Perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap perlindungan anak selama ini masih belum memadai. Masalah perlindungan anak, yang menjadi masalah sosial menonjol di Indonesia, telah menjadi perhatian global sejak disahkannya Konvensi Dunia tentang Hak Anak (Convention of the Rights of the Child-CRC) pada 1979.
Pada tahun 2009 ini, CRC tepat berusia 30 tahun. Indonesia baru meratifikasi konvensi tersebut pada tahun 2002 dengan mengeluarkan kebijakan resmi berupa penerbitan Undang-Undang Perlindungan Anak. Setelah dikeluarkan UU tersebut, Aceh dan Sulawesi Selatan menyusul menerbitkan Peraturan Daerah Perlindungan Anak. Di Aceh, Perda Perlindungan Anak ini disebut Kanun.
“Selain UU Perlindungan Anak, pengaturan tentang hak-hak anak juga terdapat di sejumlah kebijakan negara, seperti UU Kesehatan, UU Pendidikan, UU Anti Trafficking, UU Ketenagakerjaan, dan lain-lain,” kata Prof. Dr. Muhadjir Darwin, Kamis (12/11).
Pernyataan tersebut disampaikan oleh staf pengajar Fisipol UGM ini saat menjadi pembicara dalam acara Policy Corner yang mengangkat tajuk “Kebijakan Perlindungan Anak di Era Otonomi Daerah”. Kegiatan yang diselenggarakan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM ini diikuti oleh dosen, mahasiswa, dan pemerhati perlindungan anak.
Convention of the Rights of the Child berisi 54 pasal, yang dikelompokkan ke dalam 5 cluster. Kelima cluster yang dimaksud adalah hak-hak sipil dan kebebasan fundamental; hak dalam lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; hak dalam kesehatan, gizi, dan sanitasi lingkungan; hak dalam pendidikan, waktu bersantai, dan kegiatan budaya; serta hak dalam perlindungan khusus.
Secara umum, CRC atau UU dan Perda Perlindungan Anak menegaskan bahwa anak memiliki hak-hak dasar di lima cluster tersebut. Hal itu harus dihormati, dilindungi, dan dipenuhi. “Sudah ada upaya negara untuk memenuhinya. Beberapa contoh dari implementasi CRC dan UU/Perda, antara lain, dibentuknya Komite Perlindungan Anak dan Perempuan di pusat dan daerah,” tutur Muhadjir.
Selain itu, perlu juga dibentuk Komnas HAM Anak, pengembangan program-program sosial bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial yang tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan anak dan terpenuhinya hak-hak mereka. “Juga secara rutin diselenggarakan peringatan hari anak yang didahului kongres anak tingkat daerah dan nasional serta beberapa daerah yang telah dinyatakan sebagai daerah ramah anak,” ujar Muhadjir. (Humas UGM)
Friday, November 20, 2009
Tumiran: Krisis Listrik, Akibat Penuaan Pembangkit Listrik dan Kurangnya Perawatan
Yogya, KU
Pakar kelistrikan UGM, Dr. Tumiran, mendesak pemerintah untuk meninjau ulang sistem kelistrikan nasional. Hal itu perlu dilakukan terkait dengan pembangunan pembangkit listrik, transmisi, dan distribusi serta kebijakan suplai bahan bakar listrik yang telah menyebabkan krisis kelistrikan nasional. “Sebenarnya krisis listrik di Jawa bukan suplai yang tidak cukup tapi pembangkit listrik mengalami penuaan dan kurangnya perawatan,” kata Tumiran kepada wartawan di Ruang Fortakgama, Kamis (12/11), menanggapi maraknya kasus pemadaman listrik yang terjadi akhir-akhir ini.
Menurut Tumiran, pemerintah harus menambah saluran transmisi dan distribusi di samping terus menambah pembangkit listrik baru. Selain itu, imbuh Tumiran, ketergantungan pembangkit listrik pada bakar minyak juga berdampak biaya tinggi pembangkitan listrik. Ia menyebutkan biaya pembangkitan listrik nasional lebih mahal dibandingkan dengan Malaysia. Biaya pembangkitan listrik di Indonesia mencapai sekitar 1.300 rupiah per Kwh, sementara Malaysia kira-kira 700 rupiah per Kwh. “Jika menggunakan gas, maka biaya akan turun. Rata-rata pemerintah hanya subsidi 200 rupiah/Kwh,” jelasnya.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) ini berpendapat sudah saatnya PLN bersama pemerintah memperbaiki struktur tarif listrik. Menurutnya, tarif listrik nasional yang berlaku sekarang ini dinilai tidak sehat. Adanya pemadaman listrik juga telah menyebabkan lumpuh ekonomi industri nasional. “Selama ini tidak sehat. Supaya industri kelistrikan nasional sehat, perlu ada perbaikan struktur tarif,” ujarnya.
Pria yang saat ini juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Teknik (FT) UGM ini menyarankan agar pemerintah meninjau ulang rencana untuk menaikkan tarif listrik pada 2010 mendatang. Ada baiknya PLN melakukan komposisi bahan bakar mix untuk mengetahui biaya produksi campuran serendah-rendahnya. Dengan demikian, akan diketahui perlu atau tidaknya perubahan tarif listrik. “Di sini jangan menyalahkan PLN, tapi kebijakan pemerintah terkait dengan kebijakan suplai bahan bakar,” imbuhnya.
Sehubungan dengan program listrik 10 ribu megawatt tahap kedua yang akan dimulai pada 2010, sebaiknya dilakukan mulai dari daerah yang krisis listrik. Disebutkan pula oleh Tumiran bahwa lebih dari 30% masyarakat belum menikmati listrik. Oleh karena itu, pemerintah juga perlu memikirkan pembangunan infrastruktur listrik dengan menyediakan indutri pembuat komponen listrik. “Seharusnya dipikirkan komponen yang disuplai dari dalam negeri karena bisa tumbuhkan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Selama ini, semua komponen dibeli dari luar negeri,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Pakar kelistrikan UGM, Dr. Tumiran, mendesak pemerintah untuk meninjau ulang sistem kelistrikan nasional. Hal itu perlu dilakukan terkait dengan pembangunan pembangkit listrik, transmisi, dan distribusi serta kebijakan suplai bahan bakar listrik yang telah menyebabkan krisis kelistrikan nasional. “Sebenarnya krisis listrik di Jawa bukan suplai yang tidak cukup tapi pembangkit listrik mengalami penuaan dan kurangnya perawatan,” kata Tumiran kepada wartawan di Ruang Fortakgama, Kamis (12/11), menanggapi maraknya kasus pemadaman listrik yang terjadi akhir-akhir ini.
Menurut Tumiran, pemerintah harus menambah saluran transmisi dan distribusi di samping terus menambah pembangkit listrik baru. Selain itu, imbuh Tumiran, ketergantungan pembangkit listrik pada bakar minyak juga berdampak biaya tinggi pembangkitan listrik. Ia menyebutkan biaya pembangkitan listrik nasional lebih mahal dibandingkan dengan Malaysia. Biaya pembangkitan listrik di Indonesia mencapai sekitar 1.300 rupiah per Kwh, sementara Malaysia kira-kira 700 rupiah per Kwh. “Jika menggunakan gas, maka biaya akan turun. Rata-rata pemerintah hanya subsidi 200 rupiah/Kwh,” jelasnya.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) ini berpendapat sudah saatnya PLN bersama pemerintah memperbaiki struktur tarif listrik. Menurutnya, tarif listrik nasional yang berlaku sekarang ini dinilai tidak sehat. Adanya pemadaman listrik juga telah menyebabkan lumpuh ekonomi industri nasional. “Selama ini tidak sehat. Supaya industri kelistrikan nasional sehat, perlu ada perbaikan struktur tarif,” ujarnya.
Pria yang saat ini juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Teknik (FT) UGM ini menyarankan agar pemerintah meninjau ulang rencana untuk menaikkan tarif listrik pada 2010 mendatang. Ada baiknya PLN melakukan komposisi bahan bakar mix untuk mengetahui biaya produksi campuran serendah-rendahnya. Dengan demikian, akan diketahui perlu atau tidaknya perubahan tarif listrik. “Di sini jangan menyalahkan PLN, tapi kebijakan pemerintah terkait dengan kebijakan suplai bahan bakar,” imbuhnya.
Sehubungan dengan program listrik 10 ribu megawatt tahap kedua yang akan dimulai pada 2010, sebaiknya dilakukan mulai dari daerah yang krisis listrik. Disebutkan pula oleh Tumiran bahwa lebih dari 30% masyarakat belum menikmati listrik. Oleh karena itu, pemerintah juga perlu memikirkan pembangunan infrastruktur listrik dengan menyediakan indutri pembuat komponen listrik. “Seharusnya dipikirkan komponen yang disuplai dari dalam negeri karena bisa tumbuhkan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Selama ini, semua komponen dibeli dari luar negeri,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
PuKAT Korupsi: DPR Tidak Sensitif dengan Suara Rakyat
Yogya, KU
Ungkapan kekecewaan disampaikan Pusat Kajian Anti (PuKAT) Korupsi Fakultas Hukum (FH) UGM atas sikap DPR yang dinilai tidak sensitif terhadap suara rakyat terkait dengan kasus kriminialisasi dua pimpinan KPK non aktif, Chandra M. Hamzah dan Bibit Riyanto. Beberapa kali rapat dengar pendapat dengan institusi aparat penegak hukum dan lembaga swadaya masyarakat semakin mengkristalkan kekecewaan itu.
Seperti diungkapkan peneliti PuKAT Korupsi FH UGM, Hasrul Halili, Kamis (12/11) di kantor PuKAT, kekecewaan muncul atas sikap DPR yang jelas mengkhianati suara rakyat. Bukannya memperjuangkan aspirasi publik, DPR justru semakin jauh dari suara rakyat. “Kesimpulan DPR terlihat begitu dini, tak sejalan dengan temuan dan rekomendasi Tim 8. Keberpihakan DPR dalam penyelesaian kasus ini sangat dipertanyakan, apakah para wakil rakyat mendukung pemberantasan korupsi ataukah justru sebaliknya?” ujarnya.
Keseriusan DPR dalam mendorong penyelesaian kasus dua pimpinan KPK non aktif, Chandra dan Bibit, juga dipertanyakan Hasrul Halili. “Alih-alih merespon suara rakyat yang meminta dihentikan kriminalisasi Chandra dan Bibit, DPR melalui Komisi III justru meminta Kejaksaan Agung meneruskan proses hukum keduanya,” imbuhnya.
Menurut Hasrul, ada upaya yang dilakukan untuk mempertentangkan keadilan secara teknis prosedural dengan keadilan yang disuarakan oleh masyarakat dan media. Suara keadilan dari rakyat dianggap tidak benar. “Seolah keadilan prosedur yang dilakukan polisi dan kejaksaan adalah yang paling benar, untuk menutupi praktik mafia peradilan yang telah lama berlangsung,” katanya.
Dalam siaran pers PuKAT yang dibacakan oleh Danang Kurnadi, DPR didesak untuk meneruskan aspirasi publik dan tidak bersikap sebaliknya terkait dengan kasus kriminilisasi dua pimpinan KPK non aktif, Chandra dan Bibit. Selanjutnya, PuKAT juga mendesak DPR untuk memperhatikan dan mendukung rekomendasi Tim 8 agar kasus kriminalisasi Chandra dan Bibit dihentikan karena tidak cukup bukti dan sarat dengan skenario pelemahan KPK. Kemudian, diimbau juga kepada semua kalangan untuk terus mendukung upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dengan mempertahankan KPK sebagai lokomotif utamanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Ungkapan kekecewaan disampaikan Pusat Kajian Anti (PuKAT) Korupsi Fakultas Hukum (FH) UGM atas sikap DPR yang dinilai tidak sensitif terhadap suara rakyat terkait dengan kasus kriminialisasi dua pimpinan KPK non aktif, Chandra M. Hamzah dan Bibit Riyanto. Beberapa kali rapat dengar pendapat dengan institusi aparat penegak hukum dan lembaga swadaya masyarakat semakin mengkristalkan kekecewaan itu.
Seperti diungkapkan peneliti PuKAT Korupsi FH UGM, Hasrul Halili, Kamis (12/11) di kantor PuKAT, kekecewaan muncul atas sikap DPR yang jelas mengkhianati suara rakyat. Bukannya memperjuangkan aspirasi publik, DPR justru semakin jauh dari suara rakyat. “Kesimpulan DPR terlihat begitu dini, tak sejalan dengan temuan dan rekomendasi Tim 8. Keberpihakan DPR dalam penyelesaian kasus ini sangat dipertanyakan, apakah para wakil rakyat mendukung pemberantasan korupsi ataukah justru sebaliknya?” ujarnya.
Keseriusan DPR dalam mendorong penyelesaian kasus dua pimpinan KPK non aktif, Chandra dan Bibit, juga dipertanyakan Hasrul Halili. “Alih-alih merespon suara rakyat yang meminta dihentikan kriminalisasi Chandra dan Bibit, DPR melalui Komisi III justru meminta Kejaksaan Agung meneruskan proses hukum keduanya,” imbuhnya.
Menurut Hasrul, ada upaya yang dilakukan untuk mempertentangkan keadilan secara teknis prosedural dengan keadilan yang disuarakan oleh masyarakat dan media. Suara keadilan dari rakyat dianggap tidak benar. “Seolah keadilan prosedur yang dilakukan polisi dan kejaksaan adalah yang paling benar, untuk menutupi praktik mafia peradilan yang telah lama berlangsung,” katanya.
Dalam siaran pers PuKAT yang dibacakan oleh Danang Kurnadi, DPR didesak untuk meneruskan aspirasi publik dan tidak bersikap sebaliknya terkait dengan kasus kriminilisasi dua pimpinan KPK non aktif, Chandra dan Bibit. Selanjutnya, PuKAT juga mendesak DPR untuk memperhatikan dan mendukung rekomendasi Tim 8 agar kasus kriminalisasi Chandra dan Bibit dihentikan karena tidak cukup bukti dan sarat dengan skenario pelemahan KPK. Kemudian, diimbau juga kepada semua kalangan untuk terus mendukung upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dengan mempertahankan KPK sebagai lokomotif utamanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Disaksikan 200 Petani, FTP UGM Panen Demplot Padi SRI
Yogya, KU
Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM dan Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak melaksanakan panen demplot padi SRI (System Rice Intensification) di lahan demplot SRI, Dusun Jering, Sidorejo, Godean, Sleman, Rabu (11/11). Sedikitnya 200 petani yang berasal dari empat kabupaten di DIY diajak menyaksikan panen budidaya padi SRI. Para petani tersebut sebelumnya telah mengikuti lomba padi SRI.
Salah seorang pembina budidaya padi SRI dari FTP UGM, Prof Dr. Ir. Sigit Supadmo Arif, M.Eng., mengatakan pelaksanaan panen demplot padi tersebut sebagai salah satu upaya untuk membudidayakan sistem padi SRI di kalangan petani. Ia juga menyebutkan sekitar seribu petani di DIY telah menanam padi SRI. “Sudah seribuan lebih petani yang menanam padi SRI. Kita membuat kerja sama dengan dinas-dinas pertanian di kabupaten untuk memperkenalkan ke petani,” katanya.
Diakui Sigit Supadmo, tidak mudah memperkenalkan sistem budaya padi SRI di kalangan petani. Para petani telah terbiasa dengan sistem konvensional karena mereka mendapatkan pupuk, benih, dan sistem tanam secara instan. Padahal, sistem padi SRI dapat meningkatkan produksi padi hingga 3-5 ton per hektar dan lebih hemat air. Rata-rata satu hektar dapat panen minimal 9-12 ton.
Dibandingkan dengan sistem konvensional, konsep tanam padi SRI menggunakan air lebih sedikit, jarak tanam lebih lebar dan dangkal, serta menggunakan bibit muda, satu lubang satu tanaman. “Mungkin belum percaya diri. Apalagi ibu-ibu yang nanam, tidak terbiasa angkut pupuk, buat pupuk organik sendiri, terbiasa yang serba instan,” katanya.
Selain padi SRI, kata Supadmo, FTP UGM juga mengembangkan bibit benih varietas padi lokal yang dikembangkan di dua lokasi, yakni di wilayah Godean (Sleman) dan Kulon Progo. Beberapa jenis padi varietas lokal yang dikembangkan, yakni padi pelangi, bangsari, membramo, selendang biru, code, cimelati, maros, laka, mutiara, padi hitam, singkil, cibodas, raja lele, linggawangi, pandanwangi, himalaya, lau tawar, cigelis, batanghari, linggawangi, laut tawar, dan cere merah.
Minwaluyo, 46 tahun, dari Kelompok Tani Gemah Ripah Lestari, Sleman, yang diundang menyaksikan panen padi SRI mengatakan ia bersama kelompok taninya yang beranggotakan 30 orang akan merintis penggunaan padi SRI. “Sudah ada rencana buat pupuk cair dari kotoran hewan, bahan jamu jawa empon-empon, air seni hewan dan manusia. Baru mau dirintis,” kata ibu paruh baya ini.
