai sangat memuaskan sebanyak 13 Orang (59%).
Acara sumpah profesi gizi dipimpin oleh Dekan FK UGM, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc, Ph.D. yang sekaligus melantik para dietisien. Acara dihadiri oleh Direktur RSUP Dr. Sardjito yang dalam kesempatan tersebut diwakili oleh Direktur SDM dan Akademik, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DIY (diwakili oleh Kepala Bidang Kesehatan Keluarga), Ketua Dewan Pimpinan Daerah Persatuan Ahli Gizi Indonesia (DPD PERSAGI) DIY, jajaran Wakil Dekan FK UGM, lahan praktik profesi, dosen, instruktur profesi, dll.
Sebelum disumpah, telah diadakan acara malam pelepasan mahasiswa profesi dan swadaya di Auditorium II FK UGM pada 17 Februari 2009. Acara diisi dengan penampilan adik-adik angkatan, baik dari kelas reguler maupun swadaya. Mereka menampilkan berbagai jenis hiburan, mulai dari paduan suara, vocal group, tari modern, akustik, hingga parodi.
Sejak berdiri tahun 2003, Program Studi S1 Gizi telah meluluskan mahasiswa S1 sejumlah 428 orang, terdiri atas mahasiswa reguler 103 orang dan swadaya sejumlah 325 orang.
Mahasiswa swadaya diwisuda pada pagi harinya, 18 Februari 2009. Jumlah mahasiswa yang diwisuda sebanyak 73 orang. Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) rata-rata mahasiswa yang diwisuda periode kali ini adalah 3,19 dengan IPK tertinggi 3,65 (cumlaude) diraih oleh Ririn Iryani, S.Gz.
Pada setiap sambutannya, Ketua Program Studi, dr. Emy Huriyati, M.Kes. selalu mengingatkan para lulusan, baik mahasiswa swadaya maupun profesi, agar senantiasa memegang teguh wibawa almamater dan membentuk forum komunikasi alumni. Program studi akan selalu menjembatani dan memfasilitasinya. (Ade)
Saturday, March 21, 2009
Purnatugas Prof. Warsito, Fisipol UGM Gelar Seminar “Membangun Kepemimpinan di Era Otonomi Daerah”
Implementasi otonomi daerah telah menghasilkan sejumlah perubahan penting. Inovasi pelayanan publik, peningkatan partisipasi masyarakat, dan pemberdayaan nilai-nilai lokal adalah beberapa contoh capaian yang patut mendapat apresiasi. Di tengah sejumlah skeptisisme, capaian-capaian tersebut memunculkan optimisme akan masa depan kebijakan otonomi daerah dan munculnya gerakan serta tuntutan untuk melakukan desentralisasi.
Demikian beberapa poin penting yang didapatkan dari seminar bertema "Membangun Kepemimpinan di Era Otonomi Daerah". Seminar digelar di Ruang Seminar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM, Senin (16/3). Acara yang diselenggarakan dalam rangka purnatugas Prof. Dr. Warsito Utomo ini menghadirkan sejumlah pembicara, Prof. Dr. Sofian Effendi, M.P.I.A., Prof. Dr. Agus Dwiyanto, M.P.A., dan Prof. Dr. Susetiawan, S.U dengan bertindak selaku moderator Dr. Wahyudi Kumorotomo, M.P.P.
Tema seminar dipilih mengingat Prof. Dr. Warsito Utomo, seorang Guru Besar Ilmu Administrasi Negara Fisipol UGM, adalah seorang ilmuwan yang konsisten menekuni subjek otonomi daerah dan kepemimpinan sebagai minat akademis utama. Berbagai kuliah yang diampu dan aneka tulisan ilmiah yang dihasilkan menunjukkan konsistensinya terhadap kajian tersebut.
Dalam seminar yang dihadiri para pakar, dosen, mahasiswa, praktisi, dan pengamat bidang kepemimpinan ini dibahas pula salah satu faktor yang dianggap memiliki pengaruh penting atas berbagai capaian otonomi daerah. Faktor yang dimaksud adalah kepemimpinan. Daerah-daerah yang selama ini dianggap berhasil melakukan inovasi, misalnya Gorontalo, Jembrana, Blitar, dan Solok, adalah daerah-daerah yang memiliki tipikal kepemimpinan transformatif-inovatif. Oleh karena itu, agar suatu daerah dapat melakukan perubahan atau inovasi, diperlukan kepemimpinan seperti itu.
Prof. Dr. Susetiawan, S.U. dalam makalah "Kepemimpinan di Era Otonomi Daerah: Legitimasi Prosedural dan Kemampuan Menjawab Kebutuhan Masyarakat" mengemukakan isu lain yang tidak kalah menarik terkait dengan kepemimpinan di era otonomi daerah, yakni permasalahan representasi politik identitas. Politik identitas dapat ditunjukkan dengan representasi kelompok pendukung sebagai legitimasi. Representasi kelompok kesukuan dan kelompok kepentingan berbasis bisnis serta keagamaan sangat terasa dalam memberi legitimasi seseorang untuk menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah. (Humas UGM)
Demikian beberapa poin penting yang didapatkan dari seminar bertema "Membangun Kepemimpinan di Era Otonomi Daerah". Seminar digelar di Ruang Seminar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM, Senin (16/3). Acara yang diselenggarakan dalam rangka purnatugas Prof. Dr. Warsito Utomo ini menghadirkan sejumlah pembicara, Prof. Dr. Sofian Effendi, M.P.I.A., Prof. Dr. Agus Dwiyanto, M.P.A., dan Prof. Dr. Susetiawan, S.U dengan bertindak selaku moderator Dr. Wahyudi Kumorotomo, M.P.P.
Tema seminar dipilih mengingat Prof. Dr. Warsito Utomo, seorang Guru Besar Ilmu Administrasi Negara Fisipol UGM, adalah seorang ilmuwan yang konsisten menekuni subjek otonomi daerah dan kepemimpinan sebagai minat akademis utama. Berbagai kuliah yang diampu dan aneka tulisan ilmiah yang dihasilkan menunjukkan konsistensinya terhadap kajian tersebut.
Dalam seminar yang dihadiri para pakar, dosen, mahasiswa, praktisi, dan pengamat bidang kepemimpinan ini dibahas pula salah satu faktor yang dianggap memiliki pengaruh penting atas berbagai capaian otonomi daerah. Faktor yang dimaksud adalah kepemimpinan. Daerah-daerah yang selama ini dianggap berhasil melakukan inovasi, misalnya Gorontalo, Jembrana, Blitar, dan Solok, adalah daerah-daerah yang memiliki tipikal kepemimpinan transformatif-inovatif. Oleh karena itu, agar suatu daerah dapat melakukan perubahan atau inovasi, diperlukan kepemimpinan seperti itu.
Prof. Dr. Susetiawan, S.U. dalam makalah "Kepemimpinan di Era Otonomi Daerah: Legitimasi Prosedural dan Kemampuan Menjawab Kebutuhan Masyarakat" mengemukakan isu lain yang tidak kalah menarik terkait dengan kepemimpinan di era otonomi daerah, yakni permasalahan representasi politik identitas. Politik identitas dapat ditunjukkan dengan representasi kelompok pendukung sebagai legitimasi. Representasi kelompok kesukuan dan kelompok kepentingan berbasis bisnis serta keagamaan sangat terasa dalam memberi legitimasi seseorang untuk menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah. (Humas UGM)
Tingkatkan Mobilitas Mahasiswa, Perguruan Tinggi di ASEAN Perlu Melakukan Persamaan Standar Pendidikan
Seluruh perguruan tinggi se-Asia Tenggara perlu melakukan harmonisasi dalam rangka persamaan standar pendidikan tinggi. Salah satu tujuannya adalah agar semua gelar pendidikan dapat diakui di lebih banyak negara. Hal tersebut mengemuka dalam pertemuan 30 dekan dari beberapa perguruan tinggi ASEAN. Acara yang dikemas dalam Dialogue on Inovative Higher Education Strategies (DIESA) International Deans' Course Part III ini digelar di Balai Senat UGM, Senin (16/3).
Kepada wartawan, Dr. Supra Wimbarti, M.Sc. selaku salah seorang program committee DIESA mengatakan untuk merealisasikan persamaan standar pendidikan tinggi dilakukan dengan menerapkan sistem transfer kredit. Sistem ini bertujuan untuk memudahkan mahasiswa mengikuti perkuliahan di masing-masing negara.
“Sistem transfer kredit, jaminan mutu, pengembangan kurikulum, dan internasionalisasi memudahkan mobilitas mahasiswa antarnegara di kawasan ASEAN,” ujar staf pengajar Fakultas Psikologi UGM ini.
Diakui Supra, di Asia Tenggara belum diterapkan sistem kredit transfer seperti yang dilakukan di Eropa. Di sana, tidak hanya sistem transfer yang diberlakukan, tetapi kurikulum dan biaya kuliah juga turut disamakan.
Pendapat senada juga disampaikan oleh Prof. Dr. Peter Mayer dari University of Osnabruek, Jerman. Ia mengatakan situasi yang dihadapi pendidikan tinggi di Asia Tenggara persis dengan negara-negara Eropa sepuluh tahun lalu.
“Sejak dimulai tahun 1994, dengan adanya sistem credit transfer, mobilisasi, dan pembayaran kuliah yang disamakan, sekarang mahasiswa Eropa bisa pindah ke negara-negara tetangganya. Setidaknya 75%, sudah sukses,” kata Peter Mayer.
Menurutnya, negara-negara di Asia Tenggara harus kompak dan bersatu dalam menerapkan kebijakan ini, terutama dalam memperbanyak jumlah transfer kredit di setiap perguruan tinggi di negara yang berbeda. Ia menambahkan, “Kalau sedikit yang bisa dilakukan credit transfer, maka kualitasnya belum bisa diakui.”
Dalam kesempatan itu, Direktur SEAMEO Regional Center for Higher Education and Development (SEAMEO-RIHED), Prof. Supachai Yavaprabas, juga menyampaikan informasinya. Ia menyebutkan di kawasan Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara yang paling banyak memiliki jumlah perguruan tinggi, yakni mencapai 3.000. Berikutnya, Filipina dengan 2.000 perguruan tinggi dan diikuti Malaysia yang mempunyai perguruan tinggi sebanyak 527. Untuk jumlah mahasiswa, Indonesia memiliki 4 juta orang. Filipina mempunyai 2,5 juta mahasiswa. Sementara itu, Thailand dan Vietnam jumlah mahasiswanya masing-masing 2 juta orang. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Kepada wartawan, Dr. Supra Wimbarti, M.Sc. selaku salah seorang program committee DIESA mengatakan untuk merealisasikan persamaan standar pendidikan tinggi dilakukan dengan menerapkan sistem transfer kredit. Sistem ini bertujuan untuk memudahkan mahasiswa mengikuti perkuliahan di masing-masing negara.
“Sistem transfer kredit, jaminan mutu, pengembangan kurikulum, dan internasionalisasi memudahkan mobilitas mahasiswa antarnegara di kawasan ASEAN,” ujar staf pengajar Fakultas Psikologi UGM ini.
Diakui Supra, di Asia Tenggara belum diterapkan sistem kredit transfer seperti yang dilakukan di Eropa. Di sana, tidak hanya sistem transfer yang diberlakukan, tetapi kurikulum dan biaya kuliah juga turut disamakan.
Pendapat senada juga disampaikan oleh Prof. Dr. Peter Mayer dari University of Osnabruek, Jerman. Ia mengatakan situasi yang dihadapi pendidikan tinggi di Asia Tenggara persis dengan negara-negara Eropa sepuluh tahun lalu.
“Sejak dimulai tahun 1994, dengan adanya sistem credit transfer, mobilisasi, dan pembayaran kuliah yang disamakan, sekarang mahasiswa Eropa bisa pindah ke negara-negara tetangganya. Setidaknya 75%, sudah sukses,” kata Peter Mayer.
Menurutnya, negara-negara di Asia Tenggara harus kompak dan bersatu dalam menerapkan kebijakan ini, terutama dalam memperbanyak jumlah transfer kredit di setiap perguruan tinggi di negara yang berbeda. Ia menambahkan, “Kalau sedikit yang bisa dilakukan credit transfer, maka kualitasnya belum bisa diakui.”
Dalam kesempatan itu, Direktur SEAMEO Regional Center for Higher Education and Development (SEAMEO-RIHED), Prof. Supachai Yavaprabas, juga menyampaikan informasinya. Ia menyebutkan di kawasan Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara yang paling banyak memiliki jumlah perguruan tinggi, yakni mencapai 3.000. Berikutnya, Filipina dengan 2.000 perguruan tinggi dan diikuti Malaysia yang mempunyai perguruan tinggi sebanyak 527. Untuk jumlah mahasiswa, Indonesia memiliki 4 juta orang. Filipina mempunyai 2,5 juta mahasiswa. Sementara itu, Thailand dan Vietnam jumlah mahasiswanya masing-masing 2 juta orang. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Fakultas Biologi Jajaki Kerja Sama dengan Kassel University, Jerman
Dalam rangka mendukung visi UGM sebagai universitas penelitian kelas dunia (world class research university), Fakultas Biologi berencana menjalin kerja sama dengan Kassel University, Jerman. Rencana kerja sama diawali dengan pengenalan program-program studi, baik S1, S2, maupun S3 dari kedua pihak. Acara diselenggarakan Senin (16/2) di Auditorium Fakultas Biologi UGM.
Dekan Fakultas Biologi, Dr. Retno Peni Sancayaningsih, M.Sc., yang ditemui di sela-sela acara menuturkan selain pengenalan program studi juga diselenggarakan short training tentang molekular biologi untuk mahasiswa Biologi dan para guru Biologi SMA. “Rangkaian acara tersebut dirancang oleh Kassel University dalam rangka meningkatkan kerja sama dengan beberapa universitas di Indonesia dalam bidang molekular biologi dan konservasi,” kata Dekan.
Ditambahkannya, UGM merupakan salah satu universitas di Indonesia yang menjadi patner kerja sama Kassel University, di samping Universitas Sam Ratulangi dan Universitas Andalas.
Sementara itu, Pengelola Pascasarjana Program Studi Biologi, Fakultas Biologi UGM, Dr. Budi Setiadi Daryono, M.Agr.Sc., mengatakan short training tersebut bertujuan untuk meningkatkan transfer ilmu molekular biologi agar dapat lebih cepat diketahui para siswa SMA.
“Selama ini, siswa SMA tidak begitu diperkenalkan secara mendalam tentang molekular biologi sehingga minat untuk mendalami studi biologi rendah. Para guru diharapkan bisa mentransfer pengetahuannya kepada siswa agar menarik minat untuk mempelajari biologi lebih dalam,” kata Budi. (Humas UGM/Ika)
Dekan Fakultas Biologi, Dr. Retno Peni Sancayaningsih, M.Sc., yang ditemui di sela-sela acara menuturkan selain pengenalan program studi juga diselenggarakan short training tentang molekular biologi untuk mahasiswa Biologi dan para guru Biologi SMA. “Rangkaian acara tersebut dirancang oleh Kassel University dalam rangka meningkatkan kerja sama dengan beberapa universitas di Indonesia dalam bidang molekular biologi dan konservasi,” kata Dekan.
Ditambahkannya, UGM merupakan salah satu universitas di Indonesia yang menjadi patner kerja sama Kassel University, di samping Universitas Sam Ratulangi dan Universitas Andalas.
Sementara itu, Pengelola Pascasarjana Program Studi Biologi, Fakultas Biologi UGM, Dr. Budi Setiadi Daryono, M.Agr.Sc., mengatakan short training tersebut bertujuan untuk meningkatkan transfer ilmu molekular biologi agar dapat lebih cepat diketahui para siswa SMA.
“Selama ini, siswa SMA tidak begitu diperkenalkan secara mendalam tentang molekular biologi sehingga minat untuk mendalami studi biologi rendah. Para guru diharapkan bisa mentransfer pengetahuannya kepada siswa agar menarik minat untuk mempelajari biologi lebih dalam,” kata Budi. (Humas UGM/Ika)
Teliti Wealth Transfer pada Perubahan Akuntansi, Ni Ketut Raih Doktor
Ada berbagai motivasi yang memengaruhi manajemen untuk melakukan perubahan akuntansi. Beberapa di antaranya adalah maksimalisasi bonus, mengurangi risiko pelanggaran perjanjian utang, dan untuk mengurangi pajak. Hal tersebut dapat dilaksanakan ketika ada peluang dari standar untuk maksimalisasi utilitas masing-masing pihak yang terlibat dalam hubungan keagenan.
