Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir yang diusulkan BATAN
yang sarat dengan muatan kepentingan proyek dan berakibat pada resiko
dampak sosial yang merugikan rakyat harus dihentikan. Pembangunan
tersebut dinilai tidak menguntungkan bagi Indonesia.
"Sebaiknya dana yang tidak sedikit tersebut bisa dipergunakan untuk
membangun pembangkit energi terbarukan di daerah terpencil", ujar Iwan
Kurniawan, Ph.D, Ahli Fisika Nuklir Eksperimen Universitas Indonesia
pada Seminar Dampak Sosial Teknologi Nuklir, Mendorong Keterbukaan
Informasi Publik Terhadap Rencana Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga
Nuklir, di Perpustakaan UGM, Kamis sore (25/6).
Menurut Iwan Kurniawan, pembangunan PLTN sangat mahal, berbahaya dan
kotor. Hasil studi kelayakan PLTU Bangka yang dibiayai APBN menunjukkan,
biaya pembangunan listrik PLTN sebesar 12 sen USD/kWh, dua kali biaya
listrik PLTU Batubara 6 sen USD/kWh. Sementara biaya pembangunan PLTN
Bangka diatas 6300 USD/kWh, yaitu sebesar 4 hingga 5 kali biaya
pembangunan PLTU Batubara yang memakan biaya 1200 - 1500 USD/kWh.
"Nampaknya BATAN menyembunyikan laporan studi kelayakan PLTN Bangka,
karena biaya listrik dan pembangunan PLTN sangat mahal", ungkapnya.
Melihat kondisi yang ada, Iwan Kurniawan berharap Indonesia mestinya
bisa bersabar dalam keinginan membangun PLTN. Baginya, Indonesia bisa
mewujudkan keinginan itu ketika sudah lahir generasi PLTN yang
benar-benar aman.
"Biarkan saja sekarang negara-negara maju bereksperimen. Kita
menunggu sampai benar-benar lahir generasi baru PLTN yang
sungguh-sungguh aman", harapnya.
Sementara itu, Prof. Dr. Rinaldy Dalimi mengatakan satu-satunya
negara yang menempatkan energi nuklir sebagai energi baru hanyalah
Indonesia, padahal nuklir bukan energi baru lagi. Ketika nuklir
ditempatkan sebagai energi baru yang dalam istilah di Indonesia
merupakan Energi Baru Terbarukan (EBT), maka pemerintah mengalami
kesulitan membuat kebijakan EBT yang harus disubsidi.
"Tidak akan mungkin menyubsidi energi yang sangat berbahaya", ujar Rinaldu, Anggota Dewa Energi Nasional (DEN).
Karena itu, istilah nuklir sebagai energi baru harus direvisi agar
mudah dalam membuat kebijakan. Iapun menilai Indonesia belum saatnya
membangun PLTN, masih banyak potensi lain yang bisa dibangun diluar
PLTN.
Seminar yang digagas Masyarakat Reksa Bumi (Marem) dan Sosiology
Research Centre (Sorec) UGM ditutup dengan berbuka puasa bersama. Tampak
Hadir pembicara lain, Prof. Dr. Heru Nugroho dan Ahli Turbin 'Marem'
Lilo Sunaryo, Ph.D dan dipandu Sosiolog UGM, Arie Sujito, S.Sos., M.Si.
(Humas UGM/ Agung)
No comments:
Post a Comment