Pemasangan gigi tiruan merupakan metode untuk menggantikan gigi yang
hilang. Cara ini banyak dilakukan tidak hanya ditujukan untuk
menggantikan fungsi gigi yang telah hilang tetapi juga mempertahankan
penampilan. Penentuan warna gigi tiruan menjadi pertimbangan penting
saat pemilihan gigi tiruan disamping kualitas dan ukuran.
Biasanya untuk mencari warna gigi tiruan yang sesuai dengan warna
gigi aslinya, dokter gigi melakukan pemilihan warna secara manual dengan
tooth shade guide yang ada dipasaran. Pemilihan warna secara manual dilakukan dengan cara membandingkan warna antara tooth shade guide
dan gigi asli yang masih ada dirongga mulut. Metode pemilihan warna
gigi tiruan secara visual menggunakan tooth shade guide dengan 16 skala
warna gigi kurang efektif. Hal ini dikarenakan warna gigi tiruan yang
terpilih kurang akurat akibat subjektifitas yang tinggi. Tidak hanya
itu, pemilihan secara manual juga membutuhkan waktu lama dalam proses
penentuan warna gigi yang akan dipilih.
Kenyataan itu mendorong lima mahasiswa UGM mengembangkan sebuah
aplikasi yang membantu memudahkan dokter gigi dalam menentukan gigi
tiruan. Mereka adalah Alfira Harifi, Zahratul Iftikar, dan Yudhistira
Pradiptya mahasiswa Fakultas Kedokteran GIGI, serta Dwi Prasetya dan
Damar Adi Prabowo mahasiswa Ilmu Komputer FMIPA yang berhasil membuat
“Obutive” berupa aplikasi Tooth Shade Guide berbasis android untuk
menentukan warna gigi tiruan secara objektif.
Cara kerja aplikasi ini cukup mudah hanya dengan membuka aplikasi
obutive. Selanjutnya cukup dengan menekan tombol add maka kamera interface
akan terbuka dan siap untuk digunakan memfoto gigi pasien. Foto gigi
pasien kemudian di crop pada satu gigi sehingga akan muncul hasil skala
warna gigi. “Hasil skala warna ini bisa disimpan dengan menambahkan
identitas pasien. Hasil yang tersimpan bisa terintegrasi dengan server
kami dengan domain obutive.com,”jelas Alfira Selasa (14/7) di Kampus
UGM.
Lebih lanjut disampaikan Alfira, pembuatan aplikasi memakan waktu
hampir tiga bulan lamanya karena melalui banyak proses. Diantaranya
pengambilan gambar skala gigi untuk library aplikasi, membangun environment
aplikasi, serta pengkodingan. Selain itu mereka juga terkendala
pencahayaan saat pengembilan gambar untuk database. “Jarak nilai warna
gigi pada database terlalu sedikit sehingga terkadang sistem salah
menerjemahkan gambar yang kami ambil. Hal ini akan diatasi dengan SOP
yang akan kami buat,”urainya.
Ditambahkan Damar, kedepan mereka berupaya membuat Obtutive dapat diunduh di Play store lalu user bisa log in
di website mereka. Akun dari user digunakan untuk menyimpan data hasil
skala warna gigi dengan identitas pasien secara sederhana. “Kami
berharap aplikasi ini nanatinya dapat membantu lebih banyak dokter gigi
dalam menentukan warna gigi tiruan secara cepat dan akurat,”harapnya.
(Humas UGM/Ika)
Monday, July 20, 2015
Sunday, July 12, 2015
UGM Kembangkan Bisnis Budidaya Cacing Tanah
Cacing tanah spesies Lumbricus rubellus merupakan jenis cacing
yang sangat potensial untuk dibudidayakan. Pasalnya jenis cacing ini
memiliki pertumbuhan lebih cepat dibanding dengan jenis cacing lainnya.
Tidak hanya itu, cacing tanah ini juga tergolong mudah pemeliharaan dan
perawatannya karena bisa berkembang di media limbah organik. Sehingga
tidak mengherankan jika banyak dimanfaatkan dalam dunia pertanian dan
peternakan, serta industri farmasi.