Dikemukakan oleh Ni Ketut Rasmini, S.E., M.Si. yang merupakan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Udayana, Bali, bahwa standar akuntansi di Indonesia memberi peluang bagi manajemen untuk melakukan perubahan akuntansi. Perubahan dapat dilakukan sepanjang itu lebih baik/akurat dalam menentukan nilai perusahaan.
Perubahan akuntansi akan menyebabkan terjadinya wealth transfer (wealth redistribution) antara pihak-pihak yang berkepentingan. "Pihak-pihak yang berkepentingan tersebut di antaranya manajemen, investor, kreditor, dan pemerintah," ujar Ni Ketut, Jumat (13/3), di Auditorium BRI Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM saat menempuh ujian doktor bidang Ilmu Ekonomi.
Dalam disertasinya, Ni Ketut menguji dua isu utama. Pertama, untuk mengetahui apakah terjadi wealth transfer pada perusahaan yang melakukan perubahan akuntansi. Kedua, menguji apakah investor di Bursa Efek Jakarta (BEJ) mampu menganalisis informasi perubahan akuntansi yang dipublikasikan oleh emiten.
"Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kecanggihan atau kepintaran investor di BEJ dalam membuat keputusan berkenaan dengan perubahan akuntansi yang dilakukan oleh emiten. Menyitir pendapat Hartono (2005), hal ini sebagai pengujian efisiensi pasar dari aspek keputusan, yang meliputi pengujian atas kandungan informasi, kecepatan reaksi, dan ketepatan reaksi investor terhadap informasi perubahan akuntansi yang dipublikasikan," jelasnya.
Hasil pengujian terhadap adanya wealth tranfer akibat perubahan akuntansi untuk motivasi bonus dan leverage menunjukkan hasil yang signifikan. Terbukti dengan adanya perbedaan signifikan antara perubahan aliran kas sebelum dilakukan perubahan akuntansi dan sesudahnya.
Sebagaimana tersaji dalam deskripsi sampel, perubahan akuntansi yang dilakukan emiten sampel sebesar 82,6% berupa perubahan kesatuan usaha. Perinciannya adalah 52% merger dan 12% akuisisi, sedangkan sisanya merupakan divestasi dan dilusi. "Temuan riset ini mengindikasikan perubahan akuntansi yang dilakukan manajemen dimotivasi oleh adanya bonus. Hal tersebut menandakan hipotesis bonus ternyata tidak hanya untuk tujuan jangka pendek. Namun dapat juga untuk tujuan bersifat jangka panjang melalui sinergi yang terjadi karena penggabungan usaha," kata perempuan kelahiran Celuk, 8 Oktober 1966 ini. (Humas UGM)
Dikemukakan oleh Ni Ketut Rasmini, S.E., M.Si. yang merupakan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Udayana, Bali, bahwa standar akuntansi di Indonesia memberi peluang bagi manajemen untuk melakukan perubahan akuntansi. Perubahan dapat dilakukan sepanjang itu lebih baik/akurat dalam menentukan nilai perusahaan.
Perubahan akuntansi akan menyebabkan terjadinya wealth transfer (wealth redistribution) antara pihak-pihak yang berkepentingan. "Pihak-pihak yang berkepentingan tersebut di antaranya manajemen, investor, kreditor, dan pemerintah," ujar Ni Ketut, Jumat (13/3), di Auditorium BRI Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM saat menempuh ujian doktor bidang Ilmu Ekonomi.
Dalam disertasinya, Ni Ketut menguji dua isu utama. Pertama, untuk mengetahui apakah terjadi wealth transfer pada perusahaan yang melakukan perubahan akuntansi. Kedua, menguji apakah investor di Bursa Efek Jakarta (BEJ) mampu menganalisis informasi perubahan akuntansi yang dipublikasikan oleh emiten.
"Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kecanggihan atau kepintaran investor di BEJ dalam membuat keputusan berkenaan dengan perubahan akuntansi yang dilakukan oleh emiten. Menyitir pendapat Hartono (2005), hal ini sebagai pengujian efisiensi pasar dari aspek keputusan, yang meliputi pengujian atas kandungan informasi, kecepatan reaksi, dan ketepatan reaksi investor terhadap informasi perubahan akuntansi yang dipublikasikan," jelasnya.
Hasil pengujian terhadap adanya wealth tranfer akibat perubahan akuntansi untuk motivasi bonus dan leverage menunjukkan hasil yang signifikan. Terbukti dengan adanya perbedaan signifikan antara perubahan aliran kas sebelum dilakukan perubahan akuntansi dan sesudahnya.
Sebagaimana tersaji dalam deskripsi sampel, perubahan akuntansi yang dilakukan emiten sampel sebesar 82,6% berupa perubahan kesatuan usaha. Perinciannya adalah 52% merger dan 12% akuisisi, sedangkan sisanya merupakan divestasi dan dilusi. "Temuan riset ini mengindikasikan perubahan akuntansi yang dilakukan manajemen dimotivasi oleh adanya bonus. Hal tersebut menandakan hipotesis bonus ternyata tidak hanya untuk tujuan jangka pendek. Namun dapat juga untuk tujuan bersifat jangka panjang melalui sinergi yang terjadi karena penggabungan usaha," kata perempuan kelahiran Celuk, 8 Oktober 1966 ini. (Humas UGM)
Thursday, March 19, 2009
Aditya Sigit Prasetya Juara Pertama OKI 2009
Olimpiade Kehutanan Indonesia (OKI) 2009 yang diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Manajemen Hutan (KMHM) Fakultas Kehutanan UGM memilih Aditya Sigit Prasetya, siswa SMA I Wonosobo, sebagai juara pertama. Berturut-turut juara kedua dan ketiga diraih oleh Opik Taofik Muflih (SMA I Cibeber Jawa Barat) dan Birrul Qadriyah (SMA 2 Bantul).
Kegiatan yang diikuti lima puluh siswa SMU se-Indonesia berlangsung pada hari Sabtu (14/3) di Hutan Wanagama, Gunung Kidul. Khamdan Primandaru selaku Ketua OKI 2009, Senin (16/3), menginformasikan olimpiade berlangsung selama tiga hari, yakni 12-14 Maret 2009.
Para peserta mengikuti empat tahapan seleksi, meliputi tes tertulis, psikotes, studi kasus, dan pemaparan visi misi. “Tiga terbaik selanjutnya melaju ke final lomba cerdas cermat yang saling berkompetisi menjawab 50 soal rebutan” jelasnya.
Sebagai juara pertama, Aditya Sigit Prasetya, berhak membawa pulang tropi bergilir dari Menteri Kehutanan RI, tropi Rektor UGM, dan uang pembinaan sebesar tiga juta rupiah. Peraih juara kedua memperoleh tropi Dekan Fakultas Kehutanan UGM dan uang pembinaan dua juta rupiah. Untuk juara ketiga, diberikan tropi Ketua KMHM Fakultas Kehutanan UGM dan uang pembinaan 1,5 juta rupiah.(Humas UGM/Ika)
Kegiatan yang diikuti lima puluh siswa SMU se-Indonesia berlangsung pada hari Sabtu (14/3) di Hutan Wanagama, Gunung Kidul. Khamdan Primandaru selaku Ketua OKI 2009, Senin (16/3), menginformasikan olimpiade berlangsung selama tiga hari, yakni 12-14 Maret 2009.
Para peserta mengikuti empat tahapan seleksi, meliputi tes tertulis, psikotes, studi kasus, dan pemaparan visi misi. “Tiga terbaik selanjutnya melaju ke final lomba cerdas cermat yang saling berkompetisi menjawab 50 soal rebutan” jelasnya.
Sebagai juara pertama, Aditya Sigit Prasetya, berhak membawa pulang tropi bergilir dari Menteri Kehutanan RI, tropi Rektor UGM, dan uang pembinaan sebesar tiga juta rupiah. Peraih juara kedua memperoleh tropi Dekan Fakultas Kehutanan UGM dan uang pembinaan dua juta rupiah. Untuk juara ketiga, diberikan tropi Ketua KMHM Fakultas Kehutanan UGM dan uang pembinaan 1,5 juta rupiah.(Humas UGM/Ika)
Teknologi Penentuan Jenis Kelamin Embrio Tingkatkan Produksi Pangan
Teknologi penentuan jenis kelamin pada embrio hewan ternak berperan penting dalam pemenuhan suplai kebutuhan pangan dunia. Teknologi ini telah diterapkan dalam peningkatan produksi telur ternak unggas dan produksi daging sapi.
Dosen Bagian Ilmu Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM, drh. Agung Budiyanto, M.P., Ph.D., mengatakan teknologi ini telah dimanfaatkan untuk menghasilkan lebih banyak embrio betina guna mendapatkan ayam betina yang mampu memproduksi telur dalam jumlah banyak. Sementara di peternakan sapi, teknologi ini dimanfaatkan untuk menghasilkan lebih banyak jumlah embrio jantan. Embrio jantan dapat berkembang lebih cepat dan besar dibandingkan dengan embrio betina.
Penentuan jenis kelamin biasanya dilakukan dengan metode “in vivo” (sel telur yang dibuahi di dalam induk), “in vitro” (sel telur yang dibuahi di luar induk), penentuan waktu inseminasi, penggunaan pengobatan induksi ovulas, dan inseminasi buatan.
“Memindahkan embrio dari produksi in vitro berpengaruh terhadap perbandingan jenis kelamin dalam tingkatan yang sangat signifikan,” kata Agung dalam Seminar on Advance Biotechnology Sexing, Cloning, and Stem Cell, Jumat (13/2), di Auditorium FKH UGM.
Dalam kesempatan tersebut, Agung menjelaskan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi produksi embrio ternak dalam pembentukan kelamin tertentu. Beberapa di antaranya adalah tingkat jumlah sperma yang mengikat kromosom, interaksi gamet, sistem lingkungan, ekspresi gen, dan lingkungan sekitar embrio.
“Lingkungan dengan temperatur tinggi akan menyebabkan kematian pada embrio jantan, sedangkan PH dan nutrisi yang tinggi akan menyebabkan kematian pada embrio betina” tambahnya.
Sementara itu, drh. Yuda Heru Fibrianto, M.P., Ph.D., staf pengajar Bagian Fisiologi FKH UGM menuturkan teknologi stem cell mempunyai karakteristik dapat beregenerasi dan berdiferensiasi. Teknologi ini dapat digunakan untuk terapi medis di masa depan. Menurutnya, teknologi stem cell merupakan spare part sel tubuh bagi hewan dan manusia. Stem cell dapat dipakai untuk mengobati penyakit degenerasi atau usia lanjut, seperti alzheimer, parkinson, dan mengobati penyakit akibat kerusakan. Kegunaan yang lain adalah untuk mengobati penyakit spesifik, misalnya HIV, lupus, kanker, dan kardiovaskular. Di samping itu, manfaat lainnya ialah untuk menstimulasi sistem imun, revitalisasi organ tubuh, dan disfungsi seksual.
Goo Jang, D.V.M., Ph.D., Assistant Professor Seoul National University Korea, mengemukakan sistem kloning pada anjing dilakukan dengan Teknologi Somatic Cell Nuclear Transfer (SCNT). SCNT merupakan sebuah teknologi rekayasa terhadap sel telur. Rekayasa dilakukan dengan mentransfer inti sel pendonor ke sel telur yang telah dikeluarkan intinya. Proses kloning pada anjing dilakukan dengan mengambil sel telur anjing yang telah dihilangkan inti selnya. Inti sel telur tersebut kemudian diganti dengan inti sel somatik, sel anggota tubuh, yang diambil dari kulit induk. Selanjutnya, sel telur dimasukkan ke rahim induk.
“Kloning pada anjing ini bisa digunakan untuk membantu pemahaman tentang penyakit, pengembangan medis baru dengan SCNT transgenic. Akan tetapi, pengkloningan binatang masih tetap saja menimbulkan perdebatan etika dan moral,” kata Goo Jang. (Humas UGM/Ika)
Dosen Bagian Ilmu Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM, drh. Agung Budiyanto, M.P., Ph.D., mengatakan teknologi ini telah dimanfaatkan untuk menghasilkan lebih banyak embrio betina guna mendapatkan ayam betina yang mampu memproduksi telur dalam jumlah banyak. Sementara di peternakan sapi, teknologi ini dimanfaatkan untuk menghasilkan lebih banyak jumlah embrio jantan. Embrio jantan dapat berkembang lebih cepat dan besar dibandingkan dengan embrio betina.
Penentuan jenis kelamin biasanya dilakukan dengan metode “in vivo” (sel telur yang dibuahi di dalam induk), “in vitro” (sel telur yang dibuahi di luar induk), penentuan waktu inseminasi, penggunaan pengobatan induksi ovulas, dan inseminasi buatan.
“Memindahkan embrio dari produksi in vitro berpengaruh terhadap perbandingan jenis kelamin dalam tingkatan yang sangat signifikan,” kata Agung dalam Seminar on Advance Biotechnology Sexing, Cloning, and Stem Cell, Jumat (13/2), di Auditorium FKH UGM.
Dalam kesempatan tersebut, Agung menjelaskan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi produksi embrio ternak dalam pembentukan kelamin tertentu. Beberapa di antaranya adalah tingkat jumlah sperma yang mengikat kromosom, interaksi gamet, sistem lingkungan, ekspresi gen, dan lingkungan sekitar embrio.
“Lingkungan dengan temperatur tinggi akan menyebabkan kematian pada embrio jantan, sedangkan PH dan nutrisi yang tinggi akan menyebabkan kematian pada embrio betina” tambahnya.
Sementara itu, drh. Yuda Heru Fibrianto, M.P., Ph.D., staf pengajar Bagian Fisiologi FKH UGM menuturkan teknologi stem cell mempunyai karakteristik dapat beregenerasi dan berdiferensiasi. Teknologi ini dapat digunakan untuk terapi medis di masa depan. Menurutnya, teknologi stem cell merupakan spare part sel tubuh bagi hewan dan manusia. Stem cell dapat dipakai untuk mengobati penyakit degenerasi atau usia lanjut, seperti alzheimer, parkinson, dan mengobati penyakit akibat kerusakan. Kegunaan yang lain adalah untuk mengobati penyakit spesifik, misalnya HIV, lupus, kanker, dan kardiovaskular. Di samping itu, manfaat lainnya ialah untuk menstimulasi sistem imun, revitalisasi organ tubuh, dan disfungsi seksual.
Goo Jang, D.V.M., Ph.D., Assistant Professor Seoul National University Korea, mengemukakan sistem kloning pada anjing dilakukan dengan Teknologi Somatic Cell Nuclear Transfer (SCNT). SCNT merupakan sebuah teknologi rekayasa terhadap sel telur. Rekayasa dilakukan dengan mentransfer inti sel pendonor ke sel telur yang telah dikeluarkan intinya. Proses kloning pada anjing dilakukan dengan mengambil sel telur anjing yang telah dihilangkan inti selnya. Inti sel telur tersebut kemudian diganti dengan inti sel somatik, sel anggota tubuh, yang diambil dari kulit induk. Selanjutnya, sel telur dimasukkan ke rahim induk.
“Kloning pada anjing ini bisa digunakan untuk membantu pemahaman tentang penyakit, pengembangan medis baru dengan SCNT transgenic. Akan tetapi, pengkloningan binatang masih tetap saja menimbulkan perdebatan etika dan moral,” kata Goo Jang. (Humas UGM/Ika)
Wednesday, March 18, 2009
Firman Lubis Tawarkan Rekonstruksi Sejarah Sosial Jakarta Era '50-an dan '60-an
Jakarta tahun 1950-an dan 1960-an adalah sekelumit kisah Indonesia yang belum selesai membangun identitas baru pascarevolusi. Para sejarawan membaca dua era tersebut sebagai periodisasi yang menyangkut permasalahan-permasalahan sensitif. Berbagai persoalan tentang sistem politik, kelas, sosialisme, dan pergerakan nasional acap kali menenggelamkan pembahasan penting mengenai keseharian kehidupan masyarakat pada masa tersebut.
Firman Lubis, penulis buku “Jakarta 1950-an: Kenangan Semasa Remaja” dan “Jakarta 1960-an: Kenangan Semasa Mahasiswa”, mencoba menghadirkan nuansa lain dengan merekonstruksi kehidupan masyarakat kala itu. Dalam diskusi kedua bukunya di Auditorium Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Firman menyampaikan rekonstruksi sejarah sosial Jakarta era 1950-an ketika mulai berbenah diri dan membangun kehidupan setelah lepas dari penjajahan Jepang. Diskusi diselenggarakan oleh Jurusan Sejarah FIB UGM, Kamis (12/3).