Sementara itu, Wakil Dekan Bidang Akademik dan Penelitian FTP UGM, Dr. Ir. Bambang Purwantana, M.Agr., menuturkan dengan sistem padi SRI penggunaan air akan dihemat sekitar 30-40 persen. Menurutnya, penghematan air tersebut akan ikut membantu sebagai solusi permasahan yang dihadapi dunia saat ini di bidang pangan, air, energi, dan lingkungan. “Bisa memberi sumbangan yang besar pada pembangunan, memperluas area pertanaman dengan hemat air,” jelasnya.
Terkait dengan pengembangan varietas padi lokal, menurut Bambang, adalah sebagai upaya penyelamatan plasma nutfah varietas padi. “Coba angkat padi lokal karena plasma nutfah lokal yang cocok dengan lingkungan kita,” imbuhnya. Kendati demikian, perlu dilakukan riset dan teknologi lanjutan oleh dinas terkait untuk menghasilkan 10 ton padi per hektar di daerah yang berbeda. ”Daerah yang berbeda belum tentu hasilkan produksi yang sama karena perlu ada penelitian dan teknologi lebih lanjut,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, diumumkan pemenang lomba SRI yang diikuti oleh 200 petani se-DIY. Untuk juara pertama tingkat provinsi, telah disediakan hadiah berupa satu ekor sapi. Sementara pemenang pertama tingkat kabupaten berhak mendapatkan satu ekor kambing. Salah satu petani dari Bantul terpilih sebagai juara pertama kompetisi tersebut karena berhasil memanen padi SRI sebanyak 13 ton per hektar. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM dan Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak melaksanakan panen demplot padi SRI (System Rice Intensification) di lahan demplot SRI, Dusun Jering, Sidorejo, Godean, Sleman, Rabu (11/11). Sedikitnya 200 petani yang berasal dari empat kabupaten di DIY diajak menyaksikan panen budidaya padi SRI. Para petani tersebut sebelumnya telah mengikuti lomba padi SRI.
Salah seorang pembina budidaya padi SRI dari FTP UGM, Prof Dr. Ir. Sigit Supadmo Arif, M.Eng., mengatakan pelaksanaan panen demplot padi tersebut sebagai salah satu upaya untuk membudidayakan sistem padi SRI di kalangan petani. Ia juga menyebutkan sekitar seribu petani di DIY telah menanam padi SRI. “Sudah seribuan lebih petani yang menanam padi SRI. Kita membuat kerja sama dengan dinas-dinas pertanian di kabupaten untuk memperkenalkan ke petani,” katanya.
Diakui Sigit Supadmo, tidak mudah memperkenalkan sistem budaya padi SRI di kalangan petani. Para petani telah terbiasa dengan sistem konvensional karena mereka mendapatkan pupuk, benih, dan sistem tanam secara instan. Padahal, sistem padi SRI dapat meningkatkan produksi padi hingga 3-5 ton per hektar dan lebih hemat air. Rata-rata satu hektar dapat panen minimal 9-12 ton.
Dibandingkan dengan sistem konvensional, konsep tanam padi SRI menggunakan air lebih sedikit, jarak tanam lebih lebar dan dangkal, serta menggunakan bibit muda, satu lubang satu tanaman. “Mungkin belum percaya diri. Apalagi ibu-ibu yang nanam, tidak terbiasa angkut pupuk, buat pupuk organik sendiri, terbiasa yang serba instan,” katanya.
Selain padi SRI, kata Supadmo, FTP UGM juga mengembangkan bibit benih varietas padi lokal yang dikembangkan di dua lokasi, yakni di wilayah Godean (Sleman) dan Kulon Progo. Beberapa jenis padi varietas lokal yang dikembangkan, yakni padi pelangi, bangsari, membramo, selendang biru, code, cimelati, maros, laka, mutiara, padi hitam, singkil, cibodas, raja lele, linggawangi, pandanwangi, himalaya, lau tawar, cigelis, batanghari, linggawangi, laut tawar, dan cere merah.
Minwaluyo, 46 tahun, dari Kelompok Tani Gemah Ripah Lestari, Sleman, yang diundang menyaksikan panen padi SRI mengatakan ia bersama kelompok taninya yang beranggotakan 30 orang akan merintis penggunaan padi SRI. “Sudah ada rencana buat pupuk cair dari kotoran hewan, bahan jamu jawa empon-empon, air seni hewan dan manusia. Baru mau dirintis,” kata ibu paruh baya ini.
Sementara itu, Wakil Dekan Bidang Akademik dan Penelitian FTP UGM, Dr. Ir. Bambang Purwantana, M.Agr., menuturkan dengan sistem padi SRI penggunaan air akan dihemat sekitar 30-40 persen. Menurutnya, penghematan air tersebut akan ikut membantu sebagai solusi permasahan yang dihadapi dunia saat ini di bidang pangan, air, energi, dan lingkungan. “Bisa memberi sumbangan yang besar pada pembangunan, memperluas area pertanaman dengan hemat air,” jelasnya.
Terkait dengan pengembangan varietas padi lokal, menurut Bambang, adalah sebagai upaya penyelamatan plasma nutfah varietas padi. “Coba angkat padi lokal karena plasma nutfah lokal yang cocok dengan lingkungan kita,” imbuhnya. Kendati demikian, perlu dilakukan riset dan teknologi lanjutan oleh dinas terkait untuk menghasilkan 10 ton padi per hektar di daerah yang berbeda. ”Daerah yang berbeda belum tentu hasilkan produksi yang sama karena perlu ada penelitian dan teknologi lebih lanjut,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, diumumkan pemenang lomba SRI yang diikuti oleh 200 petani se-DIY. Untuk juara pertama tingkat provinsi, telah disediakan hadiah berupa satu ekor sapi. Sementara pemenang pertama tingkat kabupaten berhak mendapatkan satu ekor kambing. Salah satu petani dari Bantul terpilih sebagai juara pertama kompetisi tersebut karena berhasil memanen padi SRI sebanyak 13 ton per hektar. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Monday, November 16, 2009
UGM Juara Dunia Mondialogo Engineering Award 2009
Mahasiswa UGM kembali menorehkan prestasi yang membanggakan di kancah internasional. Kali ini, empat mahasiswa Jurusan Teknik Kimia (JTK) UGM dan tim Chalmers University, Swedia, berhasil menjadi juara dunia dalam final Mondialogo Engineering Award 2009 di Stuttgart, Jerman, 4-9 November lalu. Mereka berhasil menyisihkan 30 tim finalis dari berbagai negara.
Empat orang mahasiswa, Annisa Utami (2006), Annisa Sekar Palupi (2006), Benny (2006), dan M. Aqwi Gibran (2007), menang dengan mengusung karya tulis berjudul ”Zero Waste Production System in Small/Medium Industrial Cluster as The Core of Sustainable Innovative Villages”. Mereka menjadi salah satu dari 30 finalis yang berhasil mengungguli kurang lebih 932 proposal yang datang dari berbagai negara di dunia.
Seperti disampaikan Ketua Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik UGM, Prof. Ir. Suryo Purwono, M.A.Sc., Ph.D., dalam rilis yang dikirimkan lewat email pada Selasa (10/11), di putaran final tim JTK diwakili oleh Benny berpasangan dengan Marcus Hogberg dari Chalmers, Swedia. “Tim JTK yang tampil pada urutan satu pada hari pertama tampil meyakinkan dan berhasil meraih satu tempat terbaik dari delapan peraih medali emas di kejuaraan ini,” kata Suryo Purwono.
Suryo Purwono juga menyampaikan keberhasilan tim UGM masuk sebagai salah satu finalis karena adanya kerja sama intensif dengan tim Chalmers University, Swedia, mulai dari tahap pengumpulan ide sampai dengan penyusunan proposal. “Selamat untuk tim Mondialogo dan terima kasih kepada dosen susah payah membimbing tim mahasiswa sebelumnya,” ucapnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Empat orang mahasiswa, Annisa Utami (2006), Annisa Sekar Palupi (2006), Benny (2006), dan M. Aqwi Gibran (2007), menang dengan mengusung karya tulis berjudul ”Zero Waste Production System in Small/Medium Industrial Cluster as The Core of Sustainable Innovative Villages”. Mereka menjadi salah satu dari 30 finalis yang berhasil mengungguli kurang lebih 932 proposal yang datang dari berbagai negara di dunia.
Seperti disampaikan Ketua Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik UGM, Prof. Ir. Suryo Purwono, M.A.Sc., Ph.D., dalam rilis yang dikirimkan lewat email pada Selasa (10/11), di putaran final tim JTK diwakili oleh Benny berpasangan dengan Marcus Hogberg dari Chalmers, Swedia. “Tim JTK yang tampil pada urutan satu pada hari pertama tampil meyakinkan dan berhasil meraih satu tempat terbaik dari delapan peraih medali emas di kejuaraan ini,” kata Suryo Purwono.
Suryo Purwono juga menyampaikan keberhasilan tim UGM masuk sebagai salah satu finalis karena adanya kerja sama intensif dengan tim Chalmers University, Swedia, mulai dari tahap pengumpulan ide sampai dengan penyusunan proposal. “Selamat untuk tim Mondialogo dan terima kasih kepada dosen susah payah membimbing tim mahasiswa sebelumnya,” ucapnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Pendidikan Kemaritiman Belum Diajarkan di Jawa
Yogya, KU
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, mengkritisi pendidikan di Jawa yang belum mengajarkan pendidikan kemaritiman dan kelautan sebagai pendidikan yang dianggap betul-betul sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia. “Di Jawa tidak ada pendidikan kemaritiman dan kelautan. Saya tidak tahu orang Ambon masih ngerti maritim nggak atau masyarakat Bugis masih bisa buat kapal ndak,” kata Sultan dalam pidato kunci peluncuran dan bedah buku ‘Menuju Jati Diri Pendidikan yang Mengindonesia’. Acara yang diprakarsai oleh Komite Rekonstruksi Pendidikan (KRP) DIY ini digelar di Gedung Bank BPD DIY, Senin (9/11).
Menurut Sri Sultan, pendidikan di Jawa yang selama ini menjadi basis pendidikan nasional, lebih mengajarkan pendidikan agraris atau continental. Dengan demikian, masyarakat maritim dari luar Jawa yang menempuh pendidikan di Jawa lebih banyak diajarkan pendidikan yang tidak sesuai dengan kondisi di derahnya. “Orang luar Jawa, khususnya orang timur yang pendidikan di Jawa, mengikuti pelajaran menanam padi dan menanam jagung, perikanan, peternakan yang lebih ke daratan. Saat kembali ke daerahnya, kepandaiannya itu diterapkan juga saat ia bekerja,” kata Sri Sultan.
Menurut Sri Sultan, konsep pendidikan seharusnya juga diarahkan ke arah pendidikan multikultur dan pluralis melalui semangat kepemimpinan (leadership) dan kewirausahaan (entrepreneurship). Ia berharap melalui pendidikan yang mengedepankan kepemimpinan dan kewirausahaan, suatu saat bangsa Indonesia bisa membuat produk sendiri untuk global. “Selama ini kita tidak pernah menghargai proses, maunya ada hasil. Padahal, proses sangat penting untuk meraih masa depan. Bagaimana kita bisa bicara kreativitas dan inovasi jika tidak memiliki daya saing?” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Komite Rekonstruksi Pendidikan (KRP) DIY, Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D., dalam sambutannya menyampaikan buku hasil tulisan 18 tokoh pemerhati pendidikan di DIY itu diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. “Buku ini ditulis 18 tokoh untuk berkontribusi memberikan inspirasi kepada pembaca. Semoga buku kecil bermanfaat bagi perbaikan arah dan mutu pendidikan di Indonesia sesuai dengan cita-cita dalam Pembukaan UUD 1945,” katanya.
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Dewan Pendidikan DIY, Prof. Dr. Wuryadi, M.S. Kehadiran buku tersebut diharapkan dapat mengobati kerinduan segenap masyarakat akan pendidikan yang mengindonesia dan itu sudah dimulai dari Yogyakarta. “Dengan tulisan yang beragam, buku ini mengandung satu pikiran. Sesungguhnya kerinduan pendidikan yang mengindonesia dibutuhkan oleh segala pihak,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, mengkritisi pendidikan di Jawa yang belum mengajarkan pendidikan kemaritiman dan kelautan sebagai pendidikan yang dianggap betul-betul sesuai dengan karakter masyarakat Indonesia. “Di Jawa tidak ada pendidikan kemaritiman dan kelautan. Saya tidak tahu orang Ambon masih ngerti maritim nggak atau masyarakat Bugis masih bisa buat kapal ndak,” kata Sultan dalam pidato kunci peluncuran dan bedah buku ‘Menuju Jati Diri Pendidikan yang Mengindonesia’. Acara yang diprakarsai oleh Komite Rekonstruksi Pendidikan (KRP) DIY ini digelar di Gedung Bank BPD DIY, Senin (9/11).
Menurut Sri Sultan, pendidikan di Jawa yang selama ini menjadi basis pendidikan nasional, lebih mengajarkan pendidikan agraris atau continental. Dengan demikian, masyarakat maritim dari luar Jawa yang menempuh pendidikan di Jawa lebih banyak diajarkan pendidikan yang tidak sesuai dengan kondisi di derahnya. “Orang luar Jawa, khususnya orang timur yang pendidikan di Jawa, mengikuti pelajaran menanam padi dan menanam jagung, perikanan, peternakan yang lebih ke daratan. Saat kembali ke daerahnya, kepandaiannya itu diterapkan juga saat ia bekerja,” kata Sri Sultan.
Menurut Sri Sultan, konsep pendidikan seharusnya juga diarahkan ke arah pendidikan multikultur dan pluralis melalui semangat kepemimpinan (leadership) dan kewirausahaan (entrepreneurship). Ia berharap melalui pendidikan yang mengedepankan kepemimpinan dan kewirausahaan, suatu saat bangsa Indonesia bisa membuat produk sendiri untuk global. “Selama ini kita tidak pernah menghargai proses, maunya ada hasil. Padahal, proses sangat penting untuk meraih masa depan. Bagaimana kita bisa bicara kreativitas dan inovasi jika tidak memiliki daya saing?” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Komite Rekonstruksi Pendidikan (KRP) DIY, Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D., dalam sambutannya menyampaikan buku hasil tulisan 18 tokoh pemerhati pendidikan di DIY itu diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. “Buku ini ditulis 18 tokoh untuk berkontribusi memberikan inspirasi kepada pembaca. Semoga buku kecil bermanfaat bagi perbaikan arah dan mutu pendidikan di Indonesia sesuai dengan cita-cita dalam Pembukaan UUD 1945,” katanya.
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Dewan Pendidikan DIY, Prof. Dr. Wuryadi, M.S. Kehadiran buku tersebut diharapkan dapat mengobati kerinduan segenap masyarakat akan pendidikan yang mengindonesia dan itu sudah dimulai dari Yogyakarta. “Dengan tulisan yang beragam, buku ini mengandung satu pikiran. Sesungguhnya kerinduan pendidikan yang mengindonesia dibutuhkan oleh segala pihak,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Mentan: Pemenuhan Daging Sapi Nasional Belum Libatkan Perbankan, Swasta, dan Masyarakat
Yogya, KU
Pencapaian kecukupan kebutuhan daging sapi nasional masih mengandalkan anggaran pemerintah dan belum melibatkan peran perbankan, swasta, dan masyarakat. Hal tersebut menjadi kendala belum berkembangnya usaha pembibitan sapi karena keterbatasan permodalan, disertai pula masih rendahnya produktivitas ternak sapi.
Informasi tersebut disampaikan Menteri Pertanian (Mentan) RI, Ir. H. Suswono, M.M.A., Sabtu (7/11) dalam Seminar Pengembangan Ternak Potong untuk Mewujudkan Program Kecukupan Swasembada Pangan. Dikatakan Suswono, sampai dengan tahun 2009, populasi sapi potong secara nasional baru mencapai 12 juta ekor dari sebelumnya sebanyak 11, 8 juta ekor. Jumlah ini meningkat sekitar 4,4% per tahun, tetapi tetap belum mampu memenuhi kebutuhan daging sapi.
Jumlah tersebut hanya mampu menyuplai 60% penyediaan daging sapi lokal yang mencapai 264 ribu ton dari total kebutuhan 322 ribu ton. Untuk sisanya, 58,1 ribu ton diambil dari daging sapi bakalan impor. “Penyediaan daging sapi selama 5 tahun terakhir juga meningkat, tapi pemenuhan kebutuhan daging sapi dari dalam negeri masih sekitar 60% sehingga masih impor 40%,” katanya.
Untuk mencapai swasembada daging sapi, lanjut Suswono, pemerintah dihadapkan dengan masih kurangnya bibit sapi induk sebanyak 1 juta ekor dan terbatasnya pemanfaatan lahan potensial sebagai basis budaya sapi. “Di samping dengan belum tertanganinya upaya memperpendek jarak beranak dan peningkatan kelahiran sapi,” imbuhnya. Sementara di bidang kesehatan hewan, masih ditemukan lemahnya pengendalian penyakit hewan dan kurangnya pengawasan terhadap produk hasil ternak.