Dalam industri farmasi cacing ini banyak digunakan sebagai bahan obat dan bahan kosmetik. Bahkan permintaan akan cacing tanah terus meningkat untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam jumlah besar. Namun begitu, ketersediaan cacing tanah jenis ini masih terbatas dengan harga relatif mahal karena belum banyak yang melakukan budidaya.
Melihat kondisi tersebut, tiga mahasiswa UGM dari Fakultas Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan mencoba peluang usaha pengembangan ternak cacing tanah. Nur Ainu Sulton, Muhammad Abiyyu U.A., Rahmad Syafrilianta adalah mahasiswa yang mencoba membangun usaha budidaya cacing tanah untuk memenuhi kebutuhan industri obat dan kosmetik. “Pengembangan ternak cacing tanah masih sangat jarang dilakukan. Kebanyakan orang menganggap bahwa cacing tanah merupakan binatang yang menjijikkan. Padahal cacing ini berpotensi dapat dibudidayakan dan menjadi peluang usaha yang prospektif,” kata Nur Ainu, Kamis (9/7) di Kampus UGM.
Nur Ainu mengungkapkan dari 1 ekor cacing dewasa mampu memproduksi 10-20 anakan setiap 10 hari. Sehingga dalam 1 tahun bisa menghasilkan 1.000 anakan. “Dari pengalaman 1 kg cacing tanah dalam 3 bulan bisa berkembang menjadi sekitar 6 kg cacing tanah,”jelasnya.
Menurutnya usaha budidaya cacing tanah ini cukup prospektif karena dapat memberikan keuntungan yang besar. Dalam satu periode pemanenan atau sekitar 3 bulan dengan 20 kg indukan cacing tanah akan menghasilkan 120 kg cacing tanah. Sementara harga perkilogram cacing ini mencapai Rp. 60 ribu. “Dalam waktu 3 bulan bisa menghasilkan omset sekitar Rp. 7,2 juta,” ujarnya.
Ditambahkan Abiyyu, dalam melakukan budidaya cacing tanah memanfaatkan limbah organik yang berada di sekitar tempat tinggal mereka. Hal ini ditujukan untuk mengurangi dampak negatif limbah media bekas cacing (kascing) dengan memanfaatkanya sebagai pupuk kompos. “Limbah ini dapat diolah menjadi pupuk kompos cacing (kascing). Biasanya pupuk ini dijual di pasaran mencapai Rp. 2.000 per kilogramnya,” urainya.
Sementara untuk pemasaran cacing tanah hasil budidaya, mereka saat ini tengah membangun kerja sama dengan industri obat dan kosmetik secara langsung. Selain itu juga menyasar dunia peternakan dengan mendatangi peternak ikan, peternak unggas, kolam pemancingan dan toko pakan hewan. Disamping itu juga memanfaatkan media jejaring sosial dan mengikuti pameran guna melakukan promosi. “Rencananya kami akan mendirikan asosiasi peternak cacing di berbagai daerah untuk memperkuat jaringan pasar dan menekan kompetitor, sehingga usaha budidaya cacing ini akan terus berkembang,” pungkasnya.(Humas UGM/Ika)
Dalam industri farmasi cacing ini banyak digunakan sebagai bahan obat dan bahan kosmetik. Bahkan permintaan akan cacing tanah terus meningkat untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam jumlah besar. Namun begitu, ketersediaan cacing tanah jenis ini masih terbatas dengan harga relatif mahal karena belum banyak yang melakukan budidaya.
Melihat kondisi tersebut, tiga mahasiswa UGM dari Fakultas Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan mencoba peluang usaha pengembangan ternak cacing tanah. Nur Ainu Sulton, Muhammad Abiyyu U.A., Rahmad Syafrilianta adalah mahasiswa yang mencoba membangun usaha budidaya cacing tanah untuk memenuhi kebutuhan industri obat dan kosmetik. “Pengembangan ternak cacing tanah masih sangat jarang dilakukan. Kebanyakan orang menganggap bahwa cacing tanah merupakan binatang yang menjijikkan. Padahal cacing ini berpotensi dapat dibudidayakan dan menjadi peluang usaha yang prospektif,” kata Nur Ainu, Kamis (9/7) di Kampus UGM.