Pada masa itu, di masyarakat masih banyak perlakuan diskriminatif, pertentangan, dan sifat mementingkan golongan serta kelompok. Karena itu, sangat sulit untuk membangun semangat kebangsaan. “Saat itu, banyak terjadi tarikan-tarikan serta pertentangan yang disertai kekerasan karena kondisi masyarakat yang multiras dan multikultur,” ujar Firman.
Dalam salah satu bukunya, diceritakan suasana revolusi, rasa antikolonialisme, dan kondisi kepemimpinan orde lama di bawah kepemimpinan Soekarno era 1960-an. Firman menuturkan kesaksian pribadinya sebagai pelaku sejarah ketika menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. “Sistem pendidikan masa itu belum mendorong pemikiran mahasiswa untuk berekspresi secara bebas dan kritis,” imbuhnya.
Terkait dengan peristiwa aksi mahasiswa yang mendukung ABRI untuk menumpas PKI, Firman mengatakan bahwa pada awalnya ABRI belum menunjukkan perlawanannya terhadap PKI. Mahasiswalah yang memulai aksi. Didorong rasa ketidakpuasan pada kondisi saat itu, mahasiswa pun bergerak.
Hadir dalam diskusi, Toeti Kakiailatu (mantan wartawan senior Tempo) yang turut membedah buku. Menurutnya, dua buku tersebut memberikan kajian yang berbeda dari buku-buku yang telah ada. Perbedaan lebih terasa karena di dalamnya dibumbui berbagai pengalaman personal penulis.
“Firman telah mengisi kekosongan kisah kehidupan sehari-hari masyarakat yang tengah berkembang dan bertransformasi, serta memberi kesejukan di tengah kemarau panjang kurangnya buku-buku yang mengupas sejarah sosial maupun lokal secara detail,” kata Toeti.
Dituturkannya bahwa buku ini dapat digunakan untuk pembelajaran sejarah kala itu. Hal tersebut berguna dalam membangun Indonesia agar tidak mengulang kesalahan masa lampau dan memperbaiki kondisi ke depan. Sedikit kritik yang disampaikan Toeti, menurutnya penulisan buku ini belum menggunakan acuan dan penggunaan indeks yang sesuai dengan kaidah penulisan baku. (Humas UGM/Ika)
Firman Lubis, penulis buku “Jakarta 1950-an: Kenangan Semasa Remaja” dan “Jakarta 1960-an: Kenangan Semasa Mahasiswa”, mencoba menghadirkan nuansa lain dengan merekonstruksi kehidupan masyarakat kala itu. Dalam diskusi kedua bukunya di Auditorium Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Firman menyampaikan rekonstruksi sejarah sosial Jakarta era 1950-an ketika mulai berbenah diri dan membangun kehidupan setelah lepas dari penjajahan Jepang. Diskusi diselenggarakan oleh Jurusan Sejarah FIB UGM, Kamis (12/3).
Pada masa itu, di masyarakat masih banyak perlakuan diskriminatif, pertentangan, dan sifat mementingkan golongan serta kelompok. Karena itu, sangat sulit untuk membangun semangat kebangsaan. “Saat itu, banyak terjadi tarikan-tarikan serta pertentangan yang disertai kekerasan karena kondisi masyarakat yang multiras dan multikultur,” ujar Firman.
Dalam salah satu bukunya, diceritakan suasana revolusi, rasa antikolonialisme, dan kondisi kepemimpinan orde lama di bawah kepemimpinan Soekarno era 1960-an. Firman menuturkan kesaksian pribadinya sebagai pelaku sejarah ketika menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. “Sistem pendidikan masa itu belum mendorong pemikiran mahasiswa untuk berekspresi secara bebas dan kritis,” imbuhnya.
Terkait dengan peristiwa aksi mahasiswa yang mendukung ABRI untuk menumpas PKI, Firman mengatakan bahwa pada awalnya ABRI belum menunjukkan perlawanannya terhadap PKI. Mahasiswalah yang memulai aksi. Didorong rasa ketidakpuasan pada kondisi saat itu, mahasiswa pun bergerak.
Hadir dalam diskusi, Toeti Kakiailatu (mantan wartawan senior Tempo) yang turut membedah buku. Menurutnya, dua buku tersebut memberikan kajian yang berbeda dari buku-buku yang telah ada. Perbedaan lebih terasa karena di dalamnya dibumbui berbagai pengalaman personal penulis.
“Firman telah mengisi kekosongan kisah kehidupan sehari-hari masyarakat yang tengah berkembang dan bertransformasi, serta memberi kesejukan di tengah kemarau panjang kurangnya buku-buku yang mengupas sejarah sosial maupun lokal secara detail,” kata Toeti.
Dituturkannya bahwa buku ini dapat digunakan untuk pembelajaran sejarah kala itu. Hal tersebut berguna dalam membangun Indonesia agar tidak mengulang kesalahan masa lampau dan memperbaiki kondisi ke depan. Sedikit kritik yang disampaikan Toeti, menurutnya penulisan buku ini belum menggunakan acuan dan penggunaan indeks yang sesuai dengan kaidah penulisan baku. (Humas UGM/Ika)
PTN-PTS Diajak Manfaatkan Peluang, Lima Juta Mahasiswa Eropa akan Belajar di Indonesia
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Depdiknas, Prof. Dr. Fasli Jalal, mengharapkan perguruan tinggi di Indonesia dapat memanfaatkan peluang adanya lima juta mahasiswa Eropa yang akan belajar selama satu semester di negeri ini. Peluang tersebut berangkat dari kewajiban mahasiswa Eropa untuk menempuh kuliah di luar negaranya selama satu semester sebelum lulus. Mereka nantinya dapat diikutkan dalam program summer course, credit transfer, atau kuliah satu semester. Selama ini, kebanyakan mahasiswa Eropa memanfaatkan waktu belajar di luar negaranya hanya di lingkungan negara Eropa. Oleh karena itu, program studi yang ditawarkan pun relatif sama.
“Mahasiswa Eropa harus keluar dari negaranya untuk kuliah di tempat lain selama satu semester sebelum mereka lulus dalam 4 tahun,” kata Fasli Jalal dalam pembukaan Forum Rembug Nasional yang diselenggarakan Forum Mahasiswa Pascasarjana se-Indonesia. Acara digelar di Hotel University, Yogyakarta, Kamis (12/3).
Sehubungan dengan adanya peluang itu, Fasli mengimbau agar setiap PTN dan PTS dapat memanfaatkannya dengan menyiapkan program unggulan masing-masing dan kegiatan KKN tematik yang dapat ditawarkan kepada para mahasiswa tersebut.
Perbesar Anggaran Dana Penelitian
Fasli Jalal menuturkan Ditjen Dikti berencana akan mengucurkan bantuan dana penelitian kepada 1.000 mahasiswa program doktor. Bantuan akan diterimakan sebesar Rp50 juta per orang. Sementara itu, beasiswa BPPS tahun 2009 diberikan kepada 5.500 mahasiswa yang akan mengambil program S3 dan 2.000 mahasiswa program S2. Diakuinya, jumlah penerima beasiswa BPPS tahun ini meningkat dibandingkan dengan tahun lalu (program S2 hanya 2.000 orang dan program S3 sebanyak 1984 mahasiswa).
Untuk anggaran penelitian bagi para dosen, telah disiapkan dana Rp200 milyar. Secara keseluruhan, anggaran penelitian yang merupakan gabungan dana Dikti, Balitbang, Ristek, dan BPPT telah disiapkan lebih dari satu triliun rupiah.
“Setiap dosen kita prioritaskan untuk membuat publikasi ilmiah internasional, penulisan buku ajar, pendaftaran paten, dan perolehan paten,” ujar Fasli Jalal.
Di samping itu, Pemerintah menargetkan angka partisipasi mahasiswa yang masuk ke jalur pendidikan tinggi akan bertambah sekitar 400 ribu orang tiap tahun. Dengan demikian, jumlah mahasiswa baru ditargetkan akan bertambah sebesar dua juta orang pada 2014. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
“Mahasiswa Eropa harus keluar dari negaranya untuk kuliah di tempat lain selama satu semester sebelum mereka lulus dalam 4 tahun,” kata Fasli Jalal dalam pembukaan Forum Rembug Nasional yang diselenggarakan Forum Mahasiswa Pascasarjana se-Indonesia. Acara digelar di Hotel University, Yogyakarta, Kamis (12/3).
Sehubungan dengan adanya peluang itu, Fasli mengimbau agar setiap PTN dan PTS dapat memanfaatkannya dengan menyiapkan program unggulan masing-masing dan kegiatan KKN tematik yang dapat ditawarkan kepada para mahasiswa tersebut.
Perbesar Anggaran Dana Penelitian
Fasli Jalal menuturkan Ditjen Dikti berencana akan mengucurkan bantuan dana penelitian kepada 1.000 mahasiswa program doktor. Bantuan akan diterimakan sebesar Rp50 juta per orang. Sementara itu, beasiswa BPPS tahun 2009 diberikan kepada 5.500 mahasiswa yang akan mengambil program S3 dan 2.000 mahasiswa program S2. Diakuinya, jumlah penerima beasiswa BPPS tahun ini meningkat dibandingkan dengan tahun lalu (program S2 hanya 2.000 orang dan program S3 sebanyak 1984 mahasiswa).
Untuk anggaran penelitian bagi para dosen, telah disiapkan dana Rp200 milyar. Secara keseluruhan, anggaran penelitian yang merupakan gabungan dana Dikti, Balitbang, Ristek, dan BPPT telah disiapkan lebih dari satu triliun rupiah.
“Setiap dosen kita prioritaskan untuk membuat publikasi ilmiah internasional, penulisan buku ajar, pendaftaran paten, dan perolehan paten,” ujar Fasli Jalal.
Di samping itu, Pemerintah menargetkan angka partisipasi mahasiswa yang masuk ke jalur pendidikan tinggi akan bertambah sekitar 400 ribu orang tiap tahun. Dengan demikian, jumlah mahasiswa baru ditargetkan akan bertambah sebesar dua juta orang pada 2014. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Tuesday, March 17, 2009
UGM Desak Calon Legislator di Lembaga Wakil Rakyat Harus Bermoral dan Cakap
UGM mendesak para calon legislator dari semua parpol peserta Pemilu 2009 mempersiapkan kualitas diri yang memadai. Kualitas diri terkait dengan moral dan kecakapan ketika terpilih menjadi wakil rakyat, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Sekurang-kurangnya ada lima kriteria yang harus dipenuhi. Kriteria-kriteria yang dimaksud adalah harus memiliki integritas moral, pengetahuan yang memadai tentang keindonesiaan, kecakapan penalaran, pengetahuan umum, dan keterampilan teknis legislatif.
Demikian disampaikan perwakilan dosen UGM yang terdiri dari Prof. Ir. Wahyudi Budi Sediawan, S.U., Ph.D. (Fakultas Teknik), Prof. Dr. Ir. Siti Muslimah Widyastuti, M.Sc. (Fakultas Kehutanan), Prof. Etty Indriati, Ph.D. (Guru Besar Fakultas Kedokteran), Dr. Purwanto, S.U., M.Phil. (Fakultas Isipol), Dr. Supama, M.Si. (Fakultas MIPA), dan Drs. Djoko Pitoyo (Fakultas Filsafat). Pernyataan dibacakan Drs. Djoko Pitoyo di Ruang Sidang Majelis Guru Besar (MGB) Kantor Pusat UGM, Rabu (11/3).
Didampingi oleh Prof. Ir. Wahyudi Budi Sediawan, S.U., Ph.D., Dr. Purwanto, S.U., M.Phil., dan Dr. Supama, M.Si., Drs. Djoko Pitoyo menyatakan perkembangan partisipasi politik terutama minat untuk menjadi wakil rakyat tidak diikuti dengan kualitas diri partisipan secara memadai. Akibatnya, rakyat sering dikecewakan dengan rendahnya kinerja dan bahkan perilaku yang tidak terpuji para anggota legislatif.
“Kekecewaan rakyat itu lama kelamaan dapat berkembang ke arah pesismisme, bahkan lebih berbahaya lagi mengujung hingga ke apatisme politik,” ujar Djoko.
Sinyalemen sejumlah pihak yang menangkap gejala pembesaran golput pada pemilu mendatang merupakan indikasi bahwa apatisme politik sedang tumbuh subur. Keadaan ini sungguh memprihatinkan jika tidak ingin disebut telah sampai ke taraf mencemaskan.
Idealnya lembaga-lembaga perwakilan rakyat kelak diisi oleh para wakil rakyat yang memiliki sekurang-kurangnya lima kriteria yang telah disebutkan. Di samping itu, diperlukan juga lembaga independen yang andal sebagai pembuat instrumen dan pelaksana seleksi bagi para calon anggota legislatif.
“Dengan adanya lembaga independen ini, bila si calon kelak terpilih, ia akan menjadi wakil rakyat yang bermoral, cakap, dan terampil menjalankan tugas-tugasnya sebagai legislator yang andal,” lanjut Djoko.
Namun, apabila pembentukan lembaga independen sulit direalisasikan dalam waktu dekat, para calon legislator seharusnya mempunyai tekad dan upaya sungguh-sungguh untuk meningkatkan kualitas diri dengan belajar sepanjang hayat.
“Perilaku belajar sepanjang hayat diharapkan berimbas pada masyarakat luas sehingga bangsa Indonesia akan menjadi masyarakat pembelajar,” tutur Djoko. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Demikian disampaikan perwakilan dosen UGM yang terdiri dari Prof. Ir. Wahyudi Budi Sediawan, S.U., Ph.D. (Fakultas Teknik), Prof. Dr. Ir. Siti Muslimah Widyastuti, M.Sc. (Fakultas Kehutanan), Prof. Etty Indriati, Ph.D. (Guru Besar Fakultas Kedokteran), Dr. Purwanto, S.U., M.Phil. (Fakultas Isipol), Dr. Supama, M.Si. (Fakultas MIPA), dan Drs. Djoko Pitoyo (Fakultas Filsafat). Pernyataan dibacakan Drs. Djoko Pitoyo di Ruang Sidang Majelis Guru Besar (MGB) Kantor Pusat UGM, Rabu (11/3).
Didampingi oleh Prof. Ir. Wahyudi Budi Sediawan, S.U., Ph.D., Dr. Purwanto, S.U., M.Phil., dan Dr. Supama, M.Si., Drs. Djoko Pitoyo menyatakan perkembangan partisipasi politik terutama minat untuk menjadi wakil rakyat tidak diikuti dengan kualitas diri partisipan secara memadai. Akibatnya, rakyat sering dikecewakan dengan rendahnya kinerja dan bahkan perilaku yang tidak terpuji para anggota legislatif.
“Kekecewaan rakyat itu lama kelamaan dapat berkembang ke arah pesismisme, bahkan lebih berbahaya lagi mengujung hingga ke apatisme politik,” ujar Djoko.
Sinyalemen sejumlah pihak yang menangkap gejala pembesaran golput pada pemilu mendatang merupakan indikasi bahwa apatisme politik sedang tumbuh subur. Keadaan ini sungguh memprihatinkan jika tidak ingin disebut telah sampai ke taraf mencemaskan.
Idealnya lembaga-lembaga perwakilan rakyat kelak diisi oleh para wakil rakyat yang memiliki sekurang-kurangnya lima kriteria yang telah disebutkan. Di samping itu, diperlukan juga lembaga independen yang andal sebagai pembuat instrumen dan pelaksana seleksi bagi para calon anggota legislatif.
“Dengan adanya lembaga independen ini, bila si calon kelak terpilih, ia akan menjadi wakil rakyat yang bermoral, cakap, dan terampil menjalankan tugas-tugasnya sebagai legislator yang andal,” lanjut Djoko.
Namun, apabila pembentukan lembaga independen sulit direalisasikan dalam waktu dekat, para calon legislator seharusnya mempunyai tekad dan upaya sungguh-sungguh untuk meningkatkan kualitas diri dengan belajar sepanjang hayat.
“Perilaku belajar sepanjang hayat diharapkan berimbas pada masyarakat luas sehingga bangsa Indonesia akan menjadi masyarakat pembelajar,” tutur Djoko. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Deforestasi Hutan Capai 1,08 Juta Hektar per Tahun
Hutan merupakan sumber daya alam yang tidak ternilai harganya. Luas kawasan hutan Indonesia adalah 120,35 juta hektar. Dengan kawasan seluas itu, Indonesia menempati urutan ketiga hutan tropis terluas di dunia setelah Brazil di Amerika Latin dan Kongo di Afrika. Kekayaan keanekaragaman hayati hutan Indonesia mencakup 13 juta jenis tumbuhan dan satwa hampir 70% spesies di dunia.