Menurut Mentan, pemerintah tengah berupaya melakukan pemenuhan konsumsi daging sapi dalam negeri dengan target penyediaan daging sapi lokal meningkat dari 67% pada 2010 menjadi 90% di 2011.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Peternakan UGM, Prof. Dr. Ir. Endang Baliarti, mengatakan untuk memenuhi target pemerintah mencapai swasembada daging dalam lima tahun mendatang perlu didukung dengan program sarjana masuk desa. Menurutnya, program ini sangat terkait dengan tugas dan tanggung jawab perguruan tinggi sebagai produsen sarjana. Oleh karena itu, seyogianya perguruan tinggi terdekat dilibatkan dalam proses pendampingan.
“Mungkin perlu dicoba kepada sarjana baru ini diberi tanggung jawab memelihara ternak dalam jumlah cukup dan diarahkan untuk menjadi model percontohan untuk melakukan pendampingan kepada peternak yang sangat berpengalaman memelihara sapi,” ujarnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Pencapaian kecukupan kebutuhan daging sapi nasional masih mengandalkan anggaran pemerintah dan belum melibatkan peran perbankan, swasta, dan masyarakat. Hal tersebut menjadi kendala belum berkembangnya usaha pembibitan sapi karena keterbatasan permodalan, disertai pula masih rendahnya produktivitas ternak sapi.
Informasi tersebut disampaikan Menteri Pertanian (Mentan) RI, Ir. H. Suswono, M.M.A., Sabtu (7/11) dalam Seminar Pengembangan Ternak Potong untuk Mewujudkan Program Kecukupan Swasembada Pangan. Dikatakan Suswono, sampai dengan tahun 2009, populasi sapi potong secara nasional baru mencapai 12 juta ekor dari sebelumnya sebanyak 11, 8 juta ekor. Jumlah ini meningkat sekitar 4,4% per tahun, tetapi tetap belum mampu memenuhi kebutuhan daging sapi.
Jumlah tersebut hanya mampu menyuplai 60% penyediaan daging sapi lokal yang mencapai 264 ribu ton dari total kebutuhan 322 ribu ton. Untuk sisanya, 58,1 ribu ton diambil dari daging sapi bakalan impor. “Penyediaan daging sapi selama 5 tahun terakhir juga meningkat, tapi pemenuhan kebutuhan daging sapi dari dalam negeri masih sekitar 60% sehingga masih impor 40%,” katanya.
Untuk mencapai swasembada daging sapi, lanjut Suswono, pemerintah dihadapkan dengan masih kurangnya bibit sapi induk sebanyak 1 juta ekor dan terbatasnya pemanfaatan lahan potensial sebagai basis budaya sapi. “Di samping dengan belum tertanganinya upaya memperpendek jarak beranak dan peningkatan kelahiran sapi,” imbuhnya. Sementara di bidang kesehatan hewan, masih ditemukan lemahnya pengendalian penyakit hewan dan kurangnya pengawasan terhadap produk hasil ternak.
Menurut Mentan, pemerintah tengah berupaya melakukan pemenuhan konsumsi daging sapi dalam negeri dengan target penyediaan daging sapi lokal meningkat dari 67% pada 2010 menjadi 90% di 2011.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Peternakan UGM, Prof. Dr. Ir. Endang Baliarti, mengatakan untuk memenuhi target pemerintah mencapai swasembada daging dalam lima tahun mendatang perlu didukung dengan program sarjana masuk desa. Menurutnya, program ini sangat terkait dengan tugas dan tanggung jawab perguruan tinggi sebagai produsen sarjana. Oleh karena itu, seyogianya perguruan tinggi terdekat dilibatkan dalam proses pendampingan.
“Mungkin perlu dicoba kepada sarjana baru ini diberi tanggung jawab memelihara ternak dalam jumlah cukup dan diarahkan untuk menjadi model percontohan untuk melakukan pendampingan kepada peternak yang sangat berpengalaman memelihara sapi,” ujarnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Guru Besar Farmasi UGM, Prof. Sasmito, Berpulang
Yogya, KU
UGM berduka. Prof. Dr. Sasmito, Apt. meninggal dunia Sabtu (7/11) di RSUP Dr. Sardjito sekitar pukul 06.00. Pensiunan Guru Besar Fakultas Farmasi tersebut berpulang dalam usia 67 tahun setelah dirawat selama beberapa hari di RSUP Dr. Sardjito. Almarhum meninggalkan seorang istri, Dr. Ediati, S.E., Apt., dan dua orang anak, dr. Ananto Budi Wirawan dan Budining Wirastuti, ST., MT.
Pria kelahiran Bojonegoro, 31 Januari 1942 ini dimakamkan Sabtu (7/11), pukul 14.00, di Pemakaman Keluarga UGM Sawitsari setelah diberangkatkan dari rumah duka Pohruboh RT 01/RW 52 no. 321 Condongcatur, Depok, Sleman. Sebelumnya, jenazah Prof. Sasmito disemayamkan di Balairung UGM untuk mendapatkan penghormatan terakhir dari keluarga besar UGM.
Saat melepas jenazah almarhum, Ketua Majelis Guru Besar (MGB) UGM, Prof. Drs. Suryo Guritno, M.Stat., Ph.D., menyampaikan perasaan duka mendalam atas meninggalnya sosok intelektual yang telah banyak berjasa, bukan hanya bagi UGM, melainkan juga bagi bangsa Indonesia. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia dan Perhimpunan Biokimia dan Biologi Molekuler Indonesia serta Perhimpunan Peneliti Bahan Alam adalah beberapa organisasi profesi yang turut merasakan jasa Prof. Sasmito.
“Komitmen keilmuan dan dedikasi almarhum yang menonjol telah menghadirkan rasa bangga bagi istri dan putra-putrinya,” kata Suryo Guritno. Semasa hidupnya, tambah Suryo, Prof. Sasmito dikenal rekan-rekannya sebagai sosok yang bersahaja, periang, dan selalu bersahabat kepada siapa saja.
Dekan Fakultas Farmasi, Prof. Dr. Marchaban, DESS, Apt., mengatakan almarhum yang menjalani masa usia pensiun sejak dua tahun lalu itu menyelesaikan pendidikan SD hingga SMA di kampung halamannya, Bojonegoro. Setelah meraih gelar sarjana farmasi UGM pada tahun 1974, setahun berikutnya lulus sebagai apoteker. Pendidikan doktor dijalani di Faculty of Pharmaceutical Scinces State University of Ghent Belgium dan lulus tahun 1984.
Prof. Sasmito menjadi staf pengajar di Fakultas Farmasi UGM sejak 1973 sebagai asisten muda. Anggota berbagai organisasi profesi ini telah mendapat empat tanda penghargaan, yang terakhir adalah Satyalancana Karya Satya XXX dari Presiden pada 2006 lalu. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
UGM berduka. Prof. Dr. Sasmito, Apt. meninggal dunia Sabtu (7/11) di RSUP Dr. Sardjito sekitar pukul 06.00. Pensiunan Guru Besar Fakultas Farmasi tersebut berpulang dalam usia 67 tahun setelah dirawat selama beberapa hari di RSUP Dr. Sardjito. Almarhum meninggalkan seorang istri, Dr. Ediati, S.E., Apt., dan dua orang anak, dr. Ananto Budi Wirawan dan Budining Wirastuti, ST., MT.
Pria kelahiran Bojonegoro, 31 Januari 1942 ini dimakamkan Sabtu (7/11), pukul 14.00, di Pemakaman Keluarga UGM Sawitsari setelah diberangkatkan dari rumah duka Pohruboh RT 01/RW 52 no. 321 Condongcatur, Depok, Sleman. Sebelumnya, jenazah Prof. Sasmito disemayamkan di Balairung UGM untuk mendapatkan penghormatan terakhir dari keluarga besar UGM.
Saat melepas jenazah almarhum, Ketua Majelis Guru Besar (MGB) UGM, Prof. Drs. Suryo Guritno, M.Stat., Ph.D., menyampaikan perasaan duka mendalam atas meninggalnya sosok intelektual yang telah banyak berjasa, bukan hanya bagi UGM, melainkan juga bagi bangsa Indonesia. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia dan Perhimpunan Biokimia dan Biologi Molekuler Indonesia serta Perhimpunan Peneliti Bahan Alam adalah beberapa organisasi profesi yang turut merasakan jasa Prof. Sasmito.
“Komitmen keilmuan dan dedikasi almarhum yang menonjol telah menghadirkan rasa bangga bagi istri dan putra-putrinya,” kata Suryo Guritno. Semasa hidupnya, tambah Suryo, Prof. Sasmito dikenal rekan-rekannya sebagai sosok yang bersahaja, periang, dan selalu bersahabat kepada siapa saja.
Dekan Fakultas Farmasi, Prof. Dr. Marchaban, DESS, Apt., mengatakan almarhum yang menjalani masa usia pensiun sejak dua tahun lalu itu menyelesaikan pendidikan SD hingga SMA di kampung halamannya, Bojonegoro. Setelah meraih gelar sarjana farmasi UGM pada tahun 1974, setahun berikutnya lulus sebagai apoteker. Pendidikan doktor dijalani di Faculty of Pharmaceutical Scinces State University of Ghent Belgium dan lulus tahun 1984.
Prof. Sasmito menjadi staf pengajar di Fakultas Farmasi UGM sejak 1973 sebagai asisten muda. Anggota berbagai organisasi profesi ini telah mendapat empat tanda penghargaan, yang terakhir adalah Satyalancana Karya Satya XXX dari Presiden pada 2006 lalu. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Wednesday, November 11, 2009
Kolaborasi Tradisi Korea dan Gamelan
Anda bisa membayangkan musik tradisional Jawa ‘gamelan’ dimainkan dengan musik tradisional Korea ‘samulnori’? Susah dibayangkan memang, dua buah perangkat musik tradisi yang berbeda bentuk dan asal-usulnya dipentaskan secara bersamaan. Meski keduanya sama-sama berupa instrumen pukul, secara umum tetap cukup aneh di telinga.
Namun, ketika mahasiswa dan dosen asing program internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) memainkannya, serasa memberikan sentuhan yang berbeda. Seperti diketahui, gamelan yang merupakan orkestra ala Jawa merupakan musik ensambel yang terdiri atas gong, gambang, kendang, dan beberapa alat lainnya. Sementara itu, samulnori merupakan musik perkusi tradisonal Korea, yang meliputi gong kecil (kkwaenggwari), gong lebih besar (jing), drum berbentuk jam pasir (janggu) dan tong drum (buk).
Pementasan ini menjadi suguhan terakhir dari rangkaian Charity Music Concert 2009 ‘Hand to Share’ yang merupakan gelaran Program Internasional Fakultas Kedokteran UGM, Jumat (6/11) malam lalu. Kolaborasi dalam satu reportoar berjudul ‘Pecel-Kimchi’ ini menjadi bukti bahwa budaya tradisional beda negara ternyata dapat harmonis jika diberi sentuhan dan mampu menjadi jembatan budaya untuk persatuan.
Salah satu penggagas kolaborasi musik ini, Eddy Pursubaryanto, mengatakan hal tersebut jika disingkat akan menjadi upaya dialog budaya. ”Kolaborasi ini merupakan bentuk dari dialog budaya,” ujar Eddy.
Malam itu, yang merupakan malam penggalangan dana untuk korban gempa Sumatera Barat, tidak hanya ditampilkan permainan kolaborasi musik dua budaya tersebut. Penari sekaligus koreografer profesional asal Korea, Sen Hea Ha, yang membawakan tari tradisional ‘Seungmu’ juga turut ‘dikawinkan’ dengan gamelan.
Seungmu merupakan tari asal Korea yang awalnya dilakukan oleh biksu. Tari ini telah menjadi warisan budaya nonbendawi Korea Selatan. Banyak orang yang menganggap Seungmu adalah tarian rakyat Korea yang paling indah. Dilihat dari gerakannya, tarian ini sesungguhnya terdiri atas bagian-bagian yang sangat rumit. Keindahan tarian Seungmu terlihat dari gerakan gemulai sang penari yang menggunakan selendang putih panjang dan kemudian memukul beduk (beobgo) dengan ekspresi yang berbeda pada setiap bagian tariannya.
Penari Seungmu memakai tudung putih yang disebut gokkal dengan lengan baju panjang yang disebut gasa. Malam itu, Sen Hea Ha mampu menyuguhkan tarian yang sulit tersebut dengan iringan gamelan menjadi sebuah tontonan yang harmonis.
Sebelum dibuai dengan dua kolaborasi yang mengundang decak kagum itu, penonton yang memadati auditorium Fakultas Kedokteran telah dihipnotis dengan permainan musik klasik oleh 12 penampil. Mulai dari solo piano, duet violin, solo gitar, solo violin, hingga duet piano disajikan. Permainan sebagian besar dipersembahkan oleh mahasiswa berbagai penjuru dunia yang sedang menimba ilmu di kampus UGM.
Permainan musik klasik yang mencomot permainan Ludvig van Beethoven, Andy McKee, Gabriel Faure, hingga Johann Sebastian Bach mampu menghangatkan suasana dan seolah membumbungkan angan untuk menjelajah dunia lain. Permainan Brittany Jordan yang merupakan violis terbaik dari konservatorium music history turut pula membius penikmat musik klasik malam itu. Brittany yang melakukan solo violin, dengan apik membawakan karya Johann Sebastian Bach, ‘Gigue in D Minor’. Tak heran jika perempuan cantik yang juga dosen di Fakultas Ilmu Budaya UGM ini mendapat tepuk tangan terhangat malam itu.
Panitia penyelenggara, Kuni Haqiati, kepada wartawan mengatakan selain sebagai kegiatan sosial, kegiatan tahunan ini merupakan media untuk berinteraksi bagi mahasiswa, untuk membaur, membuka diri, dan berhubungan secara sosial budaya. ”Hal ini juga sekaligus untuk menggali keanekaragaman antarmahasiswa dalam rangka menciptakan pemahaman lintas budaya,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Namun, ketika mahasiswa dan dosen asing program internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) memainkannya, serasa memberikan sentuhan yang berbeda. Seperti diketahui, gamelan yang merupakan orkestra ala Jawa merupakan musik ensambel yang terdiri atas gong, gambang, kendang, dan beberapa alat lainnya. Sementara itu, samulnori merupakan musik perkusi tradisonal Korea, yang meliputi gong kecil (kkwaenggwari), gong lebih besar (jing), drum berbentuk jam pasir (janggu) dan tong drum (buk).
Pementasan ini menjadi suguhan terakhir dari rangkaian Charity Music Concert 2009 ‘Hand to Share’ yang merupakan gelaran Program Internasional Fakultas Kedokteran UGM, Jumat (6/11) malam lalu. Kolaborasi dalam satu reportoar berjudul ‘Pecel-Kimchi’ ini menjadi bukti bahwa budaya tradisional beda negara ternyata dapat harmonis jika diberi sentuhan dan mampu menjadi jembatan budaya untuk persatuan.
Salah satu penggagas kolaborasi musik ini, Eddy Pursubaryanto, mengatakan hal tersebut jika disingkat akan menjadi upaya dialog budaya. ”Kolaborasi ini merupakan bentuk dari dialog budaya,” ujar Eddy.
Malam itu, yang merupakan malam penggalangan dana untuk korban gempa Sumatera Barat, tidak hanya ditampilkan permainan kolaborasi musik dua budaya tersebut. Penari sekaligus koreografer profesional asal Korea, Sen Hea Ha, yang membawakan tari tradisional ‘Seungmu’ juga turut ‘dikawinkan’ dengan gamelan.
Seungmu merupakan tari asal Korea yang awalnya dilakukan oleh biksu. Tari ini telah menjadi warisan budaya nonbendawi Korea Selatan. Banyak orang yang menganggap Seungmu adalah tarian rakyat Korea yang paling indah. Dilihat dari gerakannya, tarian ini sesungguhnya terdiri atas bagian-bagian yang sangat rumit. Keindahan tarian Seungmu terlihat dari gerakan gemulai sang penari yang menggunakan selendang putih panjang dan kemudian memukul beduk (beobgo) dengan ekspresi yang berbeda pada setiap bagian tariannya.
Penari Seungmu memakai tudung putih yang disebut gokkal dengan lengan baju panjang yang disebut gasa. Malam itu, Sen Hea Ha mampu menyuguhkan tarian yang sulit tersebut dengan iringan gamelan menjadi sebuah tontonan yang harmonis.
Sebelum dibuai dengan dua kolaborasi yang mengundang decak kagum itu, penonton yang memadati auditorium Fakultas Kedokteran telah dihipnotis dengan permainan musik klasik oleh 12 penampil. Mulai dari solo piano, duet violin, solo gitar, solo violin, hingga duet piano disajikan. Permainan sebagian besar dipersembahkan oleh mahasiswa berbagai penjuru dunia yang sedang menimba ilmu di kampus UGM.
Permainan musik klasik yang mencomot permainan Ludvig van Beethoven, Andy McKee, Gabriel Faure, hingga Johann Sebastian Bach mampu menghangatkan suasana dan seolah membumbungkan angan untuk menjelajah dunia lain. Permainan Brittany Jordan yang merupakan violis terbaik dari konservatorium music history turut pula membius penikmat musik klasik malam itu. Brittany yang melakukan solo violin, dengan apik membawakan karya Johann Sebastian Bach, ‘Gigue in D Minor’. Tak heran jika perempuan cantik yang juga dosen di Fakultas Ilmu Budaya UGM ini mendapat tepuk tangan terhangat malam itu.