Nur Ainu mengungkapkan dari 1 ekor cacing dewasa mampu memproduksi 10-20 anakan setiap 10 hari. Sehingga dalam 1 tahun bisa menghasilkan 1.000 anakan. “Dari pengalaman 1 kg cacing tanah dalam 3 bulan bisa berkembang menjadi sekitar 6 kg cacing tanah,”jelasnya.
Menurutnya usaha budidaya cacing tanah ini cukup prospektif karena dapat memberikan keuntungan yang besar. Dalam satu periode pemanenan atau sekitar 3 bulan dengan 20 kg indukan cacing tanah akan menghasilkan 120 kg cacing tanah. Sementara harga perkilogram cacing ini mencapai Rp. 60 ribu. “Dalam waktu 3 bulan bisa menghasilkan omset sekitar Rp. 7,2 juta,” ujarnya.
Ditambahkan Abiyyu, dalam melakukan budidaya cacing tanah memanfaatkan limbah organik yang berada di sekitar tempat tinggal mereka. Hal ini ditujukan untuk mengurangi dampak negatif limbah media bekas cacing (kascing) dengan memanfaatkanya sebagai pupuk kompos. “Limbah ini dapat diolah menjadi pupuk kompos cacing (kascing). Biasanya pupuk ini dijual di pasaran mencapai Rp. 2.000 per kilogramnya,” urainya.
Sementara untuk pemasaran cacing tanah hasil budidaya, mereka saat ini tengah membangun kerja sama dengan industri obat dan kosmetik secara langsung. Selain itu juga menyasar dunia peternakan dengan mendatangi peternak ikan, peternak unggas, kolam pemancingan dan toko pakan hewan. Disamping itu juga memanfaatkan media jejaring sosial dan mengikuti pameran guna melakukan promosi. “Rencananya kami akan mendirikan asosiasi peternak cacing di berbagai daerah untuk memperkuat jaringan pasar dan menekan kompetitor, sehingga usaha budidaya cacing ini akan terus berkembang,” pungkasnya.(Humas UGM/Ika)
Thursday, July 9, 2015
Sarang Walet Berkhasiat Sembuhkan Luka Rongga Mulut
Pasien diabetes melitus (DM) berisiko tinggi mengalami kerusakan gusi
dan luka di rongga mulut. Tingginya kadar gula memicu faktor infeksi
luka gusi dan juga menurunnya sistem imun. Tidak hanya itu, proses
penyembuhan luka pada gusi pun menjadi lama.
Selain itu, gusi yang terinfeksi terlalu lama bisa mengakibatkan gangguan pada tulang penyangga gigi. Gigi menjadi tidak kuat untuk mengunyah makanan dan rentan untuk lepas sehingga pasien menjadi ompong.
Melihat kenyataan tersebut mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) dan Fakultas Farmasi UGM tergerak untuk melakukan penelitian untuk menemukan solusi bagi penderita diabetes yang acapkali mengalami luka pada bagian gusi. Mereka adalah Eufrasia Claudia, Lauda Pascha, Effendi Halim, dan Adityakrisna Yoshi dari FKG dan Dunstania Maria dari Fakultas Farmasi dibawah bimbingan drg. Juni Handajani, melakukan eksperimen menggunakan sarang walet untuk mempercepat penyembuhan luka gusi penderita diabetes.
Dunstania menyebutkan sarang walet yang digunakan merupakan air liur dari burung Aerodramus fuciphagus yang telah mengeras. Pemilihan bahan ini sebagai solusi obat karena berbagai khasiat yang dimilikinya. Dalam sarang walet mengandung sejumlah senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan khususnya bisamempercepat masa penyembuhan luka gusi. “Sarang walet mengandung asam sialat yang hanya diproduksi dari air liur, kalsium, glikoprotein dan Epidermal Growth Factor (EGF). Kandungan-kandungan inilah yang mampu untuk mempercepat penyembuhan luka di gusi,” urainya, Rabu (8/7) di Kampus UGM.
