YOGYAKARTA –Suku Bajo di Pulau Kabalutan Sulawesi Tengah memiliki
kearifan sosial budaya dan pengetahuan lokal dalam pembentukan
permukiman di pesisir laut. Sebanyak 72 persen rumah penduduk tinggal di
pinggir laut dan membangun rumahnya persis menghadap laut. Pola
pemukiman pun tidak dibuat linear namun melengkung mengikuti topografi
bukit karang untuk melindungi rumah meraka dari ancaman badai dan
gelombang tsunami. “Meski ada ancaman badai dan tsunami, perkembangan
pemukiman mereka cenderung berkembang ke arah laut daripada menuju ke
daratan,” kata mahasiwa program pascasarjana Fakultas Teknik UGM, Ahda
Mulyati dalam ujian terbuka promosi doktor di ruang KPTU Fakultas Teknik
UGM, Kamis (12/3).
Dosen Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Tadulako, Palu,
Sulawesi Tengah ini mengatakan arsitektur permukiman suku Bajo ini
didasari falsafah sama di lao’disimbolkan oleh ruang lao’ atau laut sebagai pusat permukiman. “Konsep Sama di Lao’
memperkaya makna dan wawasan arsitektur permukiman khususnya permukiman
vernakular perairan yang dibangun atas pengetahuan lokal,” katanya.
Cara bermukim yang unik ini, kata Mulyati, berawal dari bido’ (perahu) nelayan suku Bajo yang menetap di suatu Labuan
atau tempat dimana mengandalkan laut sebagai sebagai sumber utama mata
pencaharian. Masyarakat lokal mempercayai arsitektur permukiman yang
mereka bangun memiliki tiga konsep utama yakni sama/same (identitas diri), malabu/madara (cara bermukim) dan pasidakanan (filosofi
hidup). “Ketiga konsep ini membentuk konsep teori lokal sebagai
pengikat dan mewarnai pemukiman secara sosial, spasial dan spiritual,”
katanya.
Dikatakan Mulyati, model permukiman di tepi laut ini memperlihatkan
identitas sosial suku Bajo Kabalutan yang tetap menjadikan laut sebagai
sumber inspirasi. Konsepsi ini masih dipelihara dan dipertahankan sampai
kini. Bagi penduduk Suku Bajo Kabalutan ini, laut dan mesjid selalu
menjadi bagian dari ruang permukiman sebagai ruang spirit, “Hal itu
tercermin dalam ruang spasial permukiman dan kehidupan sosialnya,”
terangnya.
Dikatakan Mulyati, pemerintah daerah setempat pernah membangun rumah
baru untuk pemukiman bagi penduduk suku bajo Kabalutan. Namun permukiman
yang dibangun jauh dari habitat mereka, laut, sehingga rumah-rumah
tersebut terbengkalai. “Pemerintah tidak mempertimbangkan kearifan lokal
suku Bajo yang bertahun-tahun hidup di pinggir laut,” tuturnya.
Meski demikian, imbuhnya, pengetahuan dan pendidikan Suku Bajo
mayoritas masih sangat rendah. Hal itu dapat dilihat dari hasil
tangkapan ikan yang melimpah tidak dijual dengan harga pasar melainkan
dengan tengkulak bahkan sering ditukar dengan barang. “Mereka terbiasa
menghabiskan hasil dari penjualan tangkapan ikan di hari itu juga,”
paparnya.
Mulyati merekomendasikan agar pemerintah untuk memperhatikan kearifan
lokal masyarakat setempat terutama dalam perencanaan pembangunan tata
ruang di sekitar daerah pesisir serta meningkatkan taraf pendidikan
masyarakat suku Bajo Kabalutan. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
No comments:
Post a Comment