Meskipun demikian, fakta di lapangan menunjukkan laju deforestasi masih cukup tinggi, yaitu 1,08 juta hektar/tahun. Melihat nilai absolutnya memang terlihat angka yang cukup besar. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49%, angka itu masih dapat diterima.
Sekditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan RI, Dr. Ir. Haryadi, M.B.A., M.M., mengemukakan hal tersebut dalam seminar nasional yang mengangkat tema “Generasi Muda Cerdas dan Cekatan dalam Perbaikan Lingkungan” di University Club UGM, Rabu (11/2).
Status kawasan hutan saat ini masih bersifat mengambang. Pertumbuhan ekonomi, laju pembangunan, dan pemekaran administrasi pemerintahan menimbulkan tekanan yang cukup besar akan perlunya perubahan tataruang, baik di tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional. Ketidakseimbangan laju perubahan tataruang dengan kemampuan kehutanan untuk mewujudkan legalitas kawasan hutan menyebabkan belum adanya kepastian kawasan.
Haryadi menuturkan penebangan liar saat ini tidak hanya terjadi di kawasan hutan produksi, tetapi telah mulai merambah ke hutan lindung dan hutan konversi. “Produksi kayu ilegal telah mencapai angka 50 juta m kubik/tahun. Di samping itu, negara juga merugi sebesar Rp30 triliun/tahun,” ujarnya.
Fakta lain menunjukkan pembakaran hutan dan ladang, perambahan hutan, konflik manusia dengan hewan, global warming, erosi, tanah longsor, dan banjir merupakan faktor-faktor penyebab kerusakan hutan dan lingkungan selama ini. Berdasarkan fakta terakhir dari interpretasi citra landsat, terdapat 19 kawasan yang perlu direhabilitasi. Luas kawasan adalah 41,75 juta hektar yang terdiri atas hutan negara, meliputi hutan lindung dan konversi (6,30 juta hektar); hutan produksi (15,20 juta hektar); dan lahan kritis di luar hutan (20,25 juta hektar).
Hutan merupakan unsur ekosistem dengan karakteristik khusus dan memiliki fungsi serbaguna. Diperkirakan sekitar 30 juta orang menggantungkan hidupnya dari sektor kehutanan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Di samping itu, fungsi sosial hutan juga sebagai penyangga kehidupan serta sebagai penyedia komoditas kayu, nonkayu, dan jasa.
Terkait dengan kerusakan hutan, Hariyadi menambahkan, dalam ambang batas tertentu hutan memiliki kemampuan memulihkan diri sendiri. Apabila tingkat kerusakan hutan relatif besar dan di luar batas kemampuan, diperlukan campur tangan manusia, teknologi dengan biaya tinggi, energi yang besar, dan waktu yang panjang.
Lantas, bagaimana jalan yang harus ditempuh untuk mengelola hutan di masa mendatang? Hariyadi menyebutkan selain dengan membangun komitmen segenap pemangku kepentingan, juga harus mengembangkan visi dan misi yang jelas, menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas di bidang kehutanan, menata kelembagaan, serta memilih eksekutor yang tepat.
“Gerakan penyelamatan hutan dan lingkungan akan berjalan efektif jika memenuhi empat syarat, yakni paradigma yang jelas, konkret, dan terukur; jejaring yang luas dan mengakar; pemimpin tangguh dengan komitmen sangat kuat; serta momentum yang tepat,” tegas alumnus Fakultas Kehutanan angkatan 1974 ini.
Dalam kesempatan itu, Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum, Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM, juga menyampaikan pemikirannya. Dikatakannya bahwa internalisasi moral lingkungan banyak mengalami kegagalan karena negara tidak berhasil menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada. Internalisasi lingkungan sangat dibutuhkan, tetapi hal itu saja tidak cukup. Di samping membangun kesadaran individu, kesadaran masyarakat secara luas juga harus dibangun untuk dapat mencapai hasil maksimal. Kebijakan serta kapasitas negara yang anti terhadap lingkungan juga menjadi hambatan utama dalam pengelolaan hutan.
”Dikotomi ekonomi yang menganaktirikan agro dan lingkungan sudah saatnya untuk dihentikan. Begitu juga dengan pembangunan sebagai alat ekonomis. Pembangunan kawasan berbasis politik ekologi, politik ekonomi dan politik kesejahteraan sudah waktunya untuk dirancang,” tandas Maksum.
Hal senada juga dikatakan Prof. Dr. Ir. Chafid Fandeli, M.S. yang merupakan staf pengajar Fakultas Kehutanan UGM. Jika ingin membina pembangunan yang berkelanjutan melalui paradigma berwawasan lingkungan, harus dimulai dari kesadaran masing-masing individu, mau mengerti, dan berperilaku secara arif. Perubahan individu juga harus diikuti oleh perubahan dalam masyarakat. “Jika hanya dilakukan pada tataran individu, tetapi masyarakatnya tidak berubah, maka permasalahan secara fundamental tidak bisa terselesaikan,” jelas Chafid.
Sementara itu, Walikota Solo, Ir. Joko Widodo, lebih banyak menyampaikan langkah-langkah yang telah ditempuhnya dalam usaha perbaikan lingkungan. Joko mencontohkan relokasi PKL di beberapa tempat di kota Solo. Tempat lama para PKL dijadikan sebagai ruang hijau terbuka. Selain untuk menciptakan kota yang tertata, hal tersebut juga untuk mewujudkan kawasan berwawasan lingkungan. (Humas UGM/Ika)
Meskipun demikian, fakta di lapangan menunjukkan laju deforestasi masih cukup tinggi, yaitu 1,08 juta hektar/tahun. Melihat nilai absolutnya memang terlihat angka yang cukup besar. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49%, angka itu masih dapat diterima.
Sekditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan RI, Dr. Ir. Haryadi, M.B.A., M.M., mengemukakan hal tersebut dalam seminar nasional yang mengangkat tema “Generasi Muda Cerdas dan Cekatan dalam Perbaikan Lingkungan” di University Club UGM, Rabu (11/2).
Status kawasan hutan saat ini masih bersifat mengambang. Pertumbuhan ekonomi, laju pembangunan, dan pemekaran administrasi pemerintahan menimbulkan tekanan yang cukup besar akan perlunya perubahan tataruang, baik di tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional. Ketidakseimbangan laju perubahan tataruang dengan kemampuan kehutanan untuk mewujudkan legalitas kawasan hutan menyebabkan belum adanya kepastian kawasan.
Haryadi menuturkan penebangan liar saat ini tidak hanya terjadi di kawasan hutan produksi, tetapi telah mulai merambah ke hutan lindung dan hutan konversi. “Produksi kayu ilegal telah mencapai angka 50 juta m kubik/tahun. Di samping itu, negara juga merugi sebesar Rp30 triliun/tahun,” ujarnya.
Fakta lain menunjukkan pembakaran hutan dan ladang, perambahan hutan, konflik manusia dengan hewan, global warming, erosi, tanah longsor, dan banjir merupakan faktor-faktor penyebab kerusakan hutan dan lingkungan selama ini. Berdasarkan fakta terakhir dari interpretasi citra landsat, terdapat 19 kawasan yang perlu direhabilitasi. Luas kawasan adalah 41,75 juta hektar yang terdiri atas hutan negara, meliputi hutan lindung dan konversi (6,30 juta hektar); hutan produksi (15,20 juta hektar); dan lahan kritis di luar hutan (20,25 juta hektar).
Hutan merupakan unsur ekosistem dengan karakteristik khusus dan memiliki fungsi serbaguna. Diperkirakan sekitar 30 juta orang menggantungkan hidupnya dari sektor kehutanan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Di samping itu, fungsi sosial hutan juga sebagai penyangga kehidupan serta sebagai penyedia komoditas kayu, nonkayu, dan jasa.
Terkait dengan kerusakan hutan, Hariyadi menambahkan, dalam ambang batas tertentu hutan memiliki kemampuan memulihkan diri sendiri. Apabila tingkat kerusakan hutan relatif besar dan di luar batas kemampuan, diperlukan campur tangan manusia, teknologi dengan biaya tinggi, energi yang besar, dan waktu yang panjang.
Lantas, bagaimana jalan yang harus ditempuh untuk mengelola hutan di masa mendatang? Hariyadi menyebutkan selain dengan membangun komitmen segenap pemangku kepentingan, juga harus mengembangkan visi dan misi yang jelas, menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas di bidang kehutanan, menata kelembagaan, serta memilih eksekutor yang tepat.
“Gerakan penyelamatan hutan dan lingkungan akan berjalan efektif jika memenuhi empat syarat, yakni paradigma yang jelas, konkret, dan terukur; jejaring yang luas dan mengakar; pemimpin tangguh dengan komitmen sangat kuat; serta momentum yang tepat,” tegas alumnus Fakultas Kehutanan angkatan 1974 ini.
Dalam kesempatan itu, Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum, Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM, juga menyampaikan pemikirannya. Dikatakannya bahwa internalisasi moral lingkungan banyak mengalami kegagalan karena negara tidak berhasil menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada. Internalisasi lingkungan sangat dibutuhkan, tetapi hal itu saja tidak cukup. Di samping membangun kesadaran individu, kesadaran masyarakat secara luas juga harus dibangun untuk dapat mencapai hasil maksimal. Kebijakan serta kapasitas negara yang anti terhadap lingkungan juga menjadi hambatan utama dalam pengelolaan hutan.
”Dikotomi ekonomi yang menganaktirikan agro dan lingkungan sudah saatnya untuk dihentikan. Begitu juga dengan pembangunan sebagai alat ekonomis. Pembangunan kawasan berbasis politik ekologi, politik ekonomi dan politik kesejahteraan sudah waktunya untuk dirancang,” tandas Maksum.
Hal senada juga dikatakan Prof. Dr. Ir. Chafid Fandeli, M.S. yang merupakan staf pengajar Fakultas Kehutanan UGM. Jika ingin membina pembangunan yang berkelanjutan melalui paradigma berwawasan lingkungan, harus dimulai dari kesadaran masing-masing individu, mau mengerti, dan berperilaku secara arif. Perubahan individu juga harus diikuti oleh perubahan dalam masyarakat. “Jika hanya dilakukan pada tataran individu, tetapi masyarakatnya tidak berubah, maka permasalahan secara fundamental tidak bisa terselesaikan,” jelas Chafid.
Sementara itu, Walikota Solo, Ir. Joko Widodo, lebih banyak menyampaikan langkah-langkah yang telah ditempuhnya dalam usaha perbaikan lingkungan. Joko mencontohkan relokasi PKL di beberapa tempat di kota Solo. Tempat lama para PKL dijadikan sebagai ruang hijau terbuka. Selain untuk menciptakan kota yang tertata, hal tersebut juga untuk mewujudkan kawasan berwawasan lingkungan. (Humas UGM/Ika)
Monday, March 16, 2009
Indonesia Harus Manfaatkan Potensi Energi Biomassa
Krisis yang dihadapi sebuah negara tidak dapat diatasi sendiri oleh pemerintah. Masyarakat harus dilibatkan dan diikutsertakan secara luas untuk rela berkorban demi bangsa dan negaranya. Pengalaman inilah yang dilakukan oleh Korea ketika mengatasi krisis ekonomi di tahun 1997.
“Bagi orang Korea, memaknai krisis itu ada dua. Menganggap krisis sebagai waktu darurat, berbahaya, dan sangat sulit, atau menjadi kesempatan baru untuk mengubah keadaan yang lebih baik,” kata Prof. Yang Seung Yoon dari Hankuk University of Foreign Studies, Korea. Pernyataan itu disampaikannya dalam diskusi terbatas dengan puluhan mahasiswa UGM. Diskusi diselenggarakan dengan mengambil tema “Pengalaman Korea dalam Mengatasi Krisis” bertempat di Ruang Multi Media, Selasa (10/3).
Prof. Yang, 64 tahun, masih ingat saat ibunya merelakan cincin pemberian almarhum ayahnya untuk diserahkan kepada negara yang tengah dilanda krisis. Cincin tersebut telah disimpan ibunya selama 40 tahun. Namun, demi berkorban bagi negara, sang ibu dengan tulus ikhlas menyerahkan peninggalan berharga satu-satunya. Sebagai anak, Prof. Yang sempat melarang dan mencegah ibunya untuk tidak menyerahkan cincin tersebut. Apa jawab sang ibu? “Negara dulu, Bapak nanti,” tiru Prof. Yang.
Menurut profesor tamu Fakultas Isipol dan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM ini, semangat nasionalisme bangsa Korea yang tinggi telah menjadikan Korea lebih cepat pulih dan bangkit mengatasi krisis ekonomi dibandingkan dengan Indonesia. Semangat ini pula yang menjadikan Korea dapat maju menyamai Jepang dalam waktu empat puluh tahun.
Prof. Yang mengingatkan masyarakat Indonesia agar memiliki semangat nasionalisme yang sama untuk membantu bangsanya dalam menghadapi krisis ekonomi. Apa yang dialami bangsa Indonesia saat ini hampir sama dengan Korea pada empat puluh tahun lalu.
Sementara itu, Park See Woo, Presiden Direktur PT Solar Park yang merupakan perusahaan tenaga surya terbesar di dunia, mengatakan krisis yang dihadapi Indonesia tidak sedemikian sulit dibandingkan dengan krisis yang dihadapi Korea saat ini. Ia menyebutkan nilai tukar mata uang Indonesia terhadap dolar mengalami penurunan hingga 2 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Sementara Korea, turun hingga 45 persen.
Dalam kesempatan itu, Park See Woo menganjurkan agar para mahasiswa memanfaatkan potensi energi biomassa yang merupakan energi potensial di masa depan. Karena selain sebagai sumber energi terbarukan, energi biomassa juga merupakan jalan keluar dari ketergantungan manusia pada masalah lingkungan.
“Biomassa merupakan solusi masa depan. Mungkin teknologi ini belum dikuasai Indonesia. Saya yakin, jika bersungguh-sungguh dalam waktu 10 tahun Indonesia bisa memanfaatkan teknologi biomassa ini,” tutur pengusaha yang telah menanamkan investasinya di Wonosobo dalam usaha pembuatan kapsul dari serbuk gergaji.
Dalam pandangannya, Indonesia tidak dapat terus menerus bergantung dengan minyak bumi dan batu bara karena suatu saat akan habis. Sementara itu, potensi energi biomassa di Indonesia merupakan yang terbesar di dunia. Di luar negeri, harganya cukup mahal sehingga Amerika, Rusia, Jepang, Cina, dan Korea sendiri mulai meliriknya saat ini. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
“Bagi orang Korea, memaknai krisis itu ada dua. Menganggap krisis sebagai waktu darurat, berbahaya, dan sangat sulit, atau menjadi kesempatan baru untuk mengubah keadaan yang lebih baik,” kata Prof. Yang Seung Yoon dari Hankuk University of Foreign Studies, Korea. Pernyataan itu disampaikannya dalam diskusi terbatas dengan puluhan mahasiswa UGM. Diskusi diselenggarakan dengan mengambil tema “Pengalaman Korea dalam Mengatasi Krisis” bertempat di Ruang Multi Media, Selasa (10/3).
Prof. Yang, 64 tahun, masih ingat saat ibunya merelakan cincin pemberian almarhum ayahnya untuk diserahkan kepada negara yang tengah dilanda krisis. Cincin tersebut telah disimpan ibunya selama 40 tahun. Namun, demi berkorban bagi negara, sang ibu dengan tulus ikhlas menyerahkan peninggalan berharga satu-satunya. Sebagai anak, Prof. Yang sempat melarang dan mencegah ibunya untuk tidak menyerahkan cincin tersebut. Apa jawab sang ibu? “Negara dulu, Bapak nanti,” tiru Prof. Yang.
Menurut profesor tamu Fakultas Isipol dan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM ini, semangat nasionalisme bangsa Korea yang tinggi telah menjadikan Korea lebih cepat pulih dan bangkit mengatasi krisis ekonomi dibandingkan dengan Indonesia. Semangat ini pula yang menjadikan Korea dapat maju menyamai Jepang dalam waktu empat puluh tahun.
Prof. Yang mengingatkan masyarakat Indonesia agar memiliki semangat nasionalisme yang sama untuk membantu bangsanya dalam menghadapi krisis ekonomi. Apa yang dialami bangsa Indonesia saat ini hampir sama dengan Korea pada empat puluh tahun lalu.