Komponen EGF pada sarang walet ini, kata dia, jumlahnya cukup banyak dan mampu menutup luka serta garis luka pada daerah yang rusak. Disamping hal itu, EGF juga membantu pembentukan sel-sel baru dan mempengaruhi sel disekitarnya untuk regenerasi sehingga proses penutupan sel yang rusak dapat cepat terobati. “Gel sarang walet yang kami namai swiftlet gel ini didapatkan dengan cara mengekstraksi sarang walet dengan air dan ditambah zat pengental. Untuk menjamin mutu dari gel sarang walet dilakukan sterilisasi dengan sinar UV,” terangnya.
Guna mengetahui khasiat sarang walet, Dunstania dan keempat rekannya melakukan uji coba pada hewan uji yakni tikus galur Sprague dawley sebanyak 24 ekor yang dibagi menjadi dua kelompok. Sebelum dilakukan pengujian, sebelumnya seluruh tikus diinduksi zat Streptozotocin (STZ). Zat ini mampu untuk menaikan kadar gula darah mamalia seperti tikus. Setelah pemberian zat tersebut terjadi peningkatan kadar gula darah tikus yang normalnya kurang dari 110 mg/dL meningkat mencapai 300-500 mg/dL. “Peningkatan kadar gula darah tikus ini diindikasikan bahwa tikus telah mengalami penyakit diabetes melitus,” ujarnya.
Selanjutnya tikus yang telah terkena DM diberi perlukaan di bagian rongga mulut. Setelah tikus mengalami luka di rongga mulutnya, kelompok tikus perlakuan diberi obat menggunakan gel sarang walet sementara kelompok kontrol positif diberi gel yang mengandung Aloe vera selama 14 hari. Dari hasil pengamatan pada hari ke-3,7,10 dan 14 menunjukkan bahwa pada kelompok tikus perlakuan dengan gel sarang walet, lukanya telah menutup sempurna.
“Dari pengamatan mikroskop, sel epitel disekitar luka sudah halus, serabut kolagen yang terbentuk sudah banyak dan mulai memadat sehingga bisa mendukung jaringan di atasnya. Jumlah sel pembuluh darah yang terbentuk pun lebih banyak dibandingkan dengan kelompok tikus yang diaplikasikan gel aloclair,” imbuh Effendy Halim.
Effendy mengatakan dari hasil tersebut memperlihatkan sel telah mengalami penyembuhan. Sel-sel rusak mulai tergantikan dengan sel baru yang menandakan bahwa luka telah sembuh. Penggunaan gel sarang walet ini mampu memberikan efek sembuh 3 hari lebih cepat dibandingkan dengan pengobatan kontrol positif. “Gel sarang walet ini memiliki potensi yang besar bagi pasien DM yang sering mengalami kesulitan penyembuhan luka rongga mulut. Jadi, gel sarang walet dapat dijadikan refrensi pengobatan khususnya untuk dokter gigi yang memiliki pasien DM,” pungkasnya. (Humas UGM/Ika)
Selain itu, gusi yang terinfeksi terlalu lama bisa mengakibatkan gangguan pada tulang penyangga gigi. Gigi menjadi tidak kuat untuk mengunyah makanan dan rentan untuk lepas sehingga pasien menjadi ompong.
Melihat kenyataan tersebut mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) dan Fakultas Farmasi UGM tergerak untuk melakukan penelitian untuk menemukan solusi bagi penderita diabetes yang acapkali mengalami luka pada bagian gusi. Mereka adalah Eufrasia Claudia, Lauda Pascha, Effendi Halim, dan Adityakrisna Yoshi dari FKG dan Dunstania Maria dari Fakultas Farmasi dibawah bimbingan drg. Juni Handajani, melakukan eksperimen menggunakan sarang walet untuk mempercepat penyembuhan luka gusi penderita diabetes.
