Yogya, KU
Rektor UGM, Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D., mengkritisi masih minimnya aktor pemecah masalah (problem solver) di Indonesia. Sebaliknya, yang banyak terdapat adalah complainer. “Kita banyak melahirkan smart planning, tapi sangat minim pada excellent implementation,” kata Rektor saat membuka Workshop Focus Group Discussion Dewan Tani Indonesia “Go Pupuk Organik”, di Ruang Sidang I, Kantor Pusat UGM, Selasa (18/11).
Dituturkan Sudjarwadi, memikirkan sesuatu gagasan yang bagus untuk membantu membangun masyarakat adalah hal yang sangat baik. Namun, kebanyakan yang ada selama ini lebih pada sebatas ide daripada implementasi. “Kekeliruan masa lalu, telalu banyak complainer, tapi problem solver masih sedikit sekali,” jelasnya.
Minimnya tahap implementasi, menurut Sudjarwadi, sering dimanfaatkan oleh negara maju untuk memanfaatkan ide/gagasan dari Indonesia. “Mereka membelanjakan ide kita dan melaksanakan ide itu. Kita hanya dapat penghargaan, tapi tidak pada implementasinya,” imbuhnya.
Pendapat Sudjarwadi diamini oleh pakar ekonomi pertanian UGM, Prof. Dr. Ir. Moch. Maksum, M.Sc. Menurutnya, pemerintah lebih banyak memunculkan gagasan, tetapi tidak pernah dilaksanakan. Ia mencontohkan gagasan dari Menteri Pertanian di tahun 2001 bahwa pada 2010 Indonesia akan menjadi eksportir pupuk organik sehingga dikenal dengan nama ‘Go Organic’. “Tahun 2001, pemerintah berambisi Go Organic 2010. Ternyata itu hanya bualan belaka, hanya basa-basi politik. Ternyata hasilnya nol besar dan sekarang kita baru akan memulai,” ujarnya.
Ketua Dewan Tani Indonesia (DTI), Drs. Ferry Yuliantono, M.Si., mengatakan persoalan pengalihan pupuk kimia ke organik sangat sulit terealisasi meski direncanakan akan memberikan subsidi sebesar 6 triliun. “Masih perlu diperbaiki mengenai kualitas, kontrol, dan pembinaan kelompok tani dan usaha kecil terkait pengalihan pupuk kimia ke organik,” tambahnya. Pengembangan pupuk organik secara nasional, kata Ferry, perlu melibatkan kelompok tani karena dalam sepuluh tahun terakhir mereka telah mengembangkan produk pupuk organik.
Dalam kesempatan tersebut, pengamat ekonomi, Aviliani, mengatakan petani lebih banyak menjadi korban dari ketidakstabilan harga yang telah ditetapkan pemerintah. “Belakangan nilai pendapatan petani turun 100 persen karena tidak adanya kestabilan harga. Mereka menjadi korban . Lebih besar pengeluaran dari pendapatannya,” katanya.
Terkait dengan pengalihan pupuk, menurut Aviliani, petani belum terbiasa dengan pupuk organik, apalagi perusahan pupuk masih banyak memproduksi pupuk kimia. Kerja sama sinergis pemerintah, petani, dan swasta perlu dilakukan. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
No comments:
Post a Comment