Sementara itu, Park See Woo, Presiden Direktur PT Solar Park yang merupakan perusahaan tenaga surya terbesar di dunia, mengatakan krisis yang dihadapi Indonesia tidak sedemikian sulit dibandingkan dengan krisis yang dihadapi Korea saat ini. Ia menyebutkan nilai tukar mata uang Indonesia terhadap dolar mengalami penurunan hingga 2 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Sementara Korea, turun hingga 45 persen.
Dalam kesempatan itu, Park See Woo menganjurkan agar para mahasiswa memanfaatkan potensi energi biomassa yang merupakan energi potensial di masa depan. Karena selain sebagai sumber energi terbarukan, energi biomassa juga merupakan jalan keluar dari ketergantungan manusia pada masalah lingkungan.
“Biomassa merupakan solusi masa depan. Mungkin teknologi ini belum dikuasai Indonesia. Saya yakin, jika bersungguh-sungguh dalam waktu 10 tahun Indonesia bisa memanfaatkan teknologi biomassa ini,” tutur pengusaha yang telah menanamkan investasinya di Wonosobo dalam usaha pembuatan kapsul dari serbuk gergaji.
Dalam pandangannya, Indonesia tidak dapat terus menerus bergantung dengan minyak bumi dan batu bara karena suatu saat akan habis. Sementara itu, potensi energi biomassa di Indonesia merupakan yang terbesar di dunia. Di luar negeri, harganya cukup mahal sehingga Amerika, Rusia, Jepang, Cina, dan Korea sendiri mulai meliriknya saat ini. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Lima Puluh Siswa SMU Se-Indonesia Mengikuti Olimpiade Kehutanan Indonesia 2009
Sebanyak lima puluh siswa SMU atau yang sederajat se-Indonesia direncanakan mengikuti lomba cerdas cermat dalam Olimpiade Kehutanan Indonesia (OKI) 2009. Olimpiade diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Manajemen Hutan (KMMH) Fakultas Kehutanan UGM dengan mengambil tema “Generasi Muda Cerdas dan Cekatan dalam Perbaikan Lingkungan”. Untuk lomba cerdas cermat akan dilangsungkan selama 3 hari, yakni tanggal 12-14 Maret 2009 di Hutan Pendidikan Wanagama I UGM.
Dijelaskan oleh Khamdan Primandaru selaku Ketua Panitia OKI 2009, lima puluh siswa yang akan mengikuti lomba cerdas cermat dijaring melalui proses seleksi terlebih dahulu. “Tahap awal seleksi dilakukan dengan seleksi karya tulis bertema lingkungan dan seleksi hasil jawaban dari soal-soal tentang kehutanan sebanyak 20 buah,” kata Khamdan di kampus UGM, Selasa (10/3).
Selama tiga hari, ke-50 peserta direncanakan akan mengikuti beberapa tahapan seleksi, yakni penyisihan I, penyisihan II, babak 9 besar, dan tahap penentuan ialah lomba cerdas cermat yang diikuti oleh 3 besar.
Lebih lanjut mahasiswa Jurusan Manajemen Hutan angkatan 2006 ini menuturkan juara I akan memperoleh tropi bergilir Menteri Kehutanan RI dan tropi Rektor UGM. Juara II mendapatkan tropi Dekan Fakultas Kehutanan UGM dan juara III akan membawa pulang tropi Ketua KMMH Fakultas Kehutanan UGM.
Khamdan menjelaskan OKI merupakan agenda dua tahunan Himpunan Mahasiswa Jurusan Fakultas Kehutanan UGM. Kegiatan ini yang kedua kalinya diselenggarakan. Olimpiade pertama diselenggarakan pada 2007 silam.
Di samping lomba cerdas cermat, dalam OKI 2009 ini juga diselenggarakan seminar nasional yang bertajuk “Internalisasi Moral Lingkungan pada Generasi Muda sebagai Penggerak Roda Peradaban di Masa Depan”. Seminar akan digelar di University Club UGM pada 11 Maret 2009. Pembicara yang akan hadir adalah Dr. Ir. Haryadi, M.B.A., M.M., (Sekditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam), Prof. Dr. Ir. Mochamad Maksum (Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM), Prof. Dr. Ir. Chafid Fandeli, M.S. (dosen Fakultas Kehutanan UGM), dan Ir. Joko Widodo (Walikota Solo). Pada hari berikutnya, Minggu, 15 Maret 2009 akan diadakan Tour the Jogja dan pentas seni di Museum Perjuangan Serangan Umum 1 Maret. (Humas UGM/Ika)
Dijelaskan oleh Khamdan Primandaru selaku Ketua Panitia OKI 2009, lima puluh siswa yang akan mengikuti lomba cerdas cermat dijaring melalui proses seleksi terlebih dahulu. “Tahap awal seleksi dilakukan dengan seleksi karya tulis bertema lingkungan dan seleksi hasil jawaban dari soal-soal tentang kehutanan sebanyak 20 buah,” kata Khamdan di kampus UGM, Selasa (10/3).
Selama tiga hari, ke-50 peserta direncanakan akan mengikuti beberapa tahapan seleksi, yakni penyisihan I, penyisihan II, babak 9 besar, dan tahap penentuan ialah lomba cerdas cermat yang diikuti oleh 3 besar.
Lebih lanjut mahasiswa Jurusan Manajemen Hutan angkatan 2006 ini menuturkan juara I akan memperoleh tropi bergilir Menteri Kehutanan RI dan tropi Rektor UGM. Juara II mendapatkan tropi Dekan Fakultas Kehutanan UGM dan juara III akan membawa pulang tropi Ketua KMMH Fakultas Kehutanan UGM.
Khamdan menjelaskan OKI merupakan agenda dua tahunan Himpunan Mahasiswa Jurusan Fakultas Kehutanan UGM. Kegiatan ini yang kedua kalinya diselenggarakan. Olimpiade pertama diselenggarakan pada 2007 silam.
Di samping lomba cerdas cermat, dalam OKI 2009 ini juga diselenggarakan seminar nasional yang bertajuk “Internalisasi Moral Lingkungan pada Generasi Muda sebagai Penggerak Roda Peradaban di Masa Depan”. Seminar akan digelar di University Club UGM pada 11 Maret 2009. Pembicara yang akan hadir adalah Dr. Ir. Haryadi, M.B.A., M.M., (Sekditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam), Prof. Dr. Ir. Mochamad Maksum (Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM), Prof. Dr. Ir. Chafid Fandeli, M.S. (dosen Fakultas Kehutanan UGM), dan Ir. Joko Widodo (Walikota Solo). Pada hari berikutnya, Minggu, 15 Maret 2009 akan diadakan Tour the Jogja dan pentas seni di Museum Perjuangan Serangan Umum 1 Maret. (Humas UGM/Ika)
Sunday, March 15, 2009
Prof. Triwidodo Arwiyanto: Bakteri Patogen Bermanfaat dalam Dunia Industri
Bakteri patogen tumbuhan perlu dikelola dengan benar, baik pada saat berada di luar tanaman, sebelum menyerang tanaman, saat terjangkit penyakit, maupun saat berada di laboratorium dalam bentuk koleksi kultur. Bakteri tersebut perlu dikelola agar tidak merusak tanaman. Di sisi lain, bakteri patogen dapat dimaksimalkan potensinya untuk penyediaan bahan baku industri makanan dan industri lain yang berbasis mikroba.
Pernyataan tersebut disampaikan Prof. Dr. Ir. Triwidodo Arwiyanto, M.Sc. saat dikukuhkan sebagai guru besar pada Fakultas Pertanian. Pengukuhan dilaksanakan di Balai Senat UGM, Selasa (10/2).
Kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit karena bakteri dapat menurunkan kualitas dan kuantitas produksi tanaman. Akibatnya, ketahanan dan keamanan pangan akan terganggu. "Munculnya penyakit pascapanen menyebabkan bahan baku olahan produksi makanan, obat tradisional, dan kosmetika menjadi turun kualitasnya. Diperlukan penanganan khusus agar tidak meluas selama penyimpanan," jelasnya.
Deteksi dini terhadap keberadaan bakteri patogen di dalam jaringan tanaman seperti umbi, benih, dan stek yang akan digunakan sebagai bahan propagasi tanaman merupakan cara terbaik untuk mencegah timbulnya penyakit di lapangan. Polymerase Chain Reaction (PCR) dengan primer khusus dapat digunakan untuk mendeteksi patogen dan diagnosis penyakit tumbuhan. Protokol deteksi khususnya digunakan terhadap bakteri-bakteri dengan strategi utama pengelolaan melalui penghindaran (avoidance). Ada bakteri patogen, karena berbahaya, benih atau bagian tanaman harus zero tolerance, seperti penyakit busuk pada kentang. Ada juga yang desired zero tolerance, penyakit bercak, speck, dan canker pada tomat.
"Bila pada 1 biji dalam 10.000 biji tomat atau buncis ditemukan bakteri patogen, hal ini bisa mengancurkan pertanaman dan menyebabkan kerugian ekonomi yang besar," kata staf pengajar Fakultas Pertanian UGM ini.
Dinamika populasi bakteri patogen memang dapat dideteksi melalui teknik PCR dengan primer khusus. Namun, teknologi ini belum mampu mendeteksi bakteri yang tergolong 'hidup tetapi tidak dapat dibiarkan' (variable but non-culturable). Salah satu usaha pencegahan adalah dengan memakai bibit sehat yang dapat dideteksi keberadaan patogen di dalamnya dengan teknologi 'real time PCR'.
“Deteksi terhadap adanya bakteri di dalam tanah di lapangan juga akan mempermudah petani dalam penerapan teknologi penanaman yang lebih baik sehingga bisa meminimalkan munculnya penyakit," tutur pria berusia 49 tahun ini.
Selain dapat merusak tanaman, bakteri patogen ternyata dapat dimanfaatkan dalam dunia industri. Bakteri ini dapat digunakan sebagai salah satu produsen bahan kimia industri yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi. Triwidodo mencontohkan bakteri Xanthomonas campestris mampu memproduksi polisakarida yang didistribusikan di sekeliling selnya yang disebut xanthan gum. Bahan inilah yang banyak digunakan dalam berbagai industri, misalnya industri perminyakan, keramik, makanan, dan cat. Produksi xanthan gum yang membutuhkan jutaan liter kultur Xanthomonas dalam frementor memerlukan kehati-hatian yang tinggi dalam pembuangan bakteri produsennya.
Triwidodo juga mencontohkan bakteri inti es yang menyebabkan kerusakan sel tanaman. Bakteri ini sangat berpotensi untuk dikembangkan dalam berbagai industri berbasis mikrobia dan produk metabolitnya. Bakteri inti es juga dapat dikembangkan sebagai agnesia cloud-seeding untuk modifikasi cuaca dan agnesia pembentuk salju buatan.
Tanah tropika mempunyai keanekaragaman hayati mikro yang lebih banyak jumlah dan variasinya dibandingkan dengan tanah di daerah beriklim sedang. Di samping itu, mikroorganisme yang berasosiasi dengan tanaman, baik sebagai patogen maupun yang bersifat menguntungkan, telah banyak didokumentasikan. "Keberadaan mikroorganisme yang melimpah dengan beraneka manfaat yang dapat dipetik perlu dieksplorasi lebih lanjut untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan kesejahteraan manusia," kata bapak tiga anak ini. (Humas UGM)
Pernyataan tersebut disampaikan Prof. Dr. Ir. Triwidodo Arwiyanto, M.Sc. saat dikukuhkan sebagai guru besar pada Fakultas Pertanian. Pengukuhan dilaksanakan di Balai Senat UGM, Selasa (10/2).
Kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit karena bakteri dapat menurunkan kualitas dan kuantitas produksi tanaman. Akibatnya, ketahanan dan keamanan pangan akan terganggu. "Munculnya penyakit pascapanen menyebabkan bahan baku olahan produksi makanan, obat tradisional, dan kosmetika menjadi turun kualitasnya. Diperlukan penanganan khusus agar tidak meluas selama penyimpanan," jelasnya.
Deteksi dini terhadap keberadaan bakteri patogen di dalam jaringan tanaman seperti umbi, benih, dan stek yang akan digunakan sebagai bahan propagasi tanaman merupakan cara terbaik untuk mencegah timbulnya penyakit di lapangan. Polymerase Chain Reaction (PCR) dengan primer khusus dapat digunakan untuk mendeteksi patogen dan diagnosis penyakit tumbuhan. Protokol deteksi khususnya digunakan terhadap bakteri-bakteri dengan strategi utama pengelolaan melalui penghindaran (avoidance). Ada bakteri patogen, karena berbahaya, benih atau bagian tanaman harus zero tolerance, seperti penyakit busuk pada kentang. Ada juga yang desired zero tolerance, penyakit bercak, speck, dan canker pada tomat.
"Bila pada 1 biji dalam 10.000 biji tomat atau buncis ditemukan bakteri patogen, hal ini bisa mengancurkan pertanaman dan menyebabkan kerugian ekonomi yang besar," kata staf pengajar Fakultas Pertanian UGM ini.
Dinamika populasi bakteri patogen memang dapat dideteksi melalui teknik PCR dengan primer khusus. Namun, teknologi ini belum mampu mendeteksi bakteri yang tergolong 'hidup tetapi tidak dapat dibiarkan' (variable but non-culturable). Salah satu usaha pencegahan adalah dengan memakai bibit sehat yang dapat dideteksi keberadaan patogen di dalamnya dengan teknologi 'real time PCR'.
“Deteksi terhadap adanya bakteri di dalam tanah di lapangan juga akan mempermudah petani dalam penerapan teknologi penanaman yang lebih baik sehingga bisa meminimalkan munculnya penyakit," tutur pria berusia 49 tahun ini.
Selain dapat merusak tanaman, bakteri patogen ternyata dapat dimanfaatkan dalam dunia industri. Bakteri ini dapat digunakan sebagai salah satu produsen bahan kimia industri yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi. Triwidodo mencontohkan bakteri Xanthomonas campestris mampu memproduksi polisakarida yang didistribusikan di sekeliling selnya yang disebut xanthan gum. Bahan inilah yang banyak digunakan dalam berbagai industri, misalnya industri perminyakan, keramik, makanan, dan cat. Produksi xanthan gum yang membutuhkan jutaan liter kultur Xanthomonas dalam frementor memerlukan kehati-hatian yang tinggi dalam pembuangan bakteri produsennya.
Triwidodo juga mencontohkan bakteri inti es yang menyebabkan kerusakan sel tanaman. Bakteri ini sangat berpotensi untuk dikembangkan dalam berbagai industri berbasis mikrobia dan produk metabolitnya. Bakteri inti es juga dapat dikembangkan sebagai agnesia cloud-seeding untuk modifikasi cuaca dan agnesia pembentuk salju buatan.
Tanah tropika mempunyai keanekaragaman hayati mikro yang lebih banyak jumlah dan variasinya dibandingkan dengan tanah di daerah beriklim sedang. Di samping itu, mikroorganisme yang berasosiasi dengan tanaman, baik sebagai patogen maupun yang bersifat menguntungkan, telah banyak didokumentasikan. "Keberadaan mikroorganisme yang melimpah dengan beraneka manfaat yang dapat dipetik perlu dieksplorasi lebih lanjut untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan kesejahteraan manusia," kata bapak tiga anak ini. (Humas UGM)
Saturday, March 14, 2009
UGM paling Banyak Manfaatkan Program Beasiswa AUN/SEED
Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Teknik (FT) UGM, Ir. Bambang Hari Wibisono, M.U.P., M.Sc., Ph.D., mengakui program beasiswa ASEAN University Network atau Southeast Asia Engineering Education Development Network (AUN/SEED-Net) merupakan program beasiswa kerja sama internasional yang paling banyak membantu staf pengajar dan alumni FT UGM dalam melanjutkan pendidikan di luar negeri pada rentang waktu lima tahun terakhir.
Pendapat tersebut disampaikan Bambang Hari Wibisono dalam acara promosi beasiswa AUN/SEED-Net di lantai 2 KPTU FT UGM, Selasa (10/2). Kegiatan promosi semacam ini memberikan kesempatan yang cukup lebar kepada para pencari beasiswa untuk melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi. “Kesempatan yang bagus bagi para mahasiswa maupun staf pengajar FT UGM untuk mencari dan mendapatkan beasiswa,” katanya.