Dunstania menyebutkan sarang walet yang digunakan merupakan air liur dari burung Aerodramus fuciphagus yang telah mengeras. Pemilihan bahan ini sebagai solusi obat karena berbagai khasiat yang dimilikinya. Dalam sarang walet mengandung sejumlah senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan khususnya bisamempercepat masa penyembuhan luka gusi. “Sarang walet mengandung asam sialat yang hanya diproduksi dari air liur, kalsium, glikoprotein dan Epidermal Growth Factor (EGF). Kandungan-kandungan inilah yang mampu untuk mempercepat penyembuhan luka di gusi,” urainya, Rabu (8/7) di Kampus UGM.
Komponen EGF pada sarang walet ini, kata dia, jumlahnya cukup banyak dan mampu menutup luka serta garis luka pada daerah yang rusak. Disamping hal itu, EGF juga membantu pembentukan sel-sel baru dan mempengaruhi sel disekitarnya untuk regenerasi sehingga proses penutupan sel yang rusak dapat cepat terobati. “Gel sarang walet yang kami namai swiftlet gel ini didapatkan dengan cara mengekstraksi sarang walet dengan air dan ditambah zat pengental. Untuk menjamin mutu dari gel sarang walet dilakukan sterilisasi dengan sinar UV,” terangnya.
Guna mengetahui khasiat sarang walet, Dunstania dan keempat rekannya melakukan uji coba pada hewan uji yakni tikus galur Sprague dawley sebanyak 24 ekor yang dibagi menjadi dua kelompok. Sebelum dilakukan pengujian, sebelumnya seluruh tikus diinduksi zat Streptozotocin (STZ). Zat ini mampu untuk menaikan kadar gula darah mamalia seperti tikus. Setelah pemberian zat tersebut terjadi peningkatan kadar gula darah tikus yang normalnya kurang dari 110 mg/dL meningkat mencapai 300-500 mg/dL. “Peningkatan kadar gula darah tikus ini diindikasikan bahwa tikus telah mengalami penyakit diabetes melitus,” ujarnya.
Selanjutnya tikus yang telah terkena DM diberi perlukaan di bagian rongga mulut. Setelah tikus mengalami luka di rongga mulutnya, kelompok tikus perlakuan diberi obat menggunakan gel sarang walet sementara kelompok kontrol positif diberi gel yang mengandung Aloe vera selama 14 hari. Dari hasil pengamatan pada hari ke-3,7,10 dan 14 menunjukkan bahwa pada kelompok tikus perlakuan dengan gel sarang walet, lukanya telah menutup sempurna.
“Dari pengamatan mikroskop, sel epitel disekitar luka sudah halus, serabut kolagen yang terbentuk sudah banyak dan mulai memadat sehingga bisa mendukung jaringan di atasnya. Jumlah sel pembuluh darah yang terbentuk pun lebih banyak dibandingkan dengan kelompok tikus yang diaplikasikan gel aloclair,” imbuh Effendy Halim.
Effendy mengatakan dari hasil tersebut memperlihatkan sel telah mengalami penyembuhan. Sel-sel rusak mulai tergantikan dengan sel baru yang menandakan bahwa luka telah sembuh. Penggunaan gel sarang walet ini mampu memberikan efek sembuh 3 hari lebih cepat dibandingkan dengan pengobatan kontrol positif. “Gel sarang walet ini memiliki potensi yang besar bagi pasien DM yang sering mengalami kesulitan penyembuhan luka rongga mulut. Jadi, gel sarang walet dapat dijadikan refrensi pengobatan khususnya untuk dokter gigi yang memiliki pasien DM,” pungkasnya. (Humas UGM/Ika)
Sunday, July 5, 2015
Pemanfaatan Citra Inderaja dan SIG Untuk Penyusunan Model Daerah Rentan Kekeringan
Sebagian besar wilayah di Indonesia rentan mengalami kekeringan saat
musim kemarau tiba. Demikian halnya di sebagian wilayah Jawa Tengah dan
DIY . Musim kemarau yang panjang ini sangat mengganggu kegiatan
pertanian sehingga mempengaruhi tingkat kesejahteraan petani.