Panitia penyelenggara, Kuni Haqiati, kepada wartawan mengatakan selain sebagai kegiatan sosial, kegiatan tahunan ini merupakan media untuk berinteraksi bagi mahasiswa, untuk membaur, membuka diri, dan berhubungan secara sosial budaya. ”Hal ini juga sekaligus untuk menggali keanekaragaman antarmahasiswa dalam rangka menciptakan pemahaman lintas budaya,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Sumpah Atas Nama Agama Tidak Bisa Diverifikasi
Yogya, KU
Direktur Eksekutif Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM, Dr. Zainal Abidin Bagir, Jumat (6/11), mengatakan sumpah atas nama agama oleh Kabareskim non-aktif Mabes Polri, Susno Duadji, di hadapan Komisi III DPR RI semalam, seharusnya tidak perlu dilakukan. Menurutnya, penggunaan sumpah atas nama Tuhan tidak dapat diverifikasi untuk mengetahui kesungguhan pihak yang mengucapkan sumpah.
“Yang sangat penting, Pak Susno bersumpah tidak akan menyebabkan ia lepas dari proses hukum. Efeknya lebih ke psikologis, di mata hukum tidak ada apa-apanya. Kebiasaan (bersumpah) untuk menguatkan (pengakuan),” kata Bagir mengomentari maraknya pejabat yang bersumpah atas nama agama saat memberikan pengakuan.
Kendati demikian, tidak ada peraturan tentang penggunaan sumpah atas nama agama yang dilakukan di luar pengadilan oleh seseorang yang terlibat kasus. Untuk mengatur layak atau tidaknya pengucapan sumpah tersebut, menurut Bagir, sudah masuk wewenang MUI untuk mengeluarkan fatwa.
Dikatakan Bagir, penggunaan sumpah atas nama agama sudah biasa dilakukan di beberapa negara, terutama dalam pelantikan pejabat negara, seperti presiden dan perdana menteri. “Di negara Perancis yang terkenal sekuler sekalipun, pelantikan pejabatnya masih menggunakan sumpah atas nama agama mayoritas yang berlaku di sana,” jelasnya.
Sementara itu, Suhadi Cholil, peneliti CRCS, mengusulkan agar pejabat negara yang terindikasi terlibat kasus hukum tidak menggunakan sumpah dengan narasi agama, tetapi narasi hukum. “Seharusnya, menggunakan narasi hukum daripada narasi agama. Sumpah demi Allah tidak bisa diverifikasi, belum tentu dilakukan dengan kesungguhan, tidak ada cara memverifikasinya,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Direktur Eksekutif Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM, Dr. Zainal Abidin Bagir, Jumat (6/11), mengatakan sumpah atas nama agama oleh Kabareskim non-aktif Mabes Polri, Susno Duadji, di hadapan Komisi III DPR RI semalam, seharusnya tidak perlu dilakukan. Menurutnya, penggunaan sumpah atas nama Tuhan tidak dapat diverifikasi untuk mengetahui kesungguhan pihak yang mengucapkan sumpah.
“Yang sangat penting, Pak Susno bersumpah tidak akan menyebabkan ia lepas dari proses hukum. Efeknya lebih ke psikologis, di mata hukum tidak ada apa-apanya. Kebiasaan (bersumpah) untuk menguatkan (pengakuan),” kata Bagir mengomentari maraknya pejabat yang bersumpah atas nama agama saat memberikan pengakuan.
Kendati demikian, tidak ada peraturan tentang penggunaan sumpah atas nama agama yang dilakukan di luar pengadilan oleh seseorang yang terlibat kasus. Untuk mengatur layak atau tidaknya pengucapan sumpah tersebut, menurut Bagir, sudah masuk wewenang MUI untuk mengeluarkan fatwa.
Dikatakan Bagir, penggunaan sumpah atas nama agama sudah biasa dilakukan di beberapa negara, terutama dalam pelantikan pejabat negara, seperti presiden dan perdana menteri. “Di negara Perancis yang terkenal sekuler sekalipun, pelantikan pejabatnya masih menggunakan sumpah atas nama agama mayoritas yang berlaku di sana,” jelasnya.
Sementara itu, Suhadi Cholil, peneliti CRCS, mengusulkan agar pejabat negara yang terindikasi terlibat kasus hukum tidak menggunakan sumpah dengan narasi agama, tetapi narasi hukum. “Seharusnya, menggunakan narasi hukum daripada narasi agama. Sumpah demi Allah tidak bisa diverifikasi, belum tentu dilakukan dengan kesungguhan, tidak ada cara memverifikasinya,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Diskusi Buku Desentralisasi Kesehatan Indonesia 2000-2007
Diskusi Buku Desentralisasi Kesehatan Indonesia 2000-2007
Pengalaman Indonesia dalam pelaksanaan kebijakan desentralisasi kesehatan selama tahun 2000-2007 bila direfleksikan adalah serupa suatu proses yang berjalan secara mendadak. Kebijakan desentralisasi berjalan setengah hati akibat tekanan politik. Secara teknis, para pelaku sektor kesehatan belum siap untuk melakukannya.
Menurut peneliti manajemen kesehatan, Prof. Laksono Trisnantoro, desentralisasi setengah hati ini sebagai akibat dari Departemen Kesehatan (Depkes) yang masih menginginkan sentralisasi. Hal itu tercermin dalam kebijakan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Depkes. “Namun, yang terjadi justru dana untuk santunan dari pusat itu tidak mencukupi, mau tidak mau harus sinergi dengan daerah,” ujarnya di Balai Senat UGM, Selasa (3/11), usai acara bedah buku ‘Pelaksanaan Desentralisasi Kesehatan di Indonesia Tahun 2000-2007’.
Bedah buku yang digelar oleh Majelis Guru Besar UGM ini dihadiri para guru besar, mahasiswa, peneliti lintas bidang dan pengamat kesehatan. Di samping Prof. Laksono Trisnantoro, yang juga selaku editor buku, hadir pula Prof. Dr. Warsito Utomo sebagai pembahas dan Prof. Drs. Muhadjir Darwin, M.P.A., Ph.D. sebagai moderator.
Dari diskusi buku itu mengemuka kemungkinan dilakukan peninjauan ulang bagi masyarakat penerima Jamkesmas. Peninjauan ulang terutama bagi para penerima Jamkesmas yang memiliki kemampuan untuk mengonsumsi rokok, yang notabene justru mendatangkan penyakit. Oleh karena itu, diperlukan sanksi bagi mereka agar tidak merokok karena penyakit akibat rokok menjadi beban negara.
Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan logis atau tidak jika penerima Jamkesmas diberi sanksi seperti itu. Jangan sampai terjadi, jaminan kesehatan diberikan, tetapi penerimanya tidak memikirkan kesehatannya. Uang yang digunakan membeli rokok dapat dialihkan untuk kepentingan yang lebih sehat dan tidak merugikan diri sendiri ataupun negara yang mengeluarkan dana untuk jaminan kesehatan. (Humas UGM)
Pengalaman Indonesia dalam pelaksanaan kebijakan desentralisasi kesehatan selama tahun 2000-2007 bila direfleksikan adalah serupa suatu proses yang berjalan secara mendadak. Kebijakan desentralisasi berjalan setengah hati akibat tekanan politik. Secara teknis, para pelaku sektor kesehatan belum siap untuk melakukannya.
Menurut peneliti manajemen kesehatan, Prof. Laksono Trisnantoro, desentralisasi setengah hati ini sebagai akibat dari Departemen Kesehatan (Depkes) yang masih menginginkan sentralisasi. Hal itu tercermin dalam kebijakan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Depkes. “Namun, yang terjadi justru dana untuk santunan dari pusat itu tidak mencukupi, mau tidak mau harus sinergi dengan daerah,” ujarnya di Balai Senat UGM, Selasa (3/11), usai acara bedah buku ‘Pelaksanaan Desentralisasi Kesehatan di Indonesia Tahun 2000-2007’.
Bedah buku yang digelar oleh Majelis Guru Besar UGM ini dihadiri para guru besar, mahasiswa, peneliti lintas bidang dan pengamat kesehatan. Di samping Prof. Laksono Trisnantoro, yang juga selaku editor buku, hadir pula Prof. Dr. Warsito Utomo sebagai pembahas dan Prof. Drs. Muhadjir Darwin, M.P.A., Ph.D. sebagai moderator.
Dari diskusi buku itu mengemuka kemungkinan dilakukan peninjauan ulang bagi masyarakat penerima Jamkesmas. Peninjauan ulang terutama bagi para penerima Jamkesmas yang memiliki kemampuan untuk mengonsumsi rokok, yang notabene justru mendatangkan penyakit. Oleh karena itu, diperlukan sanksi bagi mereka agar tidak merokok karena penyakit akibat rokok menjadi beban negara.
Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan logis atau tidak jika penerima Jamkesmas diberi sanksi seperti itu. Jangan sampai terjadi, jaminan kesehatan diberikan, tetapi penerimanya tidak memikirkan kesehatannya. Uang yang digunakan membeli rokok dapat dialihkan untuk kepentingan yang lebih sehat dan tidak merugikan diri sendiri ataupun negara yang mengeluarkan dana untuk jaminan kesehatan. (Humas UGM)
Pengukuhan Prof. Stephanus Djawanai: Hilangnya Bahasa Berarti Punahnya Gagasan
Matinya bahasa berarti hilangnya suatu warisan sosial, kultural, dan spiritual. Hingga kini, laju kepunahan bahasa manusia telah mencapai 40% lebih. Hilangnya bahasa, menurut Prof. Stephanus Djawanai, M.A., berarti pengikisan atau kepunahan gagasan. Hal tersebut juga dapat diartikan sebagai hilangnya sarana manusia untuk mengetahui atau menghimpun pengetahuan. “Kehilangan bahasa juga berarti kehilangan cara yang khas untuk berbicara tentang pengalaman, kehidupan, dan dunia,” jelasnya di Balai Senat UGM, Rabu (4/11).
Pernyataan tersebut disampaikan oleh pria kelahiran Bajawa, Flores, 10 Oktober 1943, ini pada saat pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM. Alumnus Philosophical Doctor, Linguistics, University of Michigan, Ann Arbor, MI, USA, ini mengucapkan pidato pengukuhan berjudul “Telaah Bahasa, Telaah Manusia”.
Dikatakannya bahwa umat manusia membutuhkan keragaman wujud etnolinguistik demi penyelamatan dirinya dan kreativitas yang lebih besar. Keragaman etnolinguistik juga diharapkan dapat lebih banyak menyelesaikan masalah kemanusiaan. “Di samping itu, ia juga diharapkan untuk proses memanusiakan kembali manusia yang telah dilanda oleh aspek kebendaan, untuk pemeliharaan kemampuan estetis, intelektual, dan emosional, dan demi untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi dari fungsinya keinsaniannya,” paparnya.
Dijelaskan pula, asas ketunggalan (singularity) bahasa menyarankan bahasalah yang memberikan jati diri kepada kemanusiaan dan keinsanian. Bahkan, sejak masih dalam rahim pun bayi manusia sudah mendengar dan mencerap bahasa.
Uraian tentang bahasa dan 'manah' ini belum dapat menghasilkan teori manusia yang utuh karena manusia adalah misterium tremens et fascinans, yakni “keajaiban yang menggetarkan dan membuat tertegun”. Ia tak dapat direduksi menjadi senarai ciri-ciri yang dapat diterapkan begitu saja untuk memberikan homo sapiens, homo lequens, homo ludens, animal rationale (mahluk yang berpikir), dan animal simbolicum (mahluk pencipta lambang). (Humas UGM
Pernyataan tersebut disampaikan oleh pria kelahiran Bajawa, Flores, 10 Oktober 1943, ini pada saat pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM. Alumnus Philosophical Doctor, Linguistics, University of Michigan, Ann Arbor, MI, USA, ini mengucapkan pidato pengukuhan berjudul “Telaah Bahasa, Telaah Manusia”.
Dikatakannya bahwa umat manusia membutuhkan keragaman wujud etnolinguistik demi penyelamatan dirinya dan kreativitas yang lebih besar. Keragaman etnolinguistik juga diharapkan dapat lebih banyak menyelesaikan masalah kemanusiaan. “Di samping itu, ia juga diharapkan untuk proses memanusiakan kembali manusia yang telah dilanda oleh aspek kebendaan, untuk pemeliharaan kemampuan estetis, intelektual, dan emosional, dan demi untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi dari fungsinya keinsaniannya,” paparnya.
Dijelaskan pula, asas ketunggalan (singularity) bahasa menyarankan bahasalah yang memberikan jati diri kepada kemanusiaan dan keinsanian. Bahkan, sejak masih dalam rahim pun bayi manusia sudah mendengar dan mencerap bahasa.
Uraian tentang bahasa dan 'manah' ini belum dapat menghasilkan teori manusia yang utuh karena manusia adalah misterium tremens et fascinans, yakni “keajaiban yang menggetarkan dan membuat tertegun”. Ia tak dapat direduksi menjadi senarai ciri-ciri yang dapat diterapkan begitu saja untuk memberikan homo sapiens, homo lequens, homo ludens, animal rationale (mahluk yang berpikir), dan animal simbolicum (mahluk pencipta lambang). (Humas UGM
Dosen FK UGM Raih Penghargaan Pediatric Award
Yogya, KU
Dosen UGM kembali menorehkan prestasi di tingkat internasional. Kali ini, penghargaan diraih oleh staf pengajar Fakultas Kedokteran (FK), Prof. dr. Sri Suparyati, Sp.A.(K), Ph.D., untuk kategori Pediatric Award. Penghargaan tersebut diberikan The Asian Pasific Pediatric Association (APPA) pada 14-18 Oktober 2009 di Shanghai China.
Kepada wartawan, Selasa (3/11), Prof. Yati mengatakan dirinya merupakan salah satu dari 12 penerima penghargaan yang diberikan APPA setiap tiga tahun sekali. Mereka dipilih dari sejumlah 2.500 dokter ahli anak se-Asia Pasifik yang masuk seleksi. Prof. Yati menjadi satu-satunya wakil dari Indonesia yang menerima penghargaan tersebut. “Untuk kategori ini, saya dianggap sebagai dokter spesialis anak yang paling menonjol selama tiga tahun terakhir,” ujar Guru Besar FK UGM ini.
Prof. Yati mengaku tidak kaget dengan pemberian penghargaan ini. Menurutnya, pemilihan namanya lebih disebabkan oleh kiprahnya dalam meneliti penyakit diare pada anak selama 40 tahun ini. Hasil penelitiannya pun telah dipublikasikan secara internasional. “Sering diundang di forum internasional, telah dikenal dalam percaturan internasional,” ujar Direktur Pusat Clinical Epidemiologi dan Biostatika FK UGM ini.
Penelitian diare telah dilakukan oleh Prof. Yati sejak 1976 bersama dengan Prof. Ruth Bishop dari Australia selaku penemu rotavirus pertama di dunia. Mereka meneliti infeksi rotavirus pada penderita diare di Indonesia pada saat itu. “Kita membuat penelitian lanjutan lebih dari satu tahun di Indonesia. Hasilnya rotavirus sebagai penyebab utama kasus diare,” kenangnya.
Ia menyebutkan sebagian besar bayi penderita diare karena rotavirus mengalami muntah secara terus menerus, berak air, dan susah mengonsumsi makanan. Usus halus mereka rusak sehingga tidak bisa menyerap makanan. Meskipun bayi tersebut tidak meninggal, kualitas hidupnya rendah karena sebagian usus halusnya tidak efektif lagi
Atas kiprahnya pula, Indonesia berencana memproduksi vaksin rotavirus sendiri dengan harga yang cukup murah. Saat ini, vaksin yang ada harganya relatif mahal. Bekerja sama dengan Melbourne University dan PT Biofarma, disepakati bahwa vaksin tersebut akan dipasarkan di Indonesia pada 2012.
Di tahun 1982, Prof. Yati dikenal sebagai peneliti yang memanfaatkan kearifan lokal untuk dijadikan sumber obat bagi penderita diare. Ia berhasil membuat oralit dari gula jawa dan gula batu, juga membuat tepung tempe untuk suplai protein bagi penderita diare. Diketahui bahwa tepung tempe dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan jumlah gizi dan berat badan bayi. “Bahannya tersedia murah dan tersedia di mana-mana. Pembuatan tepung tempe tradisional lebih baik daripada tempe buatan pabrik di Belanda. Saya diundang internasional karena memanfaatkan kearifan lokal,” kata pencetus pendirian pusat penanggulangan penyakit diare di beberapa rumah sakit di Indonesia ini.
Dekan FK UGM, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D., menyambut baik diberikannya penghargaan untuk Prof. Yati yang menurutnya akan mempertegas posisi UGM sebagai kampus bertaraf internasional. “Penghargaan ini akan menegaskan FK UGM ini semakin go intenasional, menunjukkan bahwa prestasi para dosen dan guru besar tidak hanya jago kandang,” imbuhnya.