Sementara Nazarul Effendy, Ph.D. selaku ketua panitia acara, dalam laporannya mengatakan UGM merupakan salah satu anggota AUN/SEED-Net yang telah meluluskan mahasiswa terbanyak, baik dari program master maupun doktor, yakni berjumlah 53 orang.
Dalam promosi beasiswa kali ini dilakukan presentasi dari universitas anggota AUN/SEED-Net. Dua di antaranya adalah Chulalongkorn University, Bangkok, yang merupakan host institution untuk Program Studi Teknik Sipil dan Teknik Elektro dan University of Malaya, Kuala Lumpur, yang merupakan host institution Program Studi Teknik Industri. Sementara anggota AUN lainnya menampilkan beberapa brosur dan poster yang berisi informasi tentang program beasiswa dari universitas masing-masing.
“Para alumni penerima beasiswa juga melakukan presentasi memberikan tips-tips dan saran dalam menjalankan studi dan hidup selama studi,” ujar Nazarul. (Humas UGM/Ika)
Pendapat tersebut disampaikan Bambang Hari Wibisono dalam acara promosi beasiswa AUN/SEED-Net di lantai 2 KPTU FT UGM, Selasa (10/2). Kegiatan promosi semacam ini memberikan kesempatan yang cukup lebar kepada para pencari beasiswa untuk melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi. “Kesempatan yang bagus bagi para mahasiswa maupun staf pengajar FT UGM untuk mencari dan mendapatkan beasiswa,” katanya.
Sementara Nazarul Effendy, Ph.D. selaku ketua panitia acara, dalam laporannya mengatakan UGM merupakan salah satu anggota AUN/SEED-Net yang telah meluluskan mahasiswa terbanyak, baik dari program master maupun doktor, yakni berjumlah 53 orang.
Dalam promosi beasiswa kali ini dilakukan presentasi dari universitas anggota AUN/SEED-Net. Dua di antaranya adalah Chulalongkorn University, Bangkok, yang merupakan host institution untuk Program Studi Teknik Sipil dan Teknik Elektro dan University of Malaya, Kuala Lumpur, yang merupakan host institution Program Studi Teknik Industri. Sementara anggota AUN lainnya menampilkan beberapa brosur dan poster yang berisi informasi tentang program beasiswa dari universitas masing-masing.
“Para alumni penerima beasiswa juga melakukan presentasi memberikan tips-tips dan saran dalam menjalankan studi dan hidup selama studi,” ujar Nazarul. (Humas UGM/Ika)
Diabetes Penyebab Utama Kebutaan
WHO memperkirakan prevalensi diabetes mellitus akan meningkat dari 8,4 juta orang penderita di tahun 2000 menjadi 21,3 juta di tahun 2030. Indonesia berada pada peringkat ke-4 negara yang memiliki kasus diabetes terbanyak di dunia. Sejumlah 75% dari penderita diabetes lebih dari 20 tahun diperkirakan akan mengalami retinopati diabetika (RDM). RDM merupakan salah satu penyebab utama kebutaan baru dan jumlahnya diperkirakan 4,8 persen dari seluruh kebutaan di dunia.
Diutarakan oleh dr. Tri Wahyu Widayanti, Sp.M(K), M.Kes. dari Bagian Mata Fakultas Kedokteran (FK) UGM, penyakit diabetes yang berpengaruh pada mata adalah respon akibat kondisi sistemik. RDM merupakan suatu komplikasi mikrovaskuler pada retina karena diabetes mellitus. Para penderita mengalami gangguan penyakit yang sangat kompleks, terdapat gangguan biokimiawi, hemodinamik, dan gangguan endokrin. Jika tidak diobati dan ditanggulangi sejak dini, pada tahap lanjut dapat menimbulkan kebutaan hingga menimbulkan rasa sakit yang hebat.
“Pada tahap awal, umumnya tidak menunjukkan gangguan pada penglihatan kecuali terjadi edema macula, penebalan retina, ataupun eksudat pada polus posterior,” jelas Tri Wahyu dalam Seminar Oftalmologi “Optimalisasi Penglihatan pada Penderita Diabetes Mellitus”. Seminar yang merupakan hasil kerja sama FK UGM dan RSUP Dr. Sardjito ini dilaksanakan di Auditorium FK UGM, Sabtu (7/3).
Sementara itu, dr. Angela Nurini Agni, Sp.M(K)., M.Kes. yang merupakan dosen Bagian Ilmu Penyakit Mata FK UGM mengatakan deteksi dini dan penanganan secara cepat dan tepat menjadi kunci penyelamatan pada penderita RDM. Menurutnya, kebutaan akibat RDM dapat dicegah dengan melakukan deteksi awal dan penanganan fotokoagulasi.
“Sebenarnya 80% dari penyebab kebutaan bisa dicegah dengan tindakan preventif dan kuratif seawal mungkin. Begitu juga dengan kebutaan akibat diabetes mellitus. Lebih dari 90% bisa dicegah dengan deteksi dini dan penanganan paripurna,” tuturnya.
Lebih lanjut disampaikan Angela bahwa untuk deteksi awal RDM dilakukan melalui skrining. Skrining telah terbukti efektif dalam menurunkan kebutaan. Skrining dapat dilakukan dengan oftalmoskop direk, oftalmoskop indirek, atau dengan kamera fundus yang dapat dilakukan oleh dokter umum, dokter spesialis penyakit dalam, perawat, dan teknisi yang sudah terlatih.
Namun karena beberapa faktor, pada pelaksanaannya cakupan skrining tidak memuaskan. Faktor-faktor tersebut, antara lain, kesadaran dan ketaatan pasien, kemampuan petugas dalam melakukan skrining, ketaatan petugas untuk melaksanakan rekomendasi standar, dan terkait dengan sistem pelayanan kesehatan serta infrastruktur untuk menjangkau masyarakat secara luas.
Angela menandaskan, “Skrining terhadap RDM di Indonesia belum termasuk dalam program nasional. Namun, sebagai bagian dari sistem pelayanan kesehatan kita harus mulai mempersiapkan diri untuk menghadapi lonjakan prevalensi RDM di kemudian hari.” (Humas UGM/Ika)
Diutarakan oleh dr. Tri Wahyu Widayanti, Sp.M(K), M.Kes. dari Bagian Mata Fakultas Kedokteran (FK) UGM, penyakit diabetes yang berpengaruh pada mata adalah respon akibat kondisi sistemik. RDM merupakan suatu komplikasi mikrovaskuler pada retina karena diabetes mellitus. Para penderita mengalami gangguan penyakit yang sangat kompleks, terdapat gangguan biokimiawi, hemodinamik, dan gangguan endokrin. Jika tidak diobati dan ditanggulangi sejak dini, pada tahap lanjut dapat menimbulkan kebutaan hingga menimbulkan rasa sakit yang hebat.
“Pada tahap awal, umumnya tidak menunjukkan gangguan pada penglihatan kecuali terjadi edema macula, penebalan retina, ataupun eksudat pada polus posterior,” jelas Tri Wahyu dalam Seminar Oftalmologi “Optimalisasi Penglihatan pada Penderita Diabetes Mellitus”. Seminar yang merupakan hasil kerja sama FK UGM dan RSUP Dr. Sardjito ini dilaksanakan di Auditorium FK UGM, Sabtu (7/3).
Sementara itu, dr. Angela Nurini Agni, Sp.M(K)., M.Kes. yang merupakan dosen Bagian Ilmu Penyakit Mata FK UGM mengatakan deteksi dini dan penanganan secara cepat dan tepat menjadi kunci penyelamatan pada penderita RDM. Menurutnya, kebutaan akibat RDM dapat dicegah dengan melakukan deteksi awal dan penanganan fotokoagulasi.
“Sebenarnya 80% dari penyebab kebutaan bisa dicegah dengan tindakan preventif dan kuratif seawal mungkin. Begitu juga dengan kebutaan akibat diabetes mellitus. Lebih dari 90% bisa dicegah dengan deteksi dini dan penanganan paripurna,” tuturnya.
Lebih lanjut disampaikan Angela bahwa untuk deteksi awal RDM dilakukan melalui skrining. Skrining telah terbukti efektif dalam menurunkan kebutaan. Skrining dapat dilakukan dengan oftalmoskop direk, oftalmoskop indirek, atau dengan kamera fundus yang dapat dilakukan oleh dokter umum, dokter spesialis penyakit dalam, perawat, dan teknisi yang sudah terlatih.
Namun karena beberapa faktor, pada pelaksanaannya cakupan skrining tidak memuaskan. Faktor-faktor tersebut, antara lain, kesadaran dan ketaatan pasien, kemampuan petugas dalam melakukan skrining, ketaatan petugas untuk melaksanakan rekomendasi standar, dan terkait dengan sistem pelayanan kesehatan serta infrastruktur untuk menjangkau masyarakat secara luas.
Angela menandaskan, “Skrining terhadap RDM di Indonesia belum termasuk dalam program nasional. Namun, sebagai bagian dari sistem pelayanan kesehatan kita harus mulai mempersiapkan diri untuk menghadapi lonjakan prevalensi RDM di kemudian hari.” (Humas UGM/Ika)
Friday, March 13, 2009
KB Bukan Hanya Tanggung Jawab Wanita
Kepala BKKBN Pusat, Dr. Sugiri Syarief, M.P.A., mengatakan saat ini partisipasi pria dalam program keluarga berencana (KB) nasional lebih ditingkatkan. Sebelumnya, peserta KB lebih didominasi oleh kalangan wanita. Padahal KB tidak hanya diperuntukkan bagi kaum wanita. Pria pun memiliki kewajiban untuk berpartisipasi menyukseskan program ini.
“Sampai saat ini para suami masih memiliki pemikiran bahwa KB adalah urusan istri mereka. Padahal perencanaan sebuah keluarga merupakan tanggung jawab bersama antara suami isteri,” kata Sugiri dalam Seminar Annual Scientific Meeting (ASM) 2009 “Peningkatan Partisipasi KB pada Pria,” di University Club (UC) UGM, Sabtu (7/2).
Dijelaskan oleh Sugiri bahwa peran pria dalam program KB tidak berhenti hanya sebagai peserta. Mereka juga harus menjadi motivator wanita dalam ber-KB, ikut merencanakan usia kehamilan, jumlah anak, dan jarak kehamilan.
“Strategi utama yang dilakukan ialah dengan mendorong kesertaan pria dalam memutuskan menggunakan alat KB yang akan dipakai, aktif dalam mendukung pelaksanaan KB di masyarakat, dan ikut sebagai peserta KB, baik dengan menggunakan kondom maupun vasektomi,” lanjutnya.
Sugiri menyebutkan penggunaan kontrasepsi berupa vasektomi dan kondom pada peserta baru (PB) pria mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun 2006-2008. Peserta kontrasepsi vasektomi mengalami peningkatan hingga 70,3%, sementara penggunaan kondom meningkat sebesar 60,9%.
Berdasarkan data BKKBN, sebaran PB vasektomi per provinsi pada tahun 2008 menunjukkan pencapaian yang menggembirakan, yakni sebesar 78,82%. Dari jumlah tersebut, 24 provinsi termasuk dalam kategori baik, dan hanya 9 provinsi yang kurang baik. Beberapa provinsi yang dinilai belum berhasil adalah Aceh, Riau, Bangka Belitung, Jawa Barat, Jawa Tengah, NTB, NTT, dan Sulawesi Selatan. Untuk tahun yang sama, sebaran penggunaan kondom pencapaiannya sebesar 103,8%. Kategorisasinya adalah 21 provinsi tergolong baik, 2 provinsi termasuk sedang (91,67-99,99), dan 10 provinsi masih dalam kategori kurang.
Menyinggung kebijakan tentang peningkatan partisipasi pria dalam ber-KB, Sugiri mengatakan program kerja BKKBN 2005-2009 adalah meningkatkan perencanaan kehamilan dan kesertaan ber-KB. Di samping itu, keterlibatan pria juga ditingkatkan dalam perawatan kehamilan dan anak. Hal lainnya adalah peningkatan kesehatan dan kepuasan seksual melalui pemakaian kontrasepsi.
“Upaya peningkatan partisipasi pria dalam pelaksanaan program KB dan kesehatan reproduksi akan dilaksanakan dengan benar-benar memperhatikan kesamaan hak dan kewajiban reproduksi suami istri untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender,” tambah Sugiri.
Konselor KB Pria DIY, Nurhadi, S.E., M.Hum., juga sekata dengan Sugiri bahwa kalangan pria berkewajiban untuk menyukseskan program KB. Namun pada kenyataannya, tidak semua pria mengerti sepenuhnya tentang program KB khusus pria. Oleh karena itu, dibutuhkan pendamping untuk menentukan pilihan ber-KB bagi pria.
“Di sini peran konselor menjadi sangat penting. Para konselor dalam melakukan pendampingan penyampaiannya juga disesuaikan dengan tingkat intelektual peserta, memfokuskan pada nasihat serta berempati, dan melihat pada prioritas kebutuhan konseli,” ujar Nurhadi.
Sementara itu, Dr. Siswanto Agus Wilopo, S.U., M.Sc., Sc.D. yang juga dosen Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran UGM memberikan penjelasan bahwa pengembangan kontrasepsi pria memiliki tantangan yang lebih besar dibandingkan dengan wanita. Secara umum, tantangannya adalah menekan jumlah sperma yang dikeluarkan pada ambang batas pengaruh kontrasepsi dan meminimalkan terjadinya efek klinik serta metabolik yang tidak diinginkan.
Menurut Siswanto, terdapat berbagai metode kontrasepsi bagi pria. Namun, beberapa metode yang dikembangkan saat ini masih belum dapat diedarkan di pasaran sebagaimana pada wanita. Masih dibutuhkan uji klinik sebelum digunakan untuk kepentingan program KB.
”Penyampaian perkembangan teknologi kontrasepsi terkini bagi pria yang mencakup kontrasepsi kondom, vasektomi metode hormonal-non hormonal, dan vaksin kontrasepsi diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang status perkembangan kontrasepsi pria dan pada waktu yang tidak terlalu lama ketimpangan jenis dan efektivitas teknologi kontrasepsi pria dan wanita bisa segera ditangani,” tutur Siswanto.
Di lain pihak, Drs. Wijayanto, M.A. selaku antropolog dan tokoh agama menyatakan rendahnya partisipasi pria dalam ber-KB disebabkan oleh berbagai hal. Beberapa hal yang dimaksud adalah kurangnya pemahaman pria tentang kontrasepsi pria, rendahnya minat suami dalam mengakses informasi tentang KB dan kesehatan reproduksi, dan kurangnya peran tokoh agama. Selain itu, masih ada anggapan di masyarakat bahwa ber-KB akan memengaruhi kenikmatan berhubungan dan stigma negatif bahwa KB bagi pria identik dengan pengebirian.
Melihat beberapa hal tersebut, ia menganjurkan untuk mengembangkan program peningkatan partisipasi pria melalui peningkatan pengetahuan, sikap, dan perilaku pria dalam pelayanan KB. “Karena partisipasi pria dalam ber-KB merupakan bentuk keadilan yang menjadi spirit beragama dan pengarusutamaan gender,” kata Wijayanto. (Humas UGM/Ika)
“Sampai saat ini para suami masih memiliki pemikiran bahwa KB adalah urusan istri mereka. Padahal perencanaan sebuah keluarga merupakan tanggung jawab bersama antara suami isteri,” kata Sugiri dalam Seminar Annual Scientific Meeting (ASM) 2009 “Peningkatan Partisipasi KB pada Pria,” di University Club (UC) UGM, Sabtu (7/2).
Dijelaskan oleh Sugiri bahwa peran pria dalam program KB tidak berhenti hanya sebagai peserta. Mereka juga harus menjadi motivator wanita dalam ber-KB, ikut merencanakan usia kehamilan, jumlah anak, dan jarak kehamilan.
“Strategi utama yang dilakukan ialah dengan mendorong kesertaan pria dalam memutuskan menggunakan alat KB yang akan dipakai, aktif dalam mendukung pelaksanaan KB di masyarakat, dan ikut sebagai peserta KB, baik dengan menggunakan kondom maupun vasektomi,” lanjutnya.
Sugiri menyebutkan penggunaan kontrasepsi berupa vasektomi dan kondom pada peserta baru (PB) pria mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun 2006-2008. Peserta kontrasepsi vasektomi mengalami peningkatan hingga 70,3%, sementara penggunaan kondom meningkat sebesar 60,9%.