Dosen prodi Kartografi dan Penginderaan Jauh Fakultas Geografi UGM, Drs. Sudaryatno,M.Si., menyampaikan dengan memanfaatkan sistem informasi geografi (SIG) dapat digunakan untuk deteksi dini dan pemantaun wilayah yang dilanda kekeringan. Melalui interpretasi citra penginderaan jauh bia diperoleh berbagai informasi yang berguna untuk penentuan kekeringan lahan dan kekeringan pertanian. Misalnya, dari data citra Landsat 8 dapat diketahui informasi tentang kondisi drainasi, bentuk lahan, dan penggunaan lahan. “Informasi tersebut bisa dipakai untuk menentukan tingkat kerentanan dan kekeringan lahan di suatu wilayah,”terangnya, Selasa (16/6) saat menjalani ujian terbuka program doktor di Fakultas Geografi UGM.
Sudaryatno mengatakan dari saluran merah dan infra merah citra MODIS dapat menghasilkan informasi indeks vegetasi (NDVI). Sedangkan dari saluran termal citra MODIS melalui proses ekstraksi suhu permukaan dihasilkan informasi sebaran suhu permukaan (LST). Sementara dari citra STRM bisa diketahui informasi mengenai kontur yang kemudian diolah menjadi peta kemiringan lereng sebagai input penyusunan satuan lahan. Dari penelitian yang dilakukan di wilayah Jawa Tengah dan DIY diperoleh tingkat ketelitian nilai NDVI sebesar 80 persen dan nilai ketelitian nilai ekstraksi suhu citra terhadap suhu lapangan 84,87 persen, dan uji ketelitian kekeringan lahan menggunakan data lapangan diperoleh ketelitian 91 persen.
Menurut Sudaryatno dari data-data fisik lahan itu bisa disusun peta kekeringan lahan yang berguna untuk menilai kemampuan lahan terhadap dampak kekurangan air. Paremeter paling dominan dalam penentuan tingkat kerentanan kekeringan lahan adalah bentuk lahan dan tanah. Hasil penelitian menunjukkan di zona utara meliputi Kabupaten Brebes, Tegal, Kota Tegal, Pemalang, Pekalongan, Kota Pekalongan BatangKendal, Kota Semarang, Demak, Kudus, Jepara, Pati, Grobogan, Rembang dan Blora mengalami tingkat kekeringan lahan tinggi dijumpai di sebagian besar wilayah terutatama sisi timur zona ini karena adanya perbukitan Kendeng yang berbatuan gamping.
Sementara di bagian zona tengah yaitu Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Wonosobo, Temanggung, Magelang, Kota Magelang, Boyolali, Selman, Kota Yogyakarta, Semarang, Kota Salatiga, Klaten, Sukoharjo, Kota Surakarta, Karanganyar, dan Sragen mengalami kekeringan lahan tinggi dikarenakan faktor kereng yang terjal di daerah pegunungan. Sedangkan di zona selatan kekeringan lahan tinggi lebih dipengaruhi dari topografi karst. Zona selatan mencakup Kabupaten Cilacap, Kebumen, Purworejo, Kulon Progo, Bantul, Gunung Kidul, dan Wonogiri.
Saat mempertahankan disertasi berjudul Integrasi Citra Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Untuk Penyusunan Model Kerentanan Kekeringan (Kasus di Jawa Tengah dan DIY), Sudaryatno mengatakan model kerentanan kekeringan wilayah yang dibentuk dari tumpang susun peta kekeringan meteorologi, peta kekeringan lahan dan peta kekeringan pertanian dapat diamati secara spasial dari bulan ke bulan. Suatu wilayah yang potensial masuk pada kekeringan lahan namun jika curah hujan tinggi maka di wilayah tersebut tidak terjadi kekeringan demikian pula sebaliknya.