Menurut Dekan, untuk menambah publikasi internasional, pihaknya terus mendorong staf pengajar FK UGM untuk berkolaborasi kerja sama riset dengan peneliti dari luar negeri serta menulis publikasi melalui jurnal-jurnal internasional ternama. “Kita juga mengundang pakar internasional untuk datang ke sini terkait hasil penelitiannya dan pengalamannya dalam publikasi internasional,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson
Dosen UGM kembali menorehkan prestasi di tingkat internasional. Kali ini, penghargaan diraih oleh staf pengajar Fakultas Kedokteran (FK), Prof. dr. Sri Suparyati, Sp.A.(K), Ph.D., untuk kategori Pediatric Award. Penghargaan tersebut diberikan The Asian Pasific Pediatric Association (APPA) pada 14-18 Oktober 2009 di Shanghai China.
Kepada wartawan, Selasa (3/11), Prof. Yati mengatakan dirinya merupakan salah satu dari 12 penerima penghargaan yang diberikan APPA setiap tiga tahun sekali. Mereka dipilih dari sejumlah 2.500 dokter ahli anak se-Asia Pasifik yang masuk seleksi. Prof. Yati menjadi satu-satunya wakil dari Indonesia yang menerima penghargaan tersebut. “Untuk kategori ini, saya dianggap sebagai dokter spesialis anak yang paling menonjol selama tiga tahun terakhir,” ujar Guru Besar FK UGM ini.
Prof. Yati mengaku tidak kaget dengan pemberian penghargaan ini. Menurutnya, pemilihan namanya lebih disebabkan oleh kiprahnya dalam meneliti penyakit diare pada anak selama 40 tahun ini. Hasil penelitiannya pun telah dipublikasikan secara internasional. “Sering diundang di forum internasional, telah dikenal dalam percaturan internasional,” ujar Direktur Pusat Clinical Epidemiologi dan Biostatika FK UGM ini.
Penelitian diare telah dilakukan oleh Prof. Yati sejak 1976 bersama dengan Prof. Ruth Bishop dari Australia selaku penemu rotavirus pertama di dunia. Mereka meneliti infeksi rotavirus pada penderita diare di Indonesia pada saat itu. “Kita membuat penelitian lanjutan lebih dari satu tahun di Indonesia. Hasilnya rotavirus sebagai penyebab utama kasus diare,” kenangnya.
Ia menyebutkan sebagian besar bayi penderita diare karena rotavirus mengalami muntah secara terus menerus, berak air, dan susah mengonsumsi makanan. Usus halus mereka rusak sehingga tidak bisa menyerap makanan. Meskipun bayi tersebut tidak meninggal, kualitas hidupnya rendah karena sebagian usus halusnya tidak efektif lagi
Atas kiprahnya pula, Indonesia berencana memproduksi vaksin rotavirus sendiri dengan harga yang cukup murah. Saat ini, vaksin yang ada harganya relatif mahal. Bekerja sama dengan Melbourne University dan PT Biofarma, disepakati bahwa vaksin tersebut akan dipasarkan di Indonesia pada 2012.
Di tahun 1982, Prof. Yati dikenal sebagai peneliti yang memanfaatkan kearifan lokal untuk dijadikan sumber obat bagi penderita diare. Ia berhasil membuat oralit dari gula jawa dan gula batu, juga membuat tepung tempe untuk suplai protein bagi penderita diare. Diketahui bahwa tepung tempe dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan jumlah gizi dan berat badan bayi. “Bahannya tersedia murah dan tersedia di mana-mana. Pembuatan tepung tempe tradisional lebih baik daripada tempe buatan pabrik di Belanda. Saya diundang internasional karena memanfaatkan kearifan lokal,” kata pencetus pendirian pusat penanggulangan penyakit diare di beberapa rumah sakit di Indonesia ini.
Dekan FK UGM, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D., menyambut baik diberikannya penghargaan untuk Prof. Yati yang menurutnya akan mempertegas posisi UGM sebagai kampus bertaraf internasional. “Penghargaan ini akan menegaskan FK UGM ini semakin go intenasional, menunjukkan bahwa prestasi para dosen dan guru besar tidak hanya jago kandang,” imbuhnya.
Menurut Dekan, untuk menambah publikasi internasional, pihaknya terus mendorong staf pengajar FK UGM untuk berkolaborasi kerja sama riset dengan peneliti dari luar negeri serta menulis publikasi melalui jurnal-jurnal internasional ternama. “Kita juga mengundang pakar internasional untuk datang ke sini terkait hasil penelitiannya dan pengalamannya dalam publikasi internasional,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson
Prof. Tom Campbell: Isu HAM Mengalami Demitologi
Hak asasi manusia (HAM) atau tepatnya harus disebut dengan istilah 'hak-hak manusia' (human rights) adalah hak-hak yang seharusnya diakui secara universal sebagai hak yang melekat pada manusia agar mampu saling menghargai dan bertoleransi. Namun, dalam dua dekade terakhir, penggunaan istilah HAM tidak lebih sebagai mitos yang dimanfaatkan oleh kelompok atau penguasa untuk kepentingan politik.
Oleh karena itu, penggunaan istilah ‘hak’ perlu dijernihkan dari sebatas retorika dalam diskursus menjadi sebuah fakta dalam penerapannya. “Isu HAM dilihat dari sisi filosofis mengalami demitologi. Anggapan ini harus dikonstruksi untuk menghindari dari penggunaan yang tidak tepat,” ujar filsuf Australia, Prof. Tom Campbell, dalam kuliah umum ‘Fakta dan Retorika Hak Asasi Manusia’ di Auditorium Fakultas Filsafat UGM, Senin (2/11).
Dalam presentasi makalahnya, Direktur Pusat Studi Filsafat Terapan dan Etika Publik Universitas Nasional Australia ini berusaha menjernihkan istilah ‘hak’ (right) yang belakangan menjadi diskursus utama dalam kajian Filsafat Hukum dan sekaligus Filsafat Politik. “Sayangnya, sama dengan nasib ‘keadilan’ (justice) yang terombang-ambing oleh banyak disiplin, ‘hak’ pun menghadapi ambiguitas. Ambiguitas ini mempertegas bahwa ‘hak’ telah melintasi batas diskursus sebagai isu hukum, teori sosial atau bahkan teori moral,” imbuhnya. Untuk mengatasi hal itu, ia menyarankan perlunya membedakan dan menempatkan secara tepat apa yang disebutnya sebagai ‘real’ dan ‘rhetorical’ right.
Seperti disampaikan koordinator kegiatan, Samsul Ma’arif M., S.Fil., M.A., dalam rangkaian kunjungan Prof. Tom Campbell ke Fakultas Filsafat UGM, selain memberikan kuliah umum pada 2 dan 5 November mendatang bersama Dr. Heeyong Park dari Hankuk University of Foreign Studies Korea, penulis buku terkenal Seven Theories of Human Society ini juga akan melakukan penilaian (assessment) terhadap kurikulum pendidikan pada Fakultas Filsafat UGM.
“Diawali dengan memberikan paparan tentang perkembangan pembelajaran filsafat di di dunia, Prof. Campbell akan memberikan masukan-masukan. Masukan-masukan yang diberikan oleh keduanya diharapkan dapat dijadikan bahan dalam penyusunan kurikulum di fakultas,” kata staf pengajar Fakultas Fislsafat UGM ini. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Oleh karena itu, penggunaan istilah ‘hak’ perlu dijernihkan dari sebatas retorika dalam diskursus menjadi sebuah fakta dalam penerapannya. “Isu HAM dilihat dari sisi filosofis mengalami demitologi. Anggapan ini harus dikonstruksi untuk menghindari dari penggunaan yang tidak tepat,” ujar filsuf Australia, Prof. Tom Campbell, dalam kuliah umum ‘Fakta dan Retorika Hak Asasi Manusia’ di Auditorium Fakultas Filsafat UGM, Senin (2/11).
Dalam presentasi makalahnya, Direktur Pusat Studi Filsafat Terapan dan Etika Publik Universitas Nasional Australia ini berusaha menjernihkan istilah ‘hak’ (right) yang belakangan menjadi diskursus utama dalam kajian Filsafat Hukum dan sekaligus Filsafat Politik. “Sayangnya, sama dengan nasib ‘keadilan’ (justice) yang terombang-ambing oleh banyak disiplin, ‘hak’ pun menghadapi ambiguitas. Ambiguitas ini mempertegas bahwa ‘hak’ telah melintasi batas diskursus sebagai isu hukum, teori sosial atau bahkan teori moral,” imbuhnya. Untuk mengatasi hal itu, ia menyarankan perlunya membedakan dan menempatkan secara tepat apa yang disebutnya sebagai ‘real’ dan ‘rhetorical’ right.
Seperti disampaikan koordinator kegiatan, Samsul Ma’arif M., S.Fil., M.A., dalam rangkaian kunjungan Prof. Tom Campbell ke Fakultas Filsafat UGM, selain memberikan kuliah umum pada 2 dan 5 November mendatang bersama Dr. Heeyong Park dari Hankuk University of Foreign Studies Korea, penulis buku terkenal Seven Theories of Human Society ini juga akan melakukan penilaian (assessment) terhadap kurikulum pendidikan pada Fakultas Filsafat UGM.
“Diawali dengan memberikan paparan tentang perkembangan pembelajaran filsafat di di dunia, Prof. Campbell akan memberikan masukan-masukan. Masukan-masukan yang diberikan oleh keduanya diharapkan dapat dijadikan bahan dalam penyusunan kurikulum di fakultas,” kata staf pengajar Fakultas Fislsafat UGM ini. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
60 PKL UGM Ikuti Pelatihan Standardisasi Kesehatan Makanan
Untuk mengantisipasi merebaknya kembali penyakit hepatitis yang pernah melanda UGM, sebanyak 60 pedagang kaki lima (PKL) mengikuti Pelatihan Edukasi Sistem Keamanan Pangan bagi Produsen dan Konsumen Food Court Kampus UGM. Pelatihan diselenggarakan oleh Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) UGM, dan berlangsung pada hari Sabtu (31/10).
Menurut Ketua Panitia Pelatihan, Muhammad Prasetya Kurniawan, S.T.P., M.Sc., pelatihan merupakan tindak lanjut dari hasil survei yang pernah dilakukan FTP UGM beberapa waktu lalu. Hasil survei menunjukkan para konsumen merasakan tingkat kepuasan yang diberikan PKL di lingkungan UGM. “Dari kuesioner yang kita sebar, mereka rata-rata puas dengan aneka menu yang ada, harga yang terjangkau, dan mudah diakses,” ujar Prasetya di FTP UGM.
Meski begitu, kajian analisis menunjukkan konsumen kurang memperhatikan aspek keamanan makanan dan minuman. Mereka hanya berpikir bagaimana rasa lapar yang dirasakan dapat terpuaskan saat itu. “Puas akan harga, akses, fasilitas, sarana, dan prasarana, tapi tidak mempertimbangkan apakah makanan yang disantap sudah memenuhi standar kesehatan atau belum,” tambah Prasetya yang juga staf pengajar FTP UGM ini.
Seiring dengan semakin banyaknya konsumen yang membanjiri sudut-sudut Food Court UGM, dipandang perlu untuk menyelenggarakan pelatihan bagi para PKL di lingkungan UGM. Dalam pelayanan dan penyajiannya, dikhawatirkan para PKL tersebut mengabaikan sisi keamanan makanan.
Pelatihan diikuti oleh 52 pedagang Plaza Campus Food Court, lima pedagang Plaza Humaniora Mandiri, dan perwakilan komunitas pedagang Sunday Morning. Mereka selama sehari mendapatkan berbagai materi tentang makanan atau menu yang memenuhi standar kesehatan. Dengan edukasi dan pelatihan ini diharapkan mampu membangun kesadaran, baik bagi konsumen maupun produsen, terhadap standar mutu keamanan pangan. Karena tanpa diadakan pelatihan, dikhawatirkan akan menjadi bumerang, bahkan mungkin bom waktu, yakni merebaknya kembali penyakit hepatitis di lingkungan UGM.
“Banyak yang berkunjung ke sana, tapi bagaimana jika standar sanitasi dan kesehatan tidak diperhatikan? Salah satu mahasiswa UGM gagal melanjutkan studi diakibatkan permasalahan kesehatan semacam ini. Oleh karena itu, kita ingin menanggulangi jangan sampai hal itu terjadi lagi,” jelas Prasetya.
Di samping pelatihan, di akhir acara para PKL menandatangani kontrak dengan UGM. Kontrak berisi pernyataan, antara lain, PKL-PKL mau diperiksa sewaktu-waktu oleh pihak UGM untuk standardisasi kesehatan. “Ini memang bukan kewenangan UGM untuk melakukan itu. Namun, kewenangan BPPOM, kita sifatnya hanya membantu BPPOM. Bagaimana kita bersama PT Gama Multi dan DPPA UGM memantau untuk kesadaran pedagang akan arti kesehatan makanan ini,” pungkas Prasetya. (Humas UGM)
Menurut Ketua Panitia Pelatihan, Muhammad Prasetya Kurniawan, S.T.P., M.Sc., pelatihan merupakan tindak lanjut dari hasil survei yang pernah dilakukan FTP UGM beberapa waktu lalu. Hasil survei menunjukkan para konsumen merasakan tingkat kepuasan yang diberikan PKL di lingkungan UGM. “Dari kuesioner yang kita sebar, mereka rata-rata puas dengan aneka menu yang ada, harga yang terjangkau, dan mudah diakses,” ujar Prasetya di FTP UGM.
Meski begitu, kajian analisis menunjukkan konsumen kurang memperhatikan aspek keamanan makanan dan minuman. Mereka hanya berpikir bagaimana rasa lapar yang dirasakan dapat terpuaskan saat itu. “Puas akan harga, akses, fasilitas, sarana, dan prasarana, tapi tidak mempertimbangkan apakah makanan yang disantap sudah memenuhi standar kesehatan atau belum,” tambah Prasetya yang juga staf pengajar FTP UGM ini.
Seiring dengan semakin banyaknya konsumen yang membanjiri sudut-sudut Food Court UGM, dipandang perlu untuk menyelenggarakan pelatihan bagi para PKL di lingkungan UGM. Dalam pelayanan dan penyajiannya, dikhawatirkan para PKL tersebut mengabaikan sisi keamanan makanan.
Pelatihan diikuti oleh 52 pedagang Plaza Campus Food Court, lima pedagang Plaza Humaniora Mandiri, dan perwakilan komunitas pedagang Sunday Morning. Mereka selama sehari mendapatkan berbagai materi tentang makanan atau menu yang memenuhi standar kesehatan. Dengan edukasi dan pelatihan ini diharapkan mampu membangun kesadaran, baik bagi konsumen maupun produsen, terhadap standar mutu keamanan pangan. Karena tanpa diadakan pelatihan, dikhawatirkan akan menjadi bumerang, bahkan mungkin bom waktu, yakni merebaknya kembali penyakit hepatitis di lingkungan UGM.
“Banyak yang berkunjung ke sana, tapi bagaimana jika standar sanitasi dan kesehatan tidak diperhatikan? Salah satu mahasiswa UGM gagal melanjutkan studi diakibatkan permasalahan kesehatan semacam ini. Oleh karena itu, kita ingin menanggulangi jangan sampai hal itu terjadi lagi,” jelas Prasetya.
Di samping pelatihan, di akhir acara para PKL menandatangani kontrak dengan UGM. Kontrak berisi pernyataan, antara lain, PKL-PKL mau diperiksa sewaktu-waktu oleh pihak UGM untuk standardisasi kesehatan. “Ini memang bukan kewenangan UGM untuk melakukan itu. Namun, kewenangan BPPOM, kita sifatnya hanya membantu BPPOM. Bagaimana kita bersama PT Gama Multi dan DPPA UGM memantau untuk kesadaran pedagang akan arti kesehatan makanan ini,” pungkas Prasetya. (Humas UGM)
Tuesday, November 3, 2009
Rektor Lantik Plt Direktur Sekolah Pascasarjana
Yogya, KU
Rektor UGM, Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D., Senin (2/11), melantik Prof. Dr. Ir. Edhi Martono, M.Sc. sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Sekolah Pascasarjana UGM menggantikan Prof. Dr. Irwan Abdullah, M.A. yang telah berakhir masa tugasnya. Dalam kesempatan tersebut, Rektor juga melantik Dr. Sigit Riyanto, S.H., L.L.M., sebagai Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kerja Sama Fakultas Hukum UGM.
Dalam pengarahannya, Rektor meminta agar para pejabat baru dapat mengemban tugas dengan baik dan memperbaiki segala kelemahan dalam organisasi. “Kita harus menjaga kesehatan organisasi. UGM sudah berkembang jauh, tapi masih ada ruang-ruang perbaikan sebagai kelemahan yang perlu diperbaiki, dengan prinsip memperbaiki secara berkelanjutan,” ujar Rektor dalam acara pelantikan yang berlangsung di Ruang Sidang Pimpinan Kantor Pusat UGM.
Rektor juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Irwan yang telah melaksanakan tugasnya dengan baik hingga selesai. Menurut Rektor, di bawah kepemimpinan Prof. Irwan banyak kemajuan yang telah dicapai oleh Program Pascasarjana, baik untuk ilmu multidisiplin maupun monodisiplin. “Langkah untuk perbaikan Sekolah Pasca tidak bebas dari kendala dan ini menjadi pengalaman untuk kemajuan bagi pengemban tugas selanjutnya,” tuturnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Rektor UGM, Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D., Senin (2/11), melantik Prof. Dr. Ir. Edhi Martono, M.Sc. sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Sekolah Pascasarjana UGM menggantikan Prof. Dr. Irwan Abdullah, M.A. yang telah berakhir masa tugasnya. Dalam kesempatan tersebut, Rektor juga melantik Dr. Sigit Riyanto, S.H., L.L.M., sebagai Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kerja Sama Fakultas Hukum UGM.