Berdasarkan data BKKBN, sebaran PB vasektomi per provinsi pada tahun 2008 menunjukkan pencapaian yang menggembirakan, yakni sebesar 78,82%. Dari jumlah tersebut, 24 provinsi termasuk dalam kategori baik, dan hanya 9 provinsi yang kurang baik. Beberapa provinsi yang dinilai belum berhasil adalah Aceh, Riau, Bangka Belitung, Jawa Barat, Jawa Tengah, NTB, NTT, dan Sulawesi Selatan. Untuk tahun yang sama, sebaran penggunaan kondom pencapaiannya sebesar 103,8%. Kategorisasinya adalah 21 provinsi tergolong baik, 2 provinsi termasuk sedang (91,67-99,99), dan 10 provinsi masih dalam kategori kurang.
Menyinggung kebijakan tentang peningkatan partisipasi pria dalam ber-KB, Sugiri mengatakan program kerja BKKBN 2005-2009 adalah meningkatkan perencanaan kehamilan dan kesertaan ber-KB. Di samping itu, keterlibatan pria juga ditingkatkan dalam perawatan kehamilan dan anak. Hal lainnya adalah peningkatan kesehatan dan kepuasan seksual melalui pemakaian kontrasepsi.
“Upaya peningkatan partisipasi pria dalam pelaksanaan program KB dan kesehatan reproduksi akan dilaksanakan dengan benar-benar memperhatikan kesamaan hak dan kewajiban reproduksi suami istri untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender,” tambah Sugiri.
Konselor KB Pria DIY, Nurhadi, S.E., M.Hum., juga sekata dengan Sugiri bahwa kalangan pria berkewajiban untuk menyukseskan program KB. Namun pada kenyataannya, tidak semua pria mengerti sepenuhnya tentang program KB khusus pria. Oleh karena itu, dibutuhkan pendamping untuk menentukan pilihan ber-KB bagi pria.
“Di sini peran konselor menjadi sangat penting. Para konselor dalam melakukan pendampingan penyampaiannya juga disesuaikan dengan tingkat intelektual peserta, memfokuskan pada nasihat serta berempati, dan melihat pada prioritas kebutuhan konseli,” ujar Nurhadi.
Sementara itu, Dr. Siswanto Agus Wilopo, S.U., M.Sc., Sc.D. yang juga dosen Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran UGM memberikan penjelasan bahwa pengembangan kontrasepsi pria memiliki tantangan yang lebih besar dibandingkan dengan wanita. Secara umum, tantangannya adalah menekan jumlah sperma yang dikeluarkan pada ambang batas pengaruh kontrasepsi dan meminimalkan terjadinya efek klinik serta metabolik yang tidak diinginkan.
Menurut Siswanto, terdapat berbagai metode kontrasepsi bagi pria. Namun, beberapa metode yang dikembangkan saat ini masih belum dapat diedarkan di pasaran sebagaimana pada wanita. Masih dibutuhkan uji klinik sebelum digunakan untuk kepentingan program KB.
”Penyampaian perkembangan teknologi kontrasepsi terkini bagi pria yang mencakup kontrasepsi kondom, vasektomi metode hormonal-non hormonal, dan vaksin kontrasepsi diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang status perkembangan kontrasepsi pria dan pada waktu yang tidak terlalu lama ketimpangan jenis dan efektivitas teknologi kontrasepsi pria dan wanita bisa segera ditangani,” tutur Siswanto.
Di lain pihak, Drs. Wijayanto, M.A. selaku antropolog dan tokoh agama menyatakan rendahnya partisipasi pria dalam ber-KB disebabkan oleh berbagai hal. Beberapa hal yang dimaksud adalah kurangnya pemahaman pria tentang kontrasepsi pria, rendahnya minat suami dalam mengakses informasi tentang KB dan kesehatan reproduksi, dan kurangnya peran tokoh agama. Selain itu, masih ada anggapan di masyarakat bahwa ber-KB akan memengaruhi kenikmatan berhubungan dan stigma negatif bahwa KB bagi pria identik dengan pengebirian.
Melihat beberapa hal tersebut, ia menganjurkan untuk mengembangkan program peningkatan partisipasi pria melalui peningkatan pengetahuan, sikap, dan perilaku pria dalam pelayanan KB. “Karena partisipasi pria dalam ber-KB merupakan bentuk keadilan yang menjadi spirit beragama dan pengarusutamaan gender,” kata Wijayanto. (Humas UGM/Ika)
Sepuluh Orang dari 1.000 Pasien Rawat Inap Menderita Sepsis
Sepsis adalah penyakit infeksi darah yang belum banyak dikenal masyarakat. Namun, jenis penyakit ini telah menyebabkan angka kematian yang cukup tinggi. Terdapat sekitar 750.000 kasus per tahun dan sekitar 31 persen berakhir dengan kematian. Diperkirakan kurang lebih 10 orang dari 1.000 pasien rawat inap menderita sepsis.
Pernyataan tersebut disampaikan dr. Osman Sianipar, D.M.M., M.Sc., Sp. PK(K), dosen Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran (FK) UGM, dalam Seminar “Recent Management on Sepsis”. Seminar hasil kerja sama FK UGM dan Instalasi Patologi Klinik RSUP Dr. Sardjito ini diselenggarakan di Auditorium II FK UGM, Sabtu (7/3).
Menurut Osman, risiko kematian dihadapi penderita sepsis karena penyakit ini menyebabkan kegagalan multiorgan, seperti komplikasi pada ginjal, paru, dan otak. “Lebih membahayakan lagi jika terjadi pada anak yang berusia kurang dari 3 tahun karena sistem imunitasnya belum berkembang, para lansia, dan para penderita penyakit-penyakit berat,” katanya.
Sepsis merupakan sindrom klinis yang timbul karena respon tubuh yang berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme. Penyebab penyakit ini adalah bakteri yang berasal dari seluruh bagian tubuh, misalnya paru-paru, saluran kemih, saluran pencernaan, atau kulit. Toksin dari bakteri tersebut menimbulkan sistem imun yang menyerang organ atau jaringan tubuh sendiri.
Osman membagi sepsis menjadi 2 jenis, yakni sepsis berat dan syok septik. Sepsis berat adalah sepsis dengan komplikasi gangguan fungsi organ, hipoperfusi jaringan atau organ. Jenis yang kedua, syok septik merupakan sindrom dengan ciri hipotensi arterial yang persisten pada pasien septik.
“Pasien yang terserang sepsis menunjukan tanda-tanda klinis seperti suhu tubuh tinggi atau sangat rendah, menggigil, detak jantung lebih cepat, frekuensi pernapasan meningkat, dan jumlah hitungan leukosit kadang lebih tinggi atau sangat kurang,” jelas Osman. (Humas UGM/Ika)
Pernyataan tersebut disampaikan dr. Osman Sianipar, D.M.M., M.Sc., Sp. PK(K), dosen Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran (FK) UGM, dalam Seminar “Recent Management on Sepsis”. Seminar hasil kerja sama FK UGM dan Instalasi Patologi Klinik RSUP Dr. Sardjito ini diselenggarakan di Auditorium II FK UGM, Sabtu (7/3).
Menurut Osman, risiko kematian dihadapi penderita sepsis karena penyakit ini menyebabkan kegagalan multiorgan, seperti komplikasi pada ginjal, paru, dan otak. “Lebih membahayakan lagi jika terjadi pada anak yang berusia kurang dari 3 tahun karena sistem imunitasnya belum berkembang, para lansia, dan para penderita penyakit-penyakit berat,” katanya.
Sepsis merupakan sindrom klinis yang timbul karena respon tubuh yang berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme. Penyebab penyakit ini adalah bakteri yang berasal dari seluruh bagian tubuh, misalnya paru-paru, saluran kemih, saluran pencernaan, atau kulit. Toksin dari bakteri tersebut menimbulkan sistem imun yang menyerang organ atau jaringan tubuh sendiri.
Osman membagi sepsis menjadi 2 jenis, yakni sepsis berat dan syok septik. Sepsis berat adalah sepsis dengan komplikasi gangguan fungsi organ, hipoperfusi jaringan atau organ. Jenis yang kedua, syok septik merupakan sindrom dengan ciri hipotensi arterial yang persisten pada pasien septik.
“Pasien yang terserang sepsis menunjukan tanda-tanda klinis seperti suhu tubuh tinggi atau sangat rendah, menggigil, detak jantung lebih cepat, frekuensi pernapasan meningkat, dan jumlah hitungan leukosit kadang lebih tinggi atau sangat kurang,” jelas Osman. (Humas UGM/Ika)
Promosi Beasiswa Asean University Network
Dalam rangka memberikan kesempatan untuk memperoleh beasiswa pendidikan master dan doktor di luar negeri, Asean University Network (AUN/SEED-Net) akan menggelar open house di UGM, Selasa, 10 Maret 2009. Acara direncanakan digelar di ruang lantai 2 gedung KPTU Fakultas Teknik UGM. Open house akan diikuti oleh anggota AUN Net, antara lain, Chulalongkorn University, King Mongkut Institute of Technology, De La Salle University, University of the Philippines Dilliman, University Malaya, University Sain Malaya, Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Teknologi Bandung (ITB).
Nazarul Effendy, Ph.D. selaku ketua panitia menjelaskan acara ini bertujuan memberi kesempatan kepada alumni dan staf pengajar Fakultas Teknik (FT) UGM untuk mendapatkan beasiswa pendidikan master dan doktor di luar negeri. Di samping promosi beasiswa, juga ditawarkan pembiayaan riset. Namun, pembiayaan riset hanya diperuntukkan bagi staf pengajar FT UGM. Lebih lanjut Nazarul mengatakan para peserta dari UGM tidak dapat mengambil program studi di UGM, tetapi di negara-negara anggota AUN di luar negeri.
“Mahasiswa tidak bisa bebas memilih universitas anggota AUN begitu saja sebagai tujuan studi selanjutnya. Tiap-tiap universitas telah ditunjuk sebagai host institution dalam program studi tertentu. Untuk UGM ditetapkan oleh AUN sebagai host institution untuk Geologi,” terang dosen jurusan Teknik Fisika FT UGM ini.
Acara yang rencananya berlangsung selama sehari akan dibuka oleh Dekan FT UGM, Ir. Tumiran, Ph.D. Setelah itu akan dilanjutkan dengan presentasi dari masing-masing anggota jaringan AUN dan alumni yang mengambil studi di universitas anggota AUN.
Dijelaskan Nazarul, open house ini merupakan agenda tahunan AUN. Pelaksanaannya dilakukan secara bergiliran di seluruh negara anggota AUN. Untuk kali ini, UGM mendapat kehormatan sebagai host kegiatan yang baru pertama kalinya digelar di Indonesia. Dalam waktu dekat, giliran ITB yang akan menjadi tuan rumah berikutnya.(Humas UGM/Ika)
Nazarul Effendy, Ph.D. selaku ketua panitia menjelaskan acara ini bertujuan memberi kesempatan kepada alumni dan staf pengajar Fakultas Teknik (FT) UGM untuk mendapatkan beasiswa pendidikan master dan doktor di luar negeri. Di samping promosi beasiswa, juga ditawarkan pembiayaan riset. Namun, pembiayaan riset hanya diperuntukkan bagi staf pengajar FT UGM. Lebih lanjut Nazarul mengatakan para peserta dari UGM tidak dapat mengambil program studi di UGM, tetapi di negara-negara anggota AUN di luar negeri.
“Mahasiswa tidak bisa bebas memilih universitas anggota AUN begitu saja sebagai tujuan studi selanjutnya. Tiap-tiap universitas telah ditunjuk sebagai host institution dalam program studi tertentu. Untuk UGM ditetapkan oleh AUN sebagai host institution untuk Geologi,” terang dosen jurusan Teknik Fisika FT UGM ini.
Acara yang rencananya berlangsung selama sehari akan dibuka oleh Dekan FT UGM, Ir. Tumiran, Ph.D. Setelah itu akan dilanjutkan dengan presentasi dari masing-masing anggota jaringan AUN dan alumni yang mengambil studi di universitas anggota AUN.
Dijelaskan Nazarul, open house ini merupakan agenda tahunan AUN. Pelaksanaannya dilakukan secara bergiliran di seluruh negara anggota AUN. Untuk kali ini, UGM mendapat kehormatan sebagai host kegiatan yang baru pertama kalinya digelar di Indonesia. Dalam waktu dekat, giliran ITB yang akan menjadi tuan rumah berikutnya.(Humas UGM/Ika)
Wednesday, March 11, 2009
Petani Kini Dilirik Jadi Bahan Klaim Keberhasilan Partai Politik
Pengamat politik UGM, Abdul Gaffar Karim, menyesalkan adanya klaim keberhasilan kebijakan negara dengan cara eksploitasi petani yang dilakukan empat parpol dalam kampanye politiknya. Bentuk klaim parpol berupa keberhasilan manajemen pertanian dan janji penyejahteraan. Klaim keberhasilan manajemen pertanian dilakukan oleh Partai Golkar, Partai Demokrat (PD), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sementara janji penyejahteraan, secara implisit dilakukan oleh Partai Gerindra dan ketiga parpol diatas.
Menurut Gaffar, klaim semacam itu terjadi karena adanya kerancuan sistematik dalam politik dan pemerintahan di Indonesia. Pertama, tidak pas antara sumber mandat kekuasaan dan pola pengelolaan kekuasaan. Kedua, kerancuan antara mekanisme presidensial dan parlementer. Ketiga, absennya etika politik.
“Sistem kita tidak tegas, apakah menganut sistem presidensial atau parlementer,” kata Gaffar dalam Seminar Bulanan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, Kamis sore (5/3).
Lebih lanjut dikatakan Gaffar, meskipun Presiden SBY dipilih dan mendapat mandat dari rakyat, seharusnya ia bebas menentukan dan memilih menteri yang loyal kepadanya untuk duduk di kabinet. Menteri tersebut dapat saja berasal dari Partai Demokrat.
Namun dalam kenyataannya, kabinet pelangi bentukan SBY justru berdasarkan atas koalisi partai, antara lain PD, Golkar, PPP, PAN, dan PKS. Ini menyebabkan beberapa menteri yang berasal dari partai masing-masing mengklaim keberhasilan tugasnya dengan mengatasnamakan bendera partainya saat kampanye. “Bahkan ada menteri yang mengklaim sebagai inisiator kesejahteraan,” imbuh Gaffar.
Adanya klaim keberhasilan dengan mengeksploitasi petani menurut Gaffar disebabkan kalangan petani merupakan salah satu dari dua target konstituen paling menggiurkan di Indonesia. Target lainnya adalah pemilih pemula.
“Pemilih pemula merupakan investasi untuk menjaring konstituen. Sementara para petani, secara statistik jumlahnya masih cukup signifikan,”jelasnya.
Dikatakan Gaffar, saat ini jumlah petani di Indonesia menempati porsi terbesar dalam lapisan masyarakat. Data sensus pertanian tahun 2003 menunjukkan jumlah kepala keluarga (KK) petani berkisar 25,4 juta. Secara sistematis jika diasumsikan tiap KK terdapat minimal tiga jiwa yang memiliki hak suara, jumlah suara yang dapat didulang akan mencapai 76,2 juta.
“Suatu jumlah yang cukup untuk menghantar seorang capres menuju kursi RI 1 dalam satu putaran,” tandas staf pengajar Fisipol UGM ini.
Gaffar juga menyesalkan langkah PDIP yang menyebut dirinya sebagai partai oposisi. Hal itu juga merupakan akibat adanya kerancuan mekanisme presidensial dan parlementer. Menurutnya, partai oposisi lebih lazim dikenal dalam sistem parlementer daripada presidensial.
“Dalam sistem presidensial tidak dikenal yang namanya partai oposisi. Sebaliknya di sistem parlementer, partai oposisi ini dibayar. Tugasnya menrecoki, menganggu pemerintah yang berkuasa, dan memanaskan suasana politik lewat media massa,” katanya.
Gaffar juga menyinggung langkah DPR yang selalu mengkritisi kinerja eksekutif dengan cara memanggil para menteri dan dirjen untuk melaporkan hasil kerjanya. Dalam sistem presidensial seharusnya penilaian kinerja pemerintah ditentukan oleh rakyat dengan cara dipilih kembali atau tidak dipilih dalam pemilu berikutnya.
Selanjutnya Gaffar menilai perlu dilakukan pembenahan dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Pembenahan harus dilakukan secara sistematik, menyeluruh dan tidak tambal sulam, serta perlu penguatan etika politik.
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM, Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum, mempertanyakan klaim keberhasilan oleh 4-5 partai politik tentang swasembada pangan tahun 2008 sebagai bahan materi kampanye.