Hasil penelitian memperlihatkan di zona utara daerah penelitian awal kekeringan sudah terasa mulai bulan April dengan tingkat kekeringan tinggi dan puncak kekeringan pada bulan Juni-September. Pada zona tersebut semakin ke arah timur tingkat kekeringan yang terjadi semakin tinggi dengan cakupan wilayah yang lebih luas dibanding wilayah barat. Sementara zona selatan kekeringan dimulai sejak April dengan puncak kekeringan mulai Juni-September. Di wilayah itu kekeringan terjadi semakin tinggi mengarah ke timur dengan cakupan wilayah yang lebih luas dibandingkan wilayah barat. Selanjutnya di zona tengah awal kekeringan mulai terilhat bulan Mei dan puncak kekeringan di bulan Agustus-September dengan tingkat kekeringan sedang dengan cakupan luwas wilayah yang terdampak kekeringan tingkat tinggi tidak seluas wilayah di zona selatan maupun utara. (Humas UGM/Ika)
Dosen prodi Kartografi dan Penginderaan Jauh Fakultas Geografi UGM, Drs. Sudaryatno,M.Si., menyampaikan dengan memanfaatkan sistem informasi geografi (SIG) dapat digunakan untuk deteksi dini dan pemantaun wilayah yang dilanda kekeringan. Melalui interpretasi citra penginderaan jauh bia diperoleh berbagai informasi yang berguna untuk penentuan kekeringan lahan dan kekeringan pertanian. Misalnya, dari data citra Landsat 8 dapat diketahui informasi tentang kondisi drainasi, bentuk lahan, dan penggunaan lahan. “Informasi tersebut bisa dipakai untuk menentukan tingkat kerentanan dan kekeringan lahan di suatu wilayah,”terangnya, Selasa (16/6) saat menjalani ujian terbuka program doktor di Fakultas Geografi UGM.
Sudaryatno mengatakan dari saluran merah dan infra merah citra MODIS dapat menghasilkan informasi indeks vegetasi (NDVI). Sedangkan dari saluran termal citra MODIS melalui proses ekstraksi suhu permukaan dihasilkan informasi sebaran suhu permukaan (LST). Sementara dari citra STRM bisa diketahui informasi mengenai kontur yang kemudian diolah menjadi peta kemiringan lereng sebagai input penyusunan satuan lahan. Dari penelitian yang dilakukan di wilayah Jawa Tengah dan DIY diperoleh tingkat ketelitian nilai NDVI sebesar 80 persen dan nilai ketelitian nilai ekstraksi suhu citra terhadap suhu lapangan 84,87 persen, dan uji ketelitian kekeringan lahan menggunakan data lapangan diperoleh ketelitian 91 persen.
Menurut Sudaryatno dari data-data fisik lahan itu bisa disusun peta kekeringan lahan yang berguna untuk menilai kemampuan lahan terhadap dampak kekurangan air. Paremeter paling dominan dalam penentuan tingkat kerentanan kekeringan lahan adalah bentuk lahan dan tanah. Hasil penelitian menunjukkan di zona utara meliputi Kabupaten Brebes, Tegal, Kota Tegal, Pemalang, Pekalongan, Kota Pekalongan BatangKendal, Kota Semarang, Demak, Kudus, Jepara, Pati, Grobogan, Rembang dan Blora mengalami tingkat kekeringan lahan tinggi dijumpai di sebagian besar wilayah terutatama sisi timur zona ini karena adanya perbukitan Kendeng yang berbatuan gamping.
Sementara di bagian zona tengah yaitu Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Wonosobo, Temanggung, Magelang, Kota Magelang, Boyolali, Selman, Kota Yogyakarta, Semarang, Kota Salatiga, Klaten, Sukoharjo, Kota Surakarta, Karanganyar, dan Sragen mengalami kekeringan lahan tinggi dikarenakan faktor kereng yang terjal di daerah pegunungan. Sedangkan di zona selatan kekeringan lahan tinggi lebih dipengaruhi dari topografi karst. Zona selatan mencakup Kabupaten Cilacap, Kebumen, Purworejo, Kulon Progo, Bantul, Gunung Kidul, dan Wonogiri.
