Di abad 21, globalisasi, liberalisasi dan studi migrasi memberi
perhatian pada migrasi internasional. Hal tersebut menjadikan migrasi
internal, terutama migrasi desa - kota kurang mendapat perhatian
sehingga terdapat kekosongan informasi terkait migrasi kota - desa.
Demikian disampaikan pakar kependudukan UGM, Prof. Dr. Tadjuddin Noer
Effendi, M.A pada seminar "Pembangunan, Migrasi dan Kebijakan" di
Auditorium Gedung Masri Singarimbun, Kamis (2/4). Seminar dalam rangka
HUT ke-42 Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, ini hadir beberapa
pembicara diantaranya Prof. Chris Manning, Ph.D (ANU, Adjunct), Prof.
Ir. Tommy Firman, M.Sc., Ph.D (ITB), Palmira Permata Bachtiar, M.Sc.,
M.A (SMERU) dan Dr. Sukamdi, M.Sc (PSKK UGM).
Tadjuddin mengatakan ditengah kecenderungan meningatnya angka migrasi
internasional, isu migrasi desa - kota dinilai masih cukup penting guna
memicu dan mendorong pertumbuhan penduduk kota. Oleh karena itu,
baginya, penting untuk kembali meneliti tren serta pola migrasi desa -
kota sebagai gejala sosial - ekonomi yang berdampak penting untuk
peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup.
"Salah satu dampaknya adalah peningkatan kualitas sumber daya
manusia. Selain itu, perlu diketahui bagaimana pola migrasi internal,
terutama desa - kota dan implikasinya bagi kesejahteraan migran di kota
di abad 21 ini," katanya.
Menyampaikan data temuan survei Rural-urban Migration in China and
Indonesia (RUMiCI) di empat kota di Indonesia, yaitu Tangerang,
Samarinda, Medan dan Makassar, Tadjuddin menyatakan selama lima tahun
terakhir peluang perempuan perdesaan untuk bermigrasi ke kota hampir
sama dengan peluang laki-laki. Di Tangerang, misalnya peluang perempuan
untuk bermigrasi dari desa ke kota mencapai 48 persen.
"Angka ini tidak terpaut jauh dengan peluang laki-laki bermigrasi ke kota, yaitu 52 persen", ungkapnya.
Sementara itu, jika dilihat dari karakteristik umurnya, risen migran
maka di semua kota berusia muda. Baik perempuan maupun laki-laki dominan
berada pada kelompok umur 20 sampai 29 tahun. Pada kelompok umur ini,
jumlah perempuan masih lebih banyak di bandingkan laki-laki.
"Risen migran menurut definisi BPS, adalah orang yang pada saat
sensus penduduk atau pencacahan tinggal di provinsi yang berbeda dengan
provinsi tempat tinggalnya saat lima tahun yang lalu. Dan risen migran
perempuan baik yang melanjutkan pendidikan seperti di Makassar maupun
yang bekerja di pabrik seperti di Tangerang adalah memang berusia muda",
imbuhnya.
Dari studi empat kota ini, menurut Tadjuddin, memperlihatkan
kesejahteraan para migran desa - kota mengalami perbaikan meskipun
perbaikan kesejahteraan tersebut belum seperti penduduk kota lainnya.
Seperti untuk tingkat pendidikan, risen migran perempuanjuga masih lebih
tinggi dibanding laki-laki, terkecuali di Samarinda.
"Para migran perempuan usia muda dari perdesaan dalam lima tahun
terakhir memang memiliki tingkat pendidikan yang relatif lebih baik.
Peluangnya untuk bermigrasi ke kota pun relatif sama dengan laki-laki,
dan mereka banyak bekerja di sektor manufaktur. Meski, tak sedikit pula
yang bekerja dengan upah rendah dan berstatus outsorching", katanya
lagi.
Prof. Tommy Firman, pakar perencanaan wilayah dan kota dari ITB
menyatakan migrasi desa - kota atau urbanisasi sering dikaitkan dengan
tingkat perkembangan ekonomi. Urbanisasi terjadi seiring dengan
pergeseran struktur ekonomi dari agraris ke sektor industri dan jasa.
"Selama periode 2000 hingga 2010, penduduk perkotaan tumbuh dari 85
juta menjadi 118 juta lebih. Tingkat urbanisasi, yaitu proporsi penduduk
perkotaan naik signifikan dari 41,9 persen menjadi 49,7 persen selama
sepuluh tahun," katanya.
Dalam kurun waktu sepuluh tahun itu, kata Tommy, jumlah daerah
perkotaan di Indonesia mengalami peningkatan. Derah perkotaan di Jawa
dinilai lebih meningkat signifikan dibanding dengan wilayah lain di luar
Jawa, yaitu dari 30,02 persen menjadi 36,66 persen. Sementara di luar
Jawa kota yang mengalami peningkatan tertinggi adalah Bali, dari 34,22
persen menjadi 36,92 persen disusul Sumatera Utara dan Kalimantan Timur.
Meski penduduk perkotaan berkembang pesat dengan berbagai tingkat
variasi, namun penduduk perkotaan sebagian besar masih terkonsentrasi di
kota-kota besar di Jawa terutama di Jakarta, Depok, Tangerang dan
Bekasi (Jabodetabek). "Oleh karena itu, dari pembangunan perkotaan dan
perspektif perencanaan mestinya diharapkan ada kebijakan perkotaan
nasional yang dilaksanakan secara konsisten guna merangsang pembangunan
kota-kota di pulau-pulau terluar Indonesia", tandas Tommy. (Humas UGM/
Agung)
No comments:
Post a Comment