“Seperti produksi beras 2008 yang kabarnya swasembada beras. Meski masih tanda tanya kebenarannya, setidaknya sudah ada 4-5 parpol lantang menyatakan sukses besar pengabdiannya di balik swasembada yang masih tanda tanya itu,” ujar Maksum. (Humas UGM/Gusti Grehenson
Menurut Gaffar, klaim semacam itu terjadi karena adanya kerancuan sistematik dalam politik dan pemerintahan di Indonesia. Pertama, tidak pas antara sumber mandat kekuasaan dan pola pengelolaan kekuasaan. Kedua, kerancuan antara mekanisme presidensial dan parlementer. Ketiga, absennya etika politik.
“Sistem kita tidak tegas, apakah menganut sistem presidensial atau parlementer,” kata Gaffar dalam Seminar Bulanan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, Kamis sore (5/3).
Lebih lanjut dikatakan Gaffar, meskipun Presiden SBY dipilih dan mendapat mandat dari rakyat, seharusnya ia bebas menentukan dan memilih menteri yang loyal kepadanya untuk duduk di kabinet. Menteri tersebut dapat saja berasal dari Partai Demokrat.
Namun dalam kenyataannya, kabinet pelangi bentukan SBY justru berdasarkan atas koalisi partai, antara lain PD, Golkar, PPP, PAN, dan PKS. Ini menyebabkan beberapa menteri yang berasal dari partai masing-masing mengklaim keberhasilan tugasnya dengan mengatasnamakan bendera partainya saat kampanye. “Bahkan ada menteri yang mengklaim sebagai inisiator kesejahteraan,” imbuh Gaffar.
Adanya klaim keberhasilan dengan mengeksploitasi petani menurut Gaffar disebabkan kalangan petani merupakan salah satu dari dua target konstituen paling menggiurkan di Indonesia. Target lainnya adalah pemilih pemula.
“Pemilih pemula merupakan investasi untuk menjaring konstituen. Sementara para petani, secara statistik jumlahnya masih cukup signifikan,”jelasnya.
Dikatakan Gaffar, saat ini jumlah petani di Indonesia menempati porsi terbesar dalam lapisan masyarakat. Data sensus pertanian tahun 2003 menunjukkan jumlah kepala keluarga (KK) petani berkisar 25,4 juta. Secara sistematis jika diasumsikan tiap KK terdapat minimal tiga jiwa yang memiliki hak suara, jumlah suara yang dapat didulang akan mencapai 76,2 juta.
“Suatu jumlah yang cukup untuk menghantar seorang capres menuju kursi RI 1 dalam satu putaran,” tandas staf pengajar Fisipol UGM ini.
Gaffar juga menyesalkan langkah PDIP yang menyebut dirinya sebagai partai oposisi. Hal itu juga merupakan akibat adanya kerancuan mekanisme presidensial dan parlementer. Menurutnya, partai oposisi lebih lazim dikenal dalam sistem parlementer daripada presidensial.
“Dalam sistem presidensial tidak dikenal yang namanya partai oposisi. Sebaliknya di sistem parlementer, partai oposisi ini dibayar. Tugasnya menrecoki, menganggu pemerintah yang berkuasa, dan memanaskan suasana politik lewat media massa,” katanya.
Gaffar juga menyinggung langkah DPR yang selalu mengkritisi kinerja eksekutif dengan cara memanggil para menteri dan dirjen untuk melaporkan hasil kerjanya. Dalam sistem presidensial seharusnya penilaian kinerja pemerintah ditentukan oleh rakyat dengan cara dipilih kembali atau tidak dipilih dalam pemilu berikutnya.
Selanjutnya Gaffar menilai perlu dilakukan pembenahan dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Pembenahan harus dilakukan secara sistematik, menyeluruh dan tidak tambal sulam, serta perlu penguatan etika politik.
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM, Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum, mempertanyakan klaim keberhasilan oleh 4-5 partai politik tentang swasembada pangan tahun 2008 sebagai bahan materi kampanye.
“Seperti produksi beras 2008 yang kabarnya swasembada beras. Meski masih tanda tanya kebenarannya, setidaknya sudah ada 4-5 parpol lantang menyatakan sukses besar pengabdiannya di balik swasembada yang masih tanda tanya itu,” ujar Maksum. (Humas UGM/Gusti Grehenson
Terapkan Inovasi Standar Prosedur Kerja dan Kelembagaan, Yogyakarta Raih Predikat Kota Paling Bersih Perilaku Korupsi
Hasil riset Transparency International Indonesia pada 2008 lalu menunjukkan Yogyakarta sebagai kota yang paling bersih dari perilaku korupsi. Namun, hasil tersebut tidak lantas menjadikan kota ini puas begitu saja. Upaya untuk meningkatkan skor menjadi lebih penting guna mewujudkan pemerintahan yang lebih bersih dan baik.
Hery Zudianto, S.E., Akt., M.M., Walikota Yogyakarta, mengungkapkan hal tersebut dalam policy corner yang mengangkat tema “Mengapa Kota Yogyakarta menjadi Kota Terbersih dari Korupsi?” di Ruang Seminar Magister Studi Kebijakan (MSK) UGM, Kamis (5/2). Acara diselenggarakan oleh MSK UGM dengan menghadirkan Manajer Riset dan Kebijakan Transparency International Indonesia, Frengky Simanjuntak, sebagai pembicara.
Dituturkan Hery bahwa untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih, salah satu kebijakan yang diterapkan adalah melalui pendekatan organisasi. Pendekatan dilakukan dengan melakukan inovasi kelembagaan dan standar prosedur kerja (SOP). Langkah yang telah ditempuh adalah dengan pembentukan dinas perizinan untuk memberikan pelayanan prima, akuntabilitas, dan transparansi informasi kepada masyarakat. Diharapkan layanan perizinan menjadi lebih efisien, komprehensif, dan terjamin kepastiannya. “ Lebih menghemat waktu, biaya, dan aturan,” kata bapak tiga anak ini.
Pemerintahan kota juga membentuk Unit Pelayanan Informasi Keluhan Masyarakat dengan menyediakan layanan sms, hotline khusus, dan link website. Di samping itu, Pemkot juga melakukan pembentukan forum pemantau independen guna memonitor kebijakan regulasi dan prosedur di Pemkot, baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Lebih lanjut dikatakan oleh pria kelahiran Yogyakarta, 31 Maret 1955 ini, cara-cara manusiawi melalui pola insentif-disentif merupakan salah satu solusi untuk mengatasi tindak korupsi. Pemkot kini juga tengah dalam proses akhir pengerjaan perbaikan alat penilai kinerja dan pengaturan pemberian tambahan penghasilan pegawai.
“Perbaikan ini dilakukan sebagai tolok ukur memperbaiki jarak distribusi dari tolok ukur penilaian kinerja dan asumsi bobot beban kerja agar lebih mendorong motivasi kerja pegawai,”kata Hery.
Keberhasilan meraih predikat kota terbersih dari korupsi tidak terlepas dari dibentuknya Tim Regulatory Impact Assessment (RIA) yang merupakan kerja sama Pemkot Yogya dengan Swiss Contact. Tim ini bertugas mengkaji suatu kebijakan terhadap kepentingan publik terkait dengan dunia usaha. Selain itu, tim juga menyimpulkan kebutuhan regulasi perizinan yang sederhana sebagai solusi layanan yang cepat, akuntabel, dan transparan.
Dikatakan pula oleh Hery, Pemkot juga melakukan pendekatan moralitas melalui komunikasi langsung. Komunikasi dilakukan dengan mengundang masyarakat untuk berdialog interaktif. Hal tersebut dilakukan untuk menciptakan nuansa keterbukaan di setiap aspek pelayanan pemerintah pada masyarakat.
Hery juga menerapkan larangan bagi pejabat untuk memberikan bingkisan kepada kepala daerah. “Simbolisasi loyalitas bukan dalam bentuk barang, tapi loyalitas adalah dengan loyal terhadap pekerjaan,” tutur suami Hj. Dyah Suminar, S.E.
Menanggapi pernyataan pendekatan anti korupsi berisiko mematikan kreativitas, ia menjelaskan upaya yang dapat ditempuh, yakni upaya secara simultan dan komprehensif berbasis peningkatan kapasitas aparatur. Implementasi pendekatan yang memungkinkan bertindak kreatif dapat dilakukan melalui beberapa kegiatan.
Kegiatan-kegiatan tersebut, antara lain, peningkatan pelayanan publik, pemberdayaan masyarakat, pemberian insentif bagi usaha kecil menengah (UKM) yang mematuhi kebijakan dan regulasi, pemberian sarana bagi UKM dan anak-anak, serta membina komunikasi partisipasif dengan berbagai stakeholder. Selain itu, kegiatan lainnya adalah menutup kekurangan pendanaan berbagai kegiatan pembangunan untuk meningkatkan share pembiayaan dengan pemerintah provinsi dan pusat.
Sementara itu, Frengky Simanjuntak selaku Manajer Riset dan Kebijakan Transparency Internasional Indonesia membahas riset tentang kota yang paling bersih dari perilaku korupsi. Dimulai dengan metode dan variabel yang digunakan sampai hasil secara kuantitatif. Lebih lanjut, Frengky menjelaskan riset tersebut mengambil responden sebanyak 73 orang, terdiri atas 44 pelaku bisnis, 21 pejabat publik, dan 8 tokoh masyarakat.
Pelaku bisnis dipilih sebagai sampel penelitian dengan alasan mereka merupakan aktor yang cukup relevan terkait dengan pelayanan publik, perizinan, dan menjalankan bisnis dengan pemerintah. Arena ini merupakan simpul-simpul terjadinya potensi korupsi.
“Persepsi pelaku bisnis bisa diandalkan karena sesuai dengan pengalaman mereka di lapangan, seperti dalam izin usaha dan juga melaksanakan tender,” terang Frengky.
Untuk mengukur persepsi korupsi, responden diberikan kuesioner yang didalamnya terdapat variabel tentang persepsi suap, korupsi, dan upaya pemerintah dalam memberantas korupsi. Berdasarkan kasus suap dalam rangka mempercepat birokrasi dan tindakan kecurangan di pemerintah, diperoleh hasil bahwa aspek tersebut dinilai masih buruk dengan perolehan skor masing-masing 5.84 dan 5.5 dalam skala 10.
Ia menuturkan meskipun kota Yogyakarta meraih peringkat tertinggi (6.43 skala 10) dari 50 kota yang disurvei, tidak berarti bahwa kota Yogya telah bersih dari korupsi.
“Indeks persepsi korupsi bisa berubah apabila pemerintah kota tidak mempertahankan inisiatif pemberantasan korupsi secara konsisten,” kata Frengky. (Humas UGM/Ika
Hery Zudianto, S.E., Akt., M.M., Walikota Yogyakarta, mengungkapkan hal tersebut dalam policy corner yang mengangkat tema “Mengapa Kota Yogyakarta menjadi Kota Terbersih dari Korupsi?” di Ruang Seminar Magister Studi Kebijakan (MSK) UGM, Kamis (5/2). Acara diselenggarakan oleh MSK UGM dengan menghadirkan Manajer Riset dan Kebijakan Transparency International Indonesia, Frengky Simanjuntak, sebagai pembicara.
Dituturkan Hery bahwa untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih, salah satu kebijakan yang diterapkan adalah melalui pendekatan organisasi. Pendekatan dilakukan dengan melakukan inovasi kelembagaan dan standar prosedur kerja (SOP). Langkah yang telah ditempuh adalah dengan pembentukan dinas perizinan untuk memberikan pelayanan prima, akuntabilitas, dan transparansi informasi kepada masyarakat. Diharapkan layanan perizinan menjadi lebih efisien, komprehensif, dan terjamin kepastiannya. “ Lebih menghemat waktu, biaya, dan aturan,” kata bapak tiga anak ini.
Pemerintahan kota juga membentuk Unit Pelayanan Informasi Keluhan Masyarakat dengan menyediakan layanan sms, hotline khusus, dan link website. Di samping itu, Pemkot juga melakukan pembentukan forum pemantau independen guna memonitor kebijakan regulasi dan prosedur di Pemkot, baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Lebih lanjut dikatakan oleh pria kelahiran Yogyakarta, 31 Maret 1955 ini, cara-cara manusiawi melalui pola insentif-disentif merupakan salah satu solusi untuk mengatasi tindak korupsi. Pemkot kini juga tengah dalam proses akhir pengerjaan perbaikan alat penilai kinerja dan pengaturan pemberian tambahan penghasilan pegawai.
“Perbaikan ini dilakukan sebagai tolok ukur memperbaiki jarak distribusi dari tolok ukur penilaian kinerja dan asumsi bobot beban kerja agar lebih mendorong motivasi kerja pegawai,”kata Hery.
Keberhasilan meraih predikat kota terbersih dari korupsi tidak terlepas dari dibentuknya Tim Regulatory Impact Assessment (RIA) yang merupakan kerja sama Pemkot Yogya dengan Swiss Contact. Tim ini bertugas mengkaji suatu kebijakan terhadap kepentingan publik terkait dengan dunia usaha. Selain itu, tim juga menyimpulkan kebutuhan regulasi perizinan yang sederhana sebagai solusi layanan yang cepat, akuntabel, dan transparan.
Dikatakan pula oleh Hery, Pemkot juga melakukan pendekatan moralitas melalui komunikasi langsung. Komunikasi dilakukan dengan mengundang masyarakat untuk berdialog interaktif. Hal tersebut dilakukan untuk menciptakan nuansa keterbukaan di setiap aspek pelayanan pemerintah pada masyarakat.
Hery juga menerapkan larangan bagi pejabat untuk memberikan bingkisan kepada kepala daerah. “Simbolisasi loyalitas bukan dalam bentuk barang, tapi loyalitas adalah dengan loyal terhadap pekerjaan,” tutur suami Hj. Dyah Suminar, S.E.
Menanggapi pernyataan pendekatan anti korupsi berisiko mematikan kreativitas, ia menjelaskan upaya yang dapat ditempuh, yakni upaya secara simultan dan komprehensif berbasis peningkatan kapasitas aparatur. Implementasi pendekatan yang memungkinkan bertindak kreatif dapat dilakukan melalui beberapa kegiatan.
Kegiatan-kegiatan tersebut, antara lain, peningkatan pelayanan publik, pemberdayaan masyarakat, pemberian insentif bagi usaha kecil menengah (UKM) yang mematuhi kebijakan dan regulasi, pemberian sarana bagi UKM dan anak-anak, serta membina komunikasi partisipasif dengan berbagai stakeholder. Selain itu, kegiatan lainnya adalah menutup kekurangan pendanaan berbagai kegiatan pembangunan untuk meningkatkan share pembiayaan dengan pemerintah provinsi dan pusat.
Sementara itu, Frengky Simanjuntak selaku Manajer Riset dan Kebijakan Transparency Internasional Indonesia membahas riset tentang kota yang paling bersih dari perilaku korupsi. Dimulai dengan metode dan variabel yang digunakan sampai hasil secara kuantitatif. Lebih lanjut, Frengky menjelaskan riset tersebut mengambil responden sebanyak 73 orang, terdiri atas 44 pelaku bisnis, 21 pejabat publik, dan 8 tokoh masyarakat.
Pelaku bisnis dipilih sebagai sampel penelitian dengan alasan mereka merupakan aktor yang cukup relevan terkait dengan pelayanan publik, perizinan, dan menjalankan bisnis dengan pemerintah. Arena ini merupakan simpul-simpul terjadinya potensi korupsi.
“Persepsi pelaku bisnis bisa diandalkan karena sesuai dengan pengalaman mereka di lapangan, seperti dalam izin usaha dan juga melaksanakan tender,” terang Frengky.
Untuk mengukur persepsi korupsi, responden diberikan kuesioner yang didalamnya terdapat variabel tentang persepsi suap, korupsi, dan upaya pemerintah dalam memberantas korupsi. Berdasarkan kasus suap dalam rangka mempercepat birokrasi dan tindakan kecurangan di pemerintah, diperoleh hasil bahwa aspek tersebut dinilai masih buruk dengan perolehan skor masing-masing 5.84 dan 5.5 dalam skala 10.
Ia menuturkan meskipun kota Yogyakarta meraih peringkat tertinggi (6.43 skala 10) dari 50 kota yang disurvei, tidak berarti bahwa kota Yogya telah bersih dari korupsi.
“Indeks persepsi korupsi bisa berubah apabila pemerintah kota tidak mempertahankan inisiatif pemberantasan korupsi secara konsisten,” kata Frengky. (Humas UGM/Ika
Subscribe to:
Posts (Atom)