Dalam pengarahannya, Rektor meminta agar para pejabat baru dapat mengemban tugas dengan baik dan memperbaiki segala kelemahan dalam organisasi. “Kita harus menjaga kesehatan organisasi. UGM sudah berkembang jauh, tapi masih ada ruang-ruang perbaikan sebagai kelemahan yang perlu diperbaiki, dengan prinsip memperbaiki secara berkelanjutan,” ujar Rektor dalam acara pelantikan yang berlangsung di Ruang Sidang Pimpinan Kantor Pusat UGM.
Rektor juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Irwan yang telah melaksanakan tugasnya dengan baik hingga selesai. Menurut Rektor, di bawah kepemimpinan Prof. Irwan banyak kemajuan yang telah dicapai oleh Program Pascasarjana, baik untuk ilmu multidisiplin maupun monodisiplin. “Langkah untuk perbaikan Sekolah Pasca tidak bebas dari kendala dan ini menjadi pengalaman untuk kemajuan bagi pengemban tugas selanjutnya,” tuturnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Kriminalisasi KPK, Pukat Korupsi UGM Desak Presiden Turun Tangan
Kriminalisasi KPK, Pukat Korupsi UGM Desak Presiden Turun Tangan
Yogya, KU
Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi Fakultas Hukum (FH) UGM menolak kriminalisasi yang dilakukan kepada KPK dengan penahanan Bibit dan Chandra oleh kepolisian. Pukat Korupsi juga mengecam pihak-pihak yang melakukan kriminalisasi terhadap KPK dan penggiat antikorupsi, khususnya kepolisian, kejaksaan, dan politisi busuk. “Kita meminta Presiden untuk turun tangan menghentikan kriminalisasi kepada KPK dan penggiat antikorupsi yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan,” kata Direktur Pukat Korupsi FH UGM, Zainal Arifin Mochtar, S.H., L.L.M.
Meski tidak mencampuri proses hukum yang sedang berjalan, Zainal meminta Presiden menyelesaikan kasus tersebut dengan mengontrol kerja lembaga kepolisian dan kejaksaan yang menurutnya sudah kebablasan. “Ada itikad dari Presiden agar ada proses yang lebih baik. Kita tidak menyelamatkan Bibit dan Chandra, tapi menyelamatkan pemberantasan korupsi yang jauh lebih besar,” ujarnya.
Pukat Korupsi UGM menyerukan kepada masyarakat untuk bersama-sama membantu KPK dan penggiat antikorupsi dalam memberantas korupsi dan melawan koruptor. Pasalnya, yang diuntungkan dengan adanya kasus KPK versus Polri adalah para koruptor. “Siapa yang diuntungkan dari cicak versus buaya adalah para koruptor,” imbuh Zainal.
Ia juga sangat menyayangkan adanya kriminalisasi KPK yang menyebabkan kinerja KPK menjadi lamban. “Sekarang ini KPK lebih banyak menahan serangan. Ini kemenangan yang nyata buat koruptor. Jangan sampai kemenangan koruptor dirayakan!” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Yogya, KU
Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi Fakultas Hukum (FH) UGM menolak kriminalisasi yang dilakukan kepada KPK dengan penahanan Bibit dan Chandra oleh kepolisian. Pukat Korupsi juga mengecam pihak-pihak yang melakukan kriminalisasi terhadap KPK dan penggiat antikorupsi, khususnya kepolisian, kejaksaan, dan politisi busuk. “Kita meminta Presiden untuk turun tangan menghentikan kriminalisasi kepada KPK dan penggiat antikorupsi yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan,” kata Direktur Pukat Korupsi FH UGM, Zainal Arifin Mochtar, S.H., L.L.M.
Meski tidak mencampuri proses hukum yang sedang berjalan, Zainal meminta Presiden menyelesaikan kasus tersebut dengan mengontrol kerja lembaga kepolisian dan kejaksaan yang menurutnya sudah kebablasan. “Ada itikad dari Presiden agar ada proses yang lebih baik. Kita tidak menyelamatkan Bibit dan Chandra, tapi menyelamatkan pemberantasan korupsi yang jauh lebih besar,” ujarnya.
Pukat Korupsi UGM menyerukan kepada masyarakat untuk bersama-sama membantu KPK dan penggiat antikorupsi dalam memberantas korupsi dan melawan koruptor. Pasalnya, yang diuntungkan dengan adanya kasus KPK versus Polri adalah para koruptor. “Siapa yang diuntungkan dari cicak versus buaya adalah para koruptor,” imbuh Zainal.
Ia juga sangat menyayangkan adanya kriminalisasi KPK yang menyebabkan kinerja KPK menjadi lamban. “Sekarang ini KPK lebih banyak menahan serangan. Ini kemenangan yang nyata buat koruptor. Jangan sampai kemenangan koruptor dirayakan!” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Buah Nona Potensial sebagai Obat Anti Kanker dan Gagal Ginjal
Buah mulwa atau lebih sering dikenal dengan nama buah nona (Annona reticulata) mulai sulit dijumpai karena tidak banyak lagi ditanam. Tergolong ke dalam genus Annona yang berasal dari daerah tropis, tanaman ini memiliki kekerabatan dengan sirsak (Annona muricata) dan srikaya (Annona squamosa). Semakin langkanya buah nona disebabkan banyak orang yang kurang begitu menyukai rasa buah ini dan jumlah panenan buahnya yang relatif sedikit dalam satu pohon.
Berdasarkan hasil penelitian Dra. Hamidah, M.Kes., buah nona merupakan komoditi pangan yang bernilai lebih dan berpotensi dimanfaatkan untuk kesehatan. Buah ini mengandung senyawa acetogenin untuk anti kanker dan alkaloid untuk mengatasi gagal ginjal. “Buah nona ini jarang ditanam. Rasanya memang tidak enak, mengandung kandungan bahan aktif bermanfaat. Kalau masyarakat sadar, justru bermanfaat untuk kebaikan,” kata staf pengajar Fakultas Saintek, Universitas Airlangga, ini kepada wartawan usai melaksanakan ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Biologi UGM, Sabtu (31/10).
Menurut Hamidah, mengonsumsi buah-buahan dari alam sangat bermanfaat, terutama untuk menangkal berbagai penyakit yang datang seiring dengan bertambahnya usia. “Kalau kita kembali ke alam, akan selamat. Karena usia tambah tua, perlu makanan yang sehat,” ujar lulusan doktor ke-1037 UGM ini.
Dalam kesimpulan disertasinya yang berjudul 'Biosistematika Annona Murricata L., Annona Squamosa, dan Annona Reticulata dengan Pendekatan Numerik', diketahui bahwa variasi karakter fenotip buah sirsak, srikaya, dan buah nona pada habitat yang berbeda tidak diikuti perubahan variasi karakter genotip dan kedudukan takson berdasar kandungan alkaloid dan flavonoid serta sidik jari DNA dengan teknik RAPD.
Prof. Dr. Santoso selaku promotor berpesan agar Hamidah dapat melanjutkan hasil penelitiannya. “Selesai doktor ini jangan berpuas diri karena ada tanggung jawab yang lebih besar untuk melanjutkan hasil penelitian ini,” pesannya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Berdasarkan hasil penelitian Dra. Hamidah, M.Kes., buah nona merupakan komoditi pangan yang bernilai lebih dan berpotensi dimanfaatkan untuk kesehatan. Buah ini mengandung senyawa acetogenin untuk anti kanker dan alkaloid untuk mengatasi gagal ginjal. “Buah nona ini jarang ditanam. Rasanya memang tidak enak, mengandung kandungan bahan aktif bermanfaat. Kalau masyarakat sadar, justru bermanfaat untuk kebaikan,” kata staf pengajar Fakultas Saintek, Universitas Airlangga, ini kepada wartawan usai melaksanakan ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Biologi UGM, Sabtu (31/10).
Menurut Hamidah, mengonsumsi buah-buahan dari alam sangat bermanfaat, terutama untuk menangkal berbagai penyakit yang datang seiring dengan bertambahnya usia. “Kalau kita kembali ke alam, akan selamat. Karena usia tambah tua, perlu makanan yang sehat,” ujar lulusan doktor ke-1037 UGM ini.
Dalam kesimpulan disertasinya yang berjudul 'Biosistematika Annona Murricata L., Annona Squamosa, dan Annona Reticulata dengan Pendekatan Numerik', diketahui bahwa variasi karakter fenotip buah sirsak, srikaya, dan buah nona pada habitat yang berbeda tidak diikuti perubahan variasi karakter genotip dan kedudukan takson berdasar kandungan alkaloid dan flavonoid serta sidik jari DNA dengan teknik RAPD.
Prof. Dr. Santoso selaku promotor berpesan agar Hamidah dapat melanjutkan hasil penelitiannya. “Selesai doktor ini jangan berpuas diri karena ada tanggung jawab yang lebih besar untuk melanjutkan hasil penelitian ini,” pesannya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Teliti Pengaruh Situasi Psikologi Kelompok, Moordiningsih Raih Doktor
Situasi psikologis yang kondusif di lingkungan kelompok tidak selamanya dapat terjadi sesuai dengan yang diharapkan. Dalam situasi psikologis kelompok yang kondusif, anggota kelompok mempersepsikan lingkungan tugas dalam keadaan dinamis, tenang, nyaman, damai, saling percaya, penuh kehangatan, dan terjadi interaksi yang aktif dalam relasi sosial antaranggota kelompok, khususnya dalam pengambilan keputusan. Hasil penelitian yang mengkaji situasi kelompok dan kepemimpinan menunjukkan terdapat perbedaan kriteria seorang pemimpin kelompok yang efektif.
Perbedaan kriteria ini, menurut Moordiningsih, S.Psi., M.Si., dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, bergantung pada konteks budaya masyarakat tersebut, yakni budaya kolektivis atau individualistik. Pada budaya kolektivis, pemimpin kelompok yang baik adalah individu yang dapat mendorong interaksi hubungan anggota kelompok yang positif. Ia juga dapat menciptakan situasi kelompok yang kooperatif dan kohesif. Sebaliknya, pada budaya individualistik, pemimpin yang baik adalah individu yang dapat memfokuskan pada pencapaian tujuan kelompok dan lebih menghargai prestasi anggota kelompok daripada memperhatikan dinamika kelompok.
“Situasi psikologis kelompok yang kooperatif, kohesif, dinamis, dan kondusif akan berpengaruh terhadap performansi kelompok, khususnya pada konteks budaya kolektivis,” kata Moordiningsih di Fakultas Psikologi UGM, Kamis (29/10). Pernyataan tersebut disampaikannya saat menempuh ujian terbuka Program Doktor Fakultas Psikologi UGM. Promovenda, perempuan kelahiran Sukoharjo, 15 Desember 1974, ini mempertahankan disertasi “Pengaruh Situasi Psikologis Kelompok terhadap Performa Pengambilan Keputusan”, dengan promotor Sugiyanto, Ph.D. dan ko-promotor Prof. Dr. Faturochman serta Prof. Th. Dicky Hastjarjo, Ph.D.
Dikatakannya bahwa situasi psikologi kelompok yang tidak kondusif dapat menjadi sumber permasalahan riil dan berpengaruh pada performansi kelompok. Sebagai contoh, realitas fenomena pada level makro berupa konflik yang sering terjadi di tingkat parlemen, yaitu DPR pada 2005 lalu saat membahas lanjutan tentang kenaikkan harga minyak (BBM).
“Sempat memunculkan konflik tajam antaranggota dewan di DPR. Anggota dewan bahkan lupa dengan jas dan dasinya. Mereka seakan kembali ke habitat semula, selain mencaci, mendorong, dan saling menuding. Mereka bahkan berteriak-teriak kepada lawan yang berseberangan dengan perkataan 'kalian kampungan',” ujar Moordiningsih.
Istri Ir. Nanung Nur Zula, M.T. ini berpandangan bahwa selain di bidang politik, situasi psikologis yang tidak kondusif juga sering mewarnai performansi keputusan kelompok hakim di bidang hukum dan penegakan keadilan di Indonesia. Hasil penelitian memperlihatkan salah satu faktor yang memengaruhi keputusan hakim adalah faktor eksternal, yakni tekanan sosial yang dialami hakim, seperti tekanan dari pejabat, suap, pemberian uang pelicin dan ancaman.
Demikian pula di bidang pendidikan, fenomena yang cukup memprihatinkan adalah terjadinya demonstrasi mahasiswa yang berujung pada tindakan agresif, berupa perusakan fasilitas belajar, tawur antarmahasiswa, dan penyerangan secara fisik. “Ini menunjukkan situasi psikologis atau atmosfer akademik yang kurang kondusif dalam menunjang performansi belajar mahasiswa di perguruan tinggi,” tambah ibu dua anak yang dalam ujian tersebut dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude.
Oleh karena itu, lanjutnya, kinerja lingkungan perguruan tinggi masih perlu mendapat perhatian, terlebih bila melihat data evaluasi Ditjen Dikti terhadap perguruan tinggi di Indonesia. Dari 2.684 perguruan tinggi di Indonesia, hanya terdapat 50 perguruan tinggi (50 promising Indonesian universities/1,86%) yang dinilai memiliki performansi baik dan kredibel dalam taraf nasional serta memiliki keinginan bekerja sama di tingkat internasional. (Humas UGM
Perbedaan kriteria ini, menurut Moordiningsih, S.Psi., M.Si., dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, bergantung pada konteks budaya masyarakat tersebut, yakni budaya kolektivis atau individualistik. Pada budaya kolektivis, pemimpin kelompok yang baik adalah individu yang dapat mendorong interaksi hubungan anggota kelompok yang positif. Ia juga dapat menciptakan situasi kelompok yang kooperatif dan kohesif. Sebaliknya, pada budaya individualistik, pemimpin yang baik adalah individu yang dapat memfokuskan pada pencapaian tujuan kelompok dan lebih menghargai prestasi anggota kelompok daripada memperhatikan dinamika kelompok.
“Situasi psikologis kelompok yang kooperatif, kohesif, dinamis, dan kondusif akan berpengaruh terhadap performansi kelompok, khususnya pada konteks budaya kolektivis,” kata Moordiningsih di Fakultas Psikologi UGM, Kamis (29/10). Pernyataan tersebut disampaikannya saat menempuh ujian terbuka Program Doktor Fakultas Psikologi UGM. Promovenda, perempuan kelahiran Sukoharjo, 15 Desember 1974, ini mempertahankan disertasi “Pengaruh Situasi Psikologis Kelompok terhadap Performa Pengambilan Keputusan”, dengan promotor Sugiyanto, Ph.D. dan ko-promotor Prof. Dr. Faturochman serta Prof. Th. Dicky Hastjarjo, Ph.D.
Dikatakannya bahwa situasi psikologi kelompok yang tidak kondusif dapat menjadi sumber permasalahan riil dan berpengaruh pada performansi kelompok. Sebagai contoh, realitas fenomena pada level makro berupa konflik yang sering terjadi di tingkat parlemen, yaitu DPR pada 2005 lalu saat membahas lanjutan tentang kenaikkan harga minyak (BBM).
“Sempat memunculkan konflik tajam antaranggota dewan di DPR. Anggota dewan bahkan lupa dengan jas dan dasinya. Mereka seakan kembali ke habitat semula, selain mencaci, mendorong, dan saling menuding. Mereka bahkan berteriak-teriak kepada lawan yang berseberangan dengan perkataan 'kalian kampungan',” ujar Moordiningsih.
Istri Ir. Nanung Nur Zula, M.T. ini berpandangan bahwa selain di bidang politik, situasi psikologis yang tidak kondusif juga sering mewarnai performansi keputusan kelompok hakim di bidang hukum dan penegakan keadilan di Indonesia. Hasil penelitian memperlihatkan salah satu faktor yang memengaruhi keputusan hakim adalah faktor eksternal, yakni tekanan sosial yang dialami hakim, seperti tekanan dari pejabat, suap, pemberian uang pelicin dan ancaman.
Demikian pula di bidang pendidikan, fenomena yang cukup memprihatinkan adalah terjadinya demonstrasi mahasiswa yang berujung pada tindakan agresif, berupa perusakan fasilitas belajar, tawur antarmahasiswa, dan penyerangan secara fisik. “Ini menunjukkan situasi psikologis atau atmosfer akademik yang kurang kondusif dalam menunjang performansi belajar mahasiswa di perguruan tinggi,” tambah ibu dua anak yang dalam ujian tersebut dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude.