Saat mempertahankan disertasi berjudul Integrasi Citra Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Untuk Penyusunan Model Kerentanan Kekeringan (Kasus di Jawa Tengah dan DIY), Sudaryatno mengatakan model kerentanan kekeringan wilayah yang dibentuk dari tumpang susun peta kekeringan meteorologi, peta kekeringan lahan dan peta kekeringan pertanian dapat diamati secara spasial dari bulan ke bulan. Suatu wilayah yang potensial masuk pada kekeringan lahan namun jika curah hujan tinggi maka di wilayah tersebut tidak terjadi kekeringan demikian pula sebaliknya.
Hasil penelitian memperlihatkan di zona utara daerah penelitian awal kekeringan sudah terasa mulai bulan April dengan tingkat kekeringan tinggi dan puncak kekeringan pada bulan Juni-September. Pada zona tersebut semakin ke arah timur tingkat kekeringan yang terjadi semakin tinggi dengan cakupan wilayah yang lebih luas dibanding wilayah barat. Sementara zona selatan kekeringan dimulai sejak April dengan puncak kekeringan mulai Juni-September. Di wilayah itu kekeringan terjadi semakin tinggi mengarah ke timur dengan cakupan wilayah yang lebih luas dibandingkan wilayah barat. Selanjutnya di zona tengah awal kekeringan mulai terilhat bulan Mei dan puncak kekeringan di bulan Agustus-September dengan tingkat kekeringan sedang dengan cakupan luwas wilayah yang terdampak kekeringan tingkat tinggi tidak seluas wilayah di zona selatan maupun utara. (Humas UGM/Ika)
Friday, July 3, 2015
Tidak Miliki Kemampuan Fonologi, Sulit Pahami Ujaran Bahasa Inggris
Memahami ujaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing tidaklah mudah
bagi mereka yang berlatar bahasa non-bahasa Inggris. Salah satu faktor
yang sering disebut sebagai penyebab terjadinya kesulitan dalam proses
memahami ujaran bahasa Inggris adalah keterbatasan kosakata yang
dimiliki seseorang.
Pernyataan tersebut dinilai logis, karena kosakata merupakan jantung bahasa, ia sebagai prasyarat keberhasilan dalam proses mendengarkan ujaran bahasa asing. Kosakata bersifat fundamental dalam proses informasi bahasa asing. Selain itu, kosakata menjadi syarat terjadinya komunikasi lisan sebab tanpa kosakata tidak ada yang dapat disampaikan.
"Meski begitu kosakata saja tidak cukup. Seseorang yang memiliki kosakata cukup memadai tidak selalu dapat secara konsisten menunjukkan kemampuannya dalam mendengarkan ujaran bahasa Inggris," ujar Drs. Adi Sutrisno, M.A., di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Kamis (2/7).
Adi Sutrisno menandaskan, kesulitan 'mendengarkan' ujaran bahasa Inggris tidaklah semata-mata disebabkan keterbatasan kosakata yang dimiliki seseorang, namun terkait pula dengan kemampuan individu mempersepsi ujaran secara fonologis. Hasil tes listening versi A dan B yang ia lakukan dalam desertasinya, memperlihatkan bahwa para subyek penelitian secara konsisten menunjukkan hasil yang lebih tinggi tes A daripada tes B.
"Implikasi dari temuan ini menyimpulkan seseorang yang tidak memiliki kemampuan mempersepsi ujaran secara fonologis akan mengalami kesulitan memahami ujaran bahasa Inggris," tandasnya dalam ujian terbuka guna memperoleh gelar doktor Ilmu Linguistik FIB UGM dengan bertindak selaku promotor Prof. dr. Soepomo Poedjosoedarmo dan ko-promotor Prof. Dr. Stephanus Djawanai.
Mempertahankan desertasi "Kesulitan Mempersepsi Bunyi Ujaran Bahasa Inