Cacing tanah spesies Lumbricus rubellus merupakan jenis cacing
yang sangat potensial untuk dibudidayakan. Pasalnya jenis cacing ini
memiliki pertumbuhan lebih cepat dibanding dengan jenis cacing lainnya.
Tidak hanya itu, cacing tanah ini juga tergolong mudah pemeliharaan dan
perawatannya karena bisa berkembang di media limbah organik. Sehingga
tidak mengherankan jika banyak dimanfaatkan dalam dunia pertanian dan
peternakan, serta industri farmasi.
Dalam industri farmasi
cacing ini banyak digunakan sebagai bahan obat dan bahan kosmetik.
Bahkan permintaan akan cacing tanah terus meningkat untuk memenuhi
kebutuhan produksi dalam jumlah besar. Namun begitu, ketersediaan cacing
tanah jenis ini masih terbatas dengan harga relatif mahal karena belum
banyak yang melakukan budidaya.
Melihat kondisi tersebut, tiga
mahasiswa UGM dari Fakultas Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan
mencoba peluang usaha pengembangan ternak cacing tanah. Nur Ainu Sulton,
Muhammad Abiyyu U.A., Rahmad Syafrilianta adalah mahasiswa yang
mencoba membangun usaha budidaya cacing tanah untuk memenuhi kebutuhan
industri obat dan kosmetik. “Pengembangan ternak cacing tanah masih
sangat jarang dilakukan. Kebanyakan orang menganggap bahwa cacing tanah
merupakan binatang yang menjijikkan. Padahal cacing ini berpotensi dapat
dibudidayakan dan menjadi peluang usaha yang prospektif,” kata Nur
Ainu, Kamis (9/7) di Kampus UGM.
Nur Ainu mengungkapkan dari 1
ekor cacing dewasa mampu memproduksi 10-20 anakan setiap 10 hari.
Sehingga dalam 1 tahun bisa menghasilkan 1.000 anakan. “Dari pengalaman 1
kg cacing tanah dalam 3 bulan bisa berkembang menjadi sekitar 6 kg
cacing tanah,”jelasnya.
Menurutnya usaha budidaya cacing tanah
ini cukup prospektif karena dapat memberikan keuntungan yang besar.
Dalam satu periode pemanenan atau sekitar 3 bulan dengan 20 kg indukan
cacing tanah akan menghasilkan 120 kg cacing tanah. Sementara harga
perkilogram cacing ini mencapai Rp. 60 ribu. “Dalam waktu 3 bulan bisa
menghasilkan omset sekitar Rp. 7,2 juta,” ujarnya.
Ditambahkan
Abiyyu, dalam melakukan budidaya cacing tanah memanfaatkan limbah
organik yang berada di sekitar tempat tinggal mereka. Hal ini ditujukan
untuk mengurangi dampak negatif limbah media bekas cacing (kascing)
dengan memanfaatkanya sebagai pupuk kompos. “Limbah ini dapat diolah
menjadi pupuk kompos cacing (kascing). Biasanya pupuk ini dijual di
pasaran mencapai Rp. 2.000 per kilogramnya,” urainya.
Sementara
untuk pemasaran cacing tanah hasil budidaya, mereka saat ini tengah
membangun kerja sama dengan industri obat dan kosmetik secara langsung.
Selain itu juga menyasar dunia peternakan dengan mendatangi peternak
ikan, peternak unggas, kolam pemancingan dan toko pakan hewan. Disamping
itu juga memanfaatkan media jejaring sosial dan mengikuti pameran guna
melakukan promosi. “Rencananya kami akan mendirikan asosiasi peternak
cacing di berbagai daerah untuk memperkuat jaringan pasar dan menekan
kompetitor, sehingga usaha budidaya cacing ini akan terus berkembang,”
pungkasnya.(Humas UGM/Ika)
No comments:
Post a Comment