Oleh karena itu, lanjutnya, kinerja lingkungan perguruan tinggi masih perlu mendapat perhatian, terlebih bila melihat data evaluasi Ditjen Dikti terhadap perguruan tinggi di Indonesia. Dari 2.684 perguruan tinggi di Indonesia, hanya terdapat 50 perguruan tinggi (50 promising Indonesian universities/1,86%) yang dinilai memiliki performansi baik dan kredibel dalam taraf nasional serta memiliki keinginan bekerja sama di tingkat internasional. (Humas UGM
UGM Menangkan Hibah IMHERE B2c
Yogya, KU
UGM memenangkan dana hibah Indonesia Managing Higher Education for Relevancy & Efficiency (IMHERE) komponen B2c dari Ditjen Dikti Depdiknas sebesar 30 miliar rupiah dan minimal 8% dari dana pendamping untuk memperkuat tiga pusat unggulan (Center of Excellence, CoE) yang telah ada. Kontrak telah ditandatangani oleh Direktur Eksekutif IMHERE UGM, Dr. Cahyono Agus, terhitung mulai tanggal 15 Oktober 2009, untuk jangka waktu tiga tahun.
Proposal hibah berjudul “Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan menuju Universitas Riset Berkelas Dunia” dimaksudkan untuk memperkuat pusat unggulan “Biodiversitas Anggrek Tropika” di Fakultas Biologi, “Obat Herbal” di Fakultas Farmasi, dan “Reduction Emission from Deforestation and Degradation (REDD)” di Fakultas Kehutanan, yang juga melibatkan KP4, LPPM, dan LPPT, serta dukungan dari direktorat terkait di UGM.
Agus Cahyono mengharapkan adanya dana hibah ini dapat berdampak lebih baik pada peningkatan kualitas unggulan institusi melalui kemampuan seluruh stakeholder pengampunya dalam penerapan pembelajaran dan pengabdian kepada masyarakat berbasis penelitian. “Peningkatan kualitas riset, manajemen, kerja sama, dan tanggung jawab sosial, berupa capaian outstanding yang jelas, tegas, dan terukur,” tuturnya, Jumat (30/10), di kampus UGM.
Dikatakan Agus, dengan pusat unggulan anggrek tropika diharapkan megadiversitas tropika dapat lebih bernilai dan dihargai serta bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan dunia secara langsung. Alasannya, pusat unggulan ini juga dijadikan sebagai media pendidikan, penelitian, pengabdian, dan pengembangan institusional.
Sementara itu, pusat unggulan REDD bisa menjadi kontributor utama dalam penanggulangan pemanasan global melalui pembangunan berkelanjutan berwawasan ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya dengan ciri khas Indonesia. Terakhir, pusat unggulan obat herbal diharapkan mampu menjadi pemberdaya utama dalam pemanfaatan sumber daya hayati tropika yang berlimpah sebagai obat alami berkhasiat, manjur, dan aman. (Humas UGM/Gusti Grehenson
UGM memenangkan dana hibah Indonesia Managing Higher Education for Relevancy & Efficiency (IMHERE) komponen B2c dari Ditjen Dikti Depdiknas sebesar 30 miliar rupiah dan minimal 8% dari dana pendamping untuk memperkuat tiga pusat unggulan (Center of Excellence, CoE) yang telah ada. Kontrak telah ditandatangani oleh Direktur Eksekutif IMHERE UGM, Dr. Cahyono Agus, terhitung mulai tanggal 15 Oktober 2009, untuk jangka waktu tiga tahun.
Proposal hibah berjudul “Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan menuju Universitas Riset Berkelas Dunia” dimaksudkan untuk memperkuat pusat unggulan “Biodiversitas Anggrek Tropika” di Fakultas Biologi, “Obat Herbal” di Fakultas Farmasi, dan “Reduction Emission from Deforestation and Degradation (REDD)” di Fakultas Kehutanan, yang juga melibatkan KP4, LPPM, dan LPPT, serta dukungan dari direktorat terkait di UGM.
Agus Cahyono mengharapkan adanya dana hibah ini dapat berdampak lebih baik pada peningkatan kualitas unggulan institusi melalui kemampuan seluruh stakeholder pengampunya dalam penerapan pembelajaran dan pengabdian kepada masyarakat berbasis penelitian. “Peningkatan kualitas riset, manajemen, kerja sama, dan tanggung jawab sosial, berupa capaian outstanding yang jelas, tegas, dan terukur,” tuturnya, Jumat (30/10), di kampus UGM.
Dikatakan Agus, dengan pusat unggulan anggrek tropika diharapkan megadiversitas tropika dapat lebih bernilai dan dihargai serta bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan dunia secara langsung. Alasannya, pusat unggulan ini juga dijadikan sebagai media pendidikan, penelitian, pengabdian, dan pengembangan institusional.
Sementara itu, pusat unggulan REDD bisa menjadi kontributor utama dalam penanggulangan pemanasan global melalui pembangunan berkelanjutan berwawasan ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya dengan ciri khas Indonesia. Terakhir, pusat unggulan obat herbal diharapkan mampu menjadi pemberdaya utama dalam pemanfaatan sumber daya hayati tropika yang berlimpah sebagai obat alami berkhasiat, manjur, dan aman. (Humas UGM/Gusti Grehenson
Danone Luncurkan Kompetisi Bisnis “Trust By Danone 2010”
ogya, KU
Danone kembali meluncurkan program kompetisi bisnis ”The Trust Challenge” yang ke-7 bagi mahasiswa di Indonesia. Kegiatan akan dimulai dengan roadshow di kampus UGM pada Selasa, 3 November 2009 pukul 13.00-15.30 bertempat di gedung Magister Manajemen.
Dalam siaran pers yang dikirim Jumat (30/10), HR Director Nutricia, Maezar Maolana, mengatakan ”The Trust Challenge” menawarkan kesempatan kepada para mahasiswa untuk merancang sebuah strategi bisnis bagi Danone. ”Kompetisi ini menjadi kesempatan yang baik untuk mahasiswa untuk mengenal budaya perusahaan dan manajemen Danone,” jelasnya.
Lebih lanjut ia menambahkan “The Trust Challenge” merupakan sebuah kompetisi untuk merekrut kandidat-kandidat terbaik yang ada di sembilan negara tempat Danone beroperasi. Kemudian, finalis dari negara-negara yang berpartisipasi tersebut akan berkompetisi di Paris pada 14-15 April 2010.
Selama enam tahun sejak kompetisi ini diadakan, lebih dari 300 mahasiswa dari berbagai negara telah bergabung dengan Danone, baik melalui program magang maupun kontrak permanen. Tahun lalu, Indonesia telah menorehkan prestasi yang membanggakan. ”Tim Kalingga dari Universitas Gadjah Mada meraih gelar sebagai juara dunia, mengalahkan wakil dari sepuluh negara lain yang ikut bertanding,” ujarnya.
Untuk memberikan lebih banyak kesempatan kepada para mahasiswa, menurut Maezar Maolana, selain enam universitas, UGM, ITB, UI, Unpad, IPB, dan Unair, pada 2010 rencananya Danone juga akan mengundang beberapa universitas lain, yaitu Undip, Universitas Udayana, USU, dan Unhas. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Danone kembali meluncurkan program kompetisi bisnis ”The Trust Challenge” yang ke-7 bagi mahasiswa di Indonesia. Kegiatan akan dimulai dengan roadshow di kampus UGM pada Selasa, 3 November 2009 pukul 13.00-15.30 bertempat di gedung Magister Manajemen.
Dalam siaran pers yang dikirim Jumat (30/10), HR Director Nutricia, Maezar Maolana, mengatakan ”The Trust Challenge” menawarkan kesempatan kepada para mahasiswa untuk merancang sebuah strategi bisnis bagi Danone. ”Kompetisi ini menjadi kesempatan yang baik untuk mahasiswa untuk mengenal budaya perusahaan dan manajemen Danone,” jelasnya.
Lebih lanjut ia menambahkan “The Trust Challenge” merupakan sebuah kompetisi untuk merekrut kandidat-kandidat terbaik yang ada di sembilan negara tempat Danone beroperasi. Kemudian, finalis dari negara-negara yang berpartisipasi tersebut akan berkompetisi di Paris pada 14-15 April 2010.
Selama enam tahun sejak kompetisi ini diadakan, lebih dari 300 mahasiswa dari berbagai negara telah bergabung dengan Danone, baik melalui program magang maupun kontrak permanen. Tahun lalu, Indonesia telah menorehkan prestasi yang membanggakan. ”Tim Kalingga dari Universitas Gadjah Mada meraih gelar sebagai juara dunia, mengalahkan wakil dari sepuluh negara lain yang ikut bertanding,” ujarnya.
Untuk memberikan lebih banyak kesempatan kepada para mahasiswa, menurut Maezar Maolana, selain enam universitas, UGM, ITB, UI, Unpad, IPB, dan Unair, pada 2010 rencananya Danone juga akan mengundang beberapa universitas lain, yaitu Undip, Universitas Udayana, USU, dan Unhas. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Asosiasi FKH Indonesia Desak Adanya Posisi Wakil Menteri Otoritas Veteriner
Yogya, KU
Asosiasi Fakultas Kedokteran Hewan Indonesia dari delapan perguruan tinggi mendesak pemerintah untuk mengangkat Wakil Menteri Pertanian RI dari kalangan profesi dokter hewan. Wakil menteri ini akan bertugas untuk mengurusi bidang otoritas veteriner berdasarkan UU No. 18 tahun 2009.
“Dimungkinkan ada pengambilan keputusan tertinggi di sektor teknis kesehatan hewan berdasarkan profesionalisme veteriner,” kata Dekan FKH UGM, Prof. Dr. drh. Bambang Sumiarto, S.U., M.Sc., dan Dekan FKH IPB, Dr. I Wayan T. Wibawan, M.S., D.V.M., mewakili delapan dekan FKH se-Indonesia, Kamis (29/10) sore. Turut mendampingi dalam kesempatan tersebut, Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI), Drh. Wiwiek Bagja, dan anggota Majelis Pendidikan Dokter Hewan, Prof Dr. drh. Agus Lelana, di Auditorium FKH UGM.
“Pemerintah memerlukan Wakil Menteri Pertanian dari veteriner agar pertanian dari produk peternakan dan kesehatan hewan bisa dikerjakan secara baik,” kata drh. Wiwiek Bagja. Menurutnya, untuk melindungi masyarakat dari ancaman kasus flu burung, flu babi, rabies, dan berbagai kasus lainnya, seharusnya ada sistem penataan struktur dan kewenangan. Sistem tersebut semestinya didukung dari tingkat kepemimpinan pusat hingga di daerah. “Apakah tidak waktunya fungsi veteriner ditingkatkan untuk menyelesaikan masalah ini?” ujarnya dengan nada bertanya.
Ia menyesalkan selama ini pemerintah tidak pernah melakukan penataan struktur dan kewenangan dalam pengaturan otoritas veteriner. Meski kini telah ada UU No. 18 tahun 2009 yang mengatur peternakan dan kesehatan hewan, dikhawatirkan aturan tersebut tidak serta merta diberlakukan oleh pemerintah.
Padahal, lanjut Wiwiek, Bab VII Pasal 68 menyebutkan penyelenggaraan kesehatan hewan di seluruh wilayah NKRI memerlukan otoritas veteriner. Dalam pelaksanaan otoritas veteriner tersebut, pemerintah menetapkan Siskeswanas (Sistem Kesehatan Hewan Nasional). “Menteri dapat melimpahkan kewenangannya kepada otoritas veteriner dalam ikut berperan serta mewujudkan kesehatan hewan nasional,” katanya.
Agus Lelana menegaskan dengan adanya UU kesehatan hewan yang baru telah membuka peluang dibukanya satu posisi wakil menteri dari kalangan veteriner. “Masalah kesehatan hewan sudah saatnya disejajarkan dengan kewenangan Menteri Kesehatan. Di Deptan belum ada, minimal sudah ada setingkat eselon satu,” tandasnya.
Bambang Sumiarto menambahkan penanganan kesehatan hewan saat ini baru setingkat direktur kesehatan hewan atau paling tidak sudah ada Direktorat Jenderal Kehewanan. “Dulu kita berhasil menangani penyakit mulut dan kuku (PMK) karena ada arahan dan kewenangan yang jelas. Apalagi di era Orde Baru, Presiden Soeharto senang dengan dunia hewan sehingga memiliki kepedulian lebih besar,” imbuhnya.
I Wayan T. Wibawan mengatakan belum adanya kewenangan jelas dalam pengelolaan pangan dari hewan menyebabkan Indonesia masih bergantung pada impor daging dan susu dari luar. Bahkan, sarana produksi peternakan sebagian besar juga masih impor. “Sebuah kehinaan dari bangsa yang bergantung pada masalah pangan, tidak pernah berpikir secara serius. Jangan sampai kita kehilangan patriotisme, apalagi tidak ada kebanggaan kita sebagai bangsa,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson
Asosiasi Fakultas Kedokteran Hewan Indonesia dari delapan perguruan tinggi mendesak pemerintah untuk mengangkat Wakil Menteri Pertanian RI dari kalangan profesi dokter hewan. Wakil menteri ini akan bertugas untuk mengurusi bidang otoritas veteriner berdasarkan UU No. 18 tahun 2009.
“Dimungkinkan ada pengambilan keputusan tertinggi di sektor teknis kesehatan hewan berdasarkan profesionalisme veteriner,” kata Dekan FKH UGM, Prof. Dr. drh. Bambang Sumiarto, S.U., M.Sc., dan Dekan FKH IPB, Dr. I Wayan T. Wibawan, M.S., D.V.M., mewakili delapan dekan FKH se-Indonesia, Kamis (29/10) sore. Turut mendampingi dalam kesempatan tersebut, Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI), Drh. Wiwiek Bagja, dan anggota Majelis Pendidikan Dokter Hewan, Prof Dr. drh. Agus Lelana, di Auditorium FKH UGM.
“Pemerintah memerlukan Wakil Menteri Pertanian dari veteriner agar pertanian dari produk peternakan dan kesehatan hewan bisa dikerjakan secara baik,” kata drh. Wiwiek Bagja. Menurutnya, untuk melindungi masyarakat dari ancaman kasus flu burung, flu babi, rabies, dan berbagai kasus lainnya, seharusnya ada sistem penataan struktur dan kewenangan. Sistem tersebut semestinya didukung dari tingkat kepemimpinan pusat hingga di daerah. “Apakah tidak waktunya fungsi veteriner ditingkatkan untuk menyelesaikan masalah ini?” ujarnya dengan nada bertanya.
Ia menyesalkan selama ini pemerintah tidak pernah melakukan penataan struktur dan kewenangan dalam pengaturan otoritas veteriner. Meski kini telah ada UU No. 18 tahun 2009 yang mengatur peternakan dan kesehatan hewan, dikhawatirkan aturan tersebut tidak serta merta diberlakukan oleh pemerintah.
Padahal, lanjut Wiwiek, Bab VII Pasal 68 menyebutkan penyelenggaraan kesehatan hewan di seluruh wilayah NKRI memerlukan otoritas veteriner. Dalam pelaksanaan otoritas veteriner tersebut, pemerintah menetapkan Siskeswanas (Sistem Kesehatan Hewan Nasional). “Menteri dapat melimpahkan kewenangannya kepada otoritas veteriner dalam ikut berperan serta mewujudkan kesehatan hewan nasional,” katanya.
Agus Lelana menegaskan dengan adanya UU kesehatan hewan yang baru telah membuka peluang dibukanya satu posisi wakil menteri dari kalangan veteriner. “Masalah kesehatan hewan sudah saatnya disejajarkan dengan kewenangan Menteri Kesehatan. Di Deptan belum ada, minimal sudah ada setingkat eselon satu,” tandasnya.
Bambang Sumiarto menambahkan penanganan kesehatan hewan saat ini baru setingkat direktur kesehatan hewan atau paling tidak sudah ada Direktorat Jenderal Kehewanan. “Dulu kita berhasil menangani penyakit mulut dan kuku (PMK) karena ada arahan dan kewenangan yang jelas. Apalagi di era Orde Baru, Presiden Soeharto senang dengan dunia hewan sehingga memiliki kepedulian lebih besar,” imbuhnya.
I Wayan T. Wibawan mengatakan belum adanya kewenangan jelas dalam pengelolaan pangan dari hewan menyebabkan Indonesia masih bergantung pada impor daging dan susu dari luar. Bahkan, sarana produksi peternakan sebagian besar juga masih impor. “Sebuah kehinaan dari bangsa yang bergantung pada masalah pangan, tidak pernah berpikir secara serius. Jangan sampai kita kehilangan patriotisme, apalagi tidak ada kebanggaan kita sebagai bangsa,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson
Pengukuhan Prof. Wega: Zeolit untuk Mengatasi Pencemaran Lingkungan
Di dunia industri petroleum, peranan zeolit sebagai katalis sangatlah penting. Hampir semua proses upgrading, juga refinery, menggunakan zeolit sintesis sebagai katalis. Bisa dibayangkan, tanpa katalis suatu reaksi dapat berlangsung 1.000.000 kali lebih lambat dalam menghasilkan produk dibandingkan dengan menggunakan katalis. PT Pertamina dengan Blok Balongan saja membutuhkan katalis sebanyak 5.000 ton per tahun.
Demikian disampaikan Prof. Dra. Wega Trisunaryati, M.S., M.Eng., Ph.D., saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Kimia Fakultas MIPA UGM, Rabu (28/10). Dengan mengucap pidato “Zeolit Alam Indonesia: Sebagai Absorben dan Katalis dalam Mengatasi Masalah Lingkungan dan Krisis Energi”, Prof. Wega menyampaikan kebutuhan kalatalis selama ini disuplai dengan cara impor dari luar negeri, seperti China dan Jepang, dengan biaya 500 juta dolar USA per tahun. “Indonesia memiliki salah satu pabrik katalis besar di kawasan industri Kujang Cikampek, dengan kapasitas produksi 1.100 ton/tahun. Sayang, pabrik tersebut kini sudah tidak beroperasi lagi,” kata perempuan kelahiran Yogyakarta, 28 Oktober 1963 ini.
Dituturkan oleh istri Ir. T. Yoyok Wahyu Subroto, M.Eng., Ph.D. ini, para peneliti dari berbagai lembaga riset dan perguruan tinggi Indonesia sesungguhnya telah menghasilkan inovasi katalis yang bernilai ekonomi. Penemuan itu, antara lain, berupa pengembangan jenis katalis untuk hidrogenasi minyak sawit bagi industri oleokimia, pengembangan teknologi katalis untuk mengolah aspalten menjadi bahan bakar. Beberapa paten di bidang teknologi katalis telah pula dihasilkan dan sedang menunggu tahap komersialisasi.
Sementara itu, di bidang pelestarian lingkungan, zeolit telah banyak diteliti guna dimanfaatkan sebagai absorben logam-logam berat (Hg, V, Pb), zat warna (limbah textil), dan limbah beracun buangan dari berbagai macam industri. “Kenyataan ini sangat menggugah nurani saya untuk meneliti zeolit alam secara lebih mendalam dan memodifikasinya sehingga kualitas zeolit alam Indonesia dapat ditingkatkan, yang dapat dipergunakan sebagai material absorben yang mampu mengatasi pencemaran lingkungan dan material katalis dan mendukung katalis untuk proses-proses industri penghasil bahan bakar,” kata ibu dua anak ini di Balai Senat UGM. (Humas UGM)
Demikian disampaikan Prof. Dra. Wega Trisunaryati, M.S., M.Eng., Ph.D., saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Kimia Fakultas MIPA UGM, Rabu (28/10). Dengan mengucap pidato “Zeolit Alam Indonesia: Sebagai Absorben dan Katalis dalam Mengatasi Masalah Lingkungan dan Krisis Energi”, Prof. Wega menyampaikan kebutuhan kalatalis selama ini disuplai dengan cara impor dari luar negeri, seperti China dan Jepang, dengan biaya 500 juta dolar USA per tahun. “Indonesia memiliki salah satu pabrik katalis besar di kawasan industri Kujang Cikampek, dengan kapasitas produksi 1.100 ton/tahun. Sayang, pabrik tersebut kini sudah tidak beroperasi lagi,” kata perempuan kelahiran Yogyakarta, 28 Oktober 1963 ini.
Dituturkan oleh istri Ir. T. Yoyok Wahyu Subroto, M.Eng., Ph.D. ini, para peneliti dari berbagai lembaga riset dan perguruan tinggi Indonesia sesungguhnya telah menghasilkan inovasi katalis yang bernilai ekonomi. Penemuan itu, antara lain, berupa pengembangan jenis katalis untuk hidrogenasi minyak sawit bagi industri oleokimia, pengembangan teknologi katalis untuk mengolah aspalten menjadi bahan bakar. Beberapa paten di bidang teknologi katalis telah pula dihasilkan dan sedang menunggu tahap komersialisasi.
Sementara itu, di bidang pelestarian lingkungan, zeolit telah banyak diteliti guna dimanfaatkan sebagai absorben logam-logam berat (Hg, V, Pb), zat warna (limbah textil), dan limbah beracun buangan dari berbagai macam industri. “Kenyataan ini sangat menggugah nurani saya untuk meneliti zeolit alam secara lebih mendalam dan memodifikasinya sehingga kualitas zeolit alam Indonesia dapat ditingkatkan, yang dapat dipergunakan sebagai material absorben yang mampu mengatasi pencemaran lingkungan dan material katalis dan mendukung katalis untuk proses-proses industri penghasil bahan bakar,” kata ibu dua anak ini di Balai Senat UGM. (Humas UGM)
FK UGM Lantik 16 Dokter Asal Malaysia
Yogya, KU
Fakultas Kedokteran (FK) UGM melantik 16 dokter asing yang seluruhnya berasal dari Malaysia. Menurut penuturan Dekan FK UGM, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D., para dokter tersebut merupakan peserta program internasional yang berdiri sejak 2002 lalu, di samping program reguler yang telah ada sebelumnya. Hingga kini, baru lima perguruan tinggi, yakni UGM, Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Airlangga yang membuka program internasional di fakultas kedokterannya.
Menurut Ghufron, selain mahasiswa asal Malaysia, program internasional di UGM juga diikuti oleh beberapa mahasiswa negara lain, seperti Vietnam, Myanmar, dan Jerman. Saat ini, mahasiswa lokal pun mulai diberikan porsi yang lebih besar di program tersebut. “Kalau dulu, di program internasional memang hanya khusus mahasiswa asing. Saat ini, mahasiswa Indonesia sudah mulai diberi porsi yang lumayan banyak,” katanya kepada wartawan usai acara pelantikan dokter di Auditorium FK UGM, Kamis (29/10).
Lebih lanjut Ghufron mengatakan program internasional bagi dokter asing ini sekaligus sebagai upaya untuk meraih World Class Research University (WCRU) yang telah digalakkan oleh UGM. Dari sisi pembelajaran, kelas/program internasional sama dengan program reguler, tetapi pengantar dan bahasa kuliah menggunakan bahasa Inggris. Untuk biaya rata-rata yang dikenakan dapat mencapai 12 ribu US dolar per mahasiswa per semester, sementara untuk mahasiswa lokal dikenakan biaya setengahnya. “Peminat program internasional ini lumayan, per tahun bisa mencapai 300-400 calon mahasiswa,” imbuhnya.
Lulusan terbaik dalam pelantikan dokter kali ini diraih oleh Noor Sheereen binti Adzaludin, 26 tahun, dengan IPK 3,56, yang ditempuh dalam waktu 5 tahun 3 bulan. Sekembalinya ke Malaysia, perempuan kelahiran Johor, 8 Agustus 1983 ini berencana melamar kerja praktik di rumah sakit. “Daftar dari (ijazah) dokter bisa langsung diterima di sana,” kata Noor yang asli Melayu ini.
Ia menceritakan selama kuliah di Jogjakarta, dirinya indekos dengan rekan sesama warga Malaysia di wilayah Jalan Kaliurang. Untuk urusan berinteraksi dengan masyarakat sekitar, ia mengaku tidak menemui banyak kesulitan. Hal itu dipermudah dengan kondisi budaya masyarakat Jogja yang terkenal cukup ramah dan santun terhadap pendatang. Hanya saja, ia tidak terbiasa dengan masakan pedas yang sering ditemui di warung-warung makan di Jogja. “Lingkungan di sini cukup baik. Meski jauh dari keluarga, tapi seolah merasa satu keluarga,” kata Noor yang menempuh studi lewat program beasiswa Jabatan Perhikmatan Awam (JPA) dari Pemerintah Malaysia bersama dengan 3 orang temannya.
Alumni SMA Sultan Ibrahim Girl School, Johor, Malaysia, ini menilai sistem pendidikan dokter di Indonesia dan Malaysia tidak jauh berbeda. Namun, dalam hal penanganan praktik kepada pasein, Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan dengan Malaysia. “Di sini, praktik dengan pasien di rumah sakit jauh lebih banyak,” ujar Noor yang berminat menjadi dokter spesialis bedah kulit. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Fakultas Kedokteran (FK) UGM melantik 16 dokter asing yang seluruhnya berasal dari Malaysia. Menurut penuturan Dekan FK UGM, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D., para dokter tersebut merupakan peserta program internasional yang berdiri sejak 2002 lalu, di samping program reguler yang telah ada sebelumnya. Hingga kini, baru lima perguruan tinggi, yakni UGM, Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Airlangga yang membuka program internasional di fakultas kedokterannya.
Menurut Ghufron, selain mahasiswa asal Malaysia, program internasional di UGM juga diikuti oleh beberapa mahasiswa negara lain, seperti Vietnam, Myanmar, dan Jerman. Saat ini, mahasiswa lokal pun mulai diberikan porsi yang lebih besar di program tersebut. “Kalau dulu, di program internasional memang hanya khusus mahasiswa asing. Saat ini, mahasiswa Indonesia sudah mulai diberi porsi yang lumayan banyak,” katanya kepada wartawan usai acara pelantikan dokter di Auditorium FK UGM, Kamis (29/10).
Lebih lanjut Ghufron mengatakan program internasional bagi dokter asing ini sekaligus sebagai upaya untuk meraih World Class Research University (WCRU) yang telah digalakkan oleh UGM. Dari sisi pembelajaran, kelas/program internasional sama dengan program reguler, tetapi pengantar dan bahasa kuliah menggunakan bahasa Inggris. Untuk biaya rata-rata yang dikenakan dapat mencapai 12 ribu US dolar per mahasiswa per semester, sementara untuk mahasiswa lokal dikenakan biaya setengahnya. “Peminat program internasional ini lumayan, per tahun bisa mencapai 300-400 calon mahasiswa,” imbuhnya.
Lulusan terbaik dalam pelantikan dokter kali ini diraih oleh Noor Sheereen binti Adzaludin, 26 tahun, dengan IPK 3,56, yang ditempuh dalam waktu 5 tahun 3 bulan. Sekembalinya ke Malaysia, perempuan kelahiran Johor, 8 Agustus 1983 ini berencana melamar kerja praktik di rumah sakit. “Daftar dari (ijazah) dokter bisa langsung diterima di sana,” kata Noor yang asli Melayu ini.
Ia menceritakan selama kuliah di Jogjakarta, dirinya indekos dengan rekan sesama warga Malaysia di wilayah Jalan Kaliurang. Untuk urusan berinteraksi dengan masyarakat sekitar, ia mengaku tidak menemui banyak kesulitan. Hal itu dipermudah dengan kondisi budaya masyarakat Jogja yang terkenal cukup ramah dan santun terhadap pendatang. Hanya saja, ia tidak terbiasa dengan masakan pedas yang sering ditemui di warung-warung makan di Jogja. “Lingkungan di sini cukup baik. Meski jauh dari keluarga, tapi seolah merasa satu keluarga,” kata Noor yang menempuh studi lewat program beasiswa Jabatan Perhikmatan Awam (JPA) dari Pemerintah Malaysia bersama dengan 3 orang temannya.
Alumni SMA Sultan Ibrahim Girl School, Johor, Malaysia, ini menilai sistem pendidikan dokter di Indonesia dan Malaysia tidak jauh berbeda. Namun, dalam hal penanganan praktik kepada pasein, Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan dengan Malaysia. “Di sini, praktik dengan pasien di rumah sakit jauh lebih banyak,” ujar Noor yang berminat menjadi dokter spesialis bedah kulit. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Indonesia Masih Kekurangan 9.000 Tenaga Dokter Hewan
Yogya, KU
Indonesia masih membutuhkan 9.000 tenaga dokter hewan dari 20 ribu yang dibutuhkan hingga tahun 2020. Sampai saat ini, baru ada sekitar 11 ribu dokter hewan yang tersebar di seluruh daerah. “Kita masih kekurangan 9.000 dokter hewan, sementara tiap tahunnya tidak sampai 1.000 dokter hewan yang diluluskan,” kata Dekan Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM, Prof. Dr. drh. Bambang Sumiarto, S.U., M.Sc., yang ditemui di sela-sela acara Lokakarya Nasional Standardisasi Rumah Sakit Hewan, Rabu (28/10), di Auditorium FKH UGM.
Bambang Sumiarto menambahkan rasio jumlah dokter hewan yang ada dengan yang dibutuhkan masih sangat minim. Banyak pos-pos yang seharusnya diisi oleh lulusan dokter hewan justru dipegang oleh yang bukan ahlinya. Sebagai dampaknya, upaya pemberantasan penyakit menular tidak berjalan serentak dan efektif. “Efeknya dirasakan sekarang. Di daerah kabupaten yang seharusnya diperiksa dokter hewan tidak diperiksa oleh dokter hewan sehingga pemberantasan penyakit menular masih kurang,” imbuhnya.
Dikatakan Bambang Sumiarto, baru ada lima FKH yang tiap tahunnya meluluskan dokter hewan. Selain UGM, ada IPB, Universitas Syiah Kuala, Aceh, Universitas Airlangga, Surabaya, dan Universitas Udayana, Bali. Sementara tiga FKH lainnya, Universitas Brawijaya, Malang, Universitas Mataram, NTB, dan Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya, belum meluluskan. “Baru lima fakultas yang meluluskan. Dalam setahun tidak sampai seribu orang,” katanya.
Bambang Sumiarto juga menjelaskan tiga fungsi dan tugas utama lulusan dokter hewan, yakni melaksanakan pemberantasan penyakit menular, mengembangkan peternakan, dan mengembangkan kesehatan masyarakat veteriner.
Dalam lokakarya dan rapat majelis pendidikan profesi dokter hewan yang berlangsung selama dua hari, 28-30 Oktober, ini dibahas tentang standardisasi rumah sakit hewan (RSH) pendidikan. Bambang mengharapkan standardisasi RSH dapat membantu pendidikan koasistensi mahasiswa kedokteran hewan. Hingga kini, baru terdapat tiga RSH pendidikan, yakni di UGM, IPB, dan Universitas Airlangga. “Selain mendidik mahasiswa koasistensi jadi dokter hewan berkualitas, RSH pendidikan ini sebagai rumah sakit rujukan dari praktik klinik dokter hewan,” tambahnya.
Dalam kesempatan tersebut, Guru Besar FKH IPB, Prof. Dr. drh. Dondin Sajuti, M.Sc., mengatakan kerja sama yang baik dan selaras antara FKH dan RSH pendidikan akan terus ditingkatkan sesuai dengan peran RSH sebagai unit penunjang akademik. “Tugas dan fungsi RSH IPB lebih menunjang program pendidikan profesi dokter hewan, selain memberi pelayanan kepada hewan selaku pasien, masyarakat pemilik hewan, dan lingkungan,” ujarnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Indonesia masih membutuhkan 9.000 tenaga dokter hewan dari 20 ribu yang dibutuhkan hingga tahun 2020. Sampai saat ini, baru ada sekitar 11 ribu dokter hewan yang tersebar di seluruh daerah. “Kita masih kekurangan 9.000 dokter hewan, sementara tiap tahunnya tidak sampai 1.000 dokter hewan yang diluluskan,” kata Dekan Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM, Prof. Dr. drh. Bambang Sumiarto, S.U., M.Sc., yang ditemui di sela-sela acara Lokakarya Nasional Standardisasi Rumah Sakit Hewan, Rabu (28/10), di Auditorium FKH UGM.
Bambang Sumiarto menambahkan rasio jumlah dokter hewan yang ada dengan yang dibutuhkan masih sangat minim. Banyak pos-pos yang seharusnya diisi oleh lulusan dokter hewan justru dipegang oleh yang bukan ahlinya. Sebagai dampaknya, upaya pemberantasan penyakit menular tidak berjalan serentak dan efektif. “Efeknya dirasakan sekarang. Di daerah kabupaten yang seharusnya diperiksa dokter hewan tidak diperiksa oleh dokter hewan sehingga pemberantasan penyakit menular masih kurang,” imbuhnya.
Dikatakan Bambang Sumiarto, baru ada lima FKH yang tiap tahunnya meluluskan dokter hewan. Selain UGM, ada IPB, Universitas Syiah Kuala, Aceh, Universitas Airlangga, Surabaya, dan Universitas Udayana, Bali. Sementara tiga FKH lainnya, Universitas Brawijaya, Malang, Universitas Mataram, NTB, dan Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya, belum meluluskan. “Baru lima fakultas yang meluluskan. Dalam setahun tidak sampai seribu orang,” katanya.
Bambang Sumiarto juga menjelaskan tiga fungsi dan tugas utama lulusan dokter hewan, yakni melaksanakan pemberantasan penyakit menular, mengembangkan peternakan, dan mengembangkan kesehatan masyarakat veteriner.
Dalam lokakarya dan rapat majelis pendidikan profesi dokter hewan yang berlangsung selama dua hari, 28-30 Oktober, ini dibahas tentang standardisasi rumah sakit hewan (RSH) pendidikan. Bambang mengharapkan standardisasi RSH dapat membantu pendidikan koasistensi mahasiswa kedokteran hewan. Hingga kini, baru terdapat tiga RSH pendidikan, yakni di UGM, IPB, dan Universitas Airlangga. “Selain mendidik mahasiswa koasistensi jadi dokter hewan berkualitas, RSH pendidikan ini sebagai rumah sakit rujukan dari praktik klinik dokter hewan,” tambahnya.
Dalam kesempatan tersebut, Guru Besar FKH IPB, Prof. Dr. drh. Dondin Sajuti, M.Sc., mengatakan kerja sama yang baik dan selaras antara FKH dan RSH pendidikan akan terus ditingkatkan sesuai dengan peran RSH sebagai unit penunjang akademik. “Tugas dan fungsi RSH IPB lebih menunjang program pendidikan profesi dokter hewan, selain memberi pelayanan kepada hewan selaku pasien, masyarakat pemilik hewan, dan lingkungan,” ujarnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Subscribe to:
Posts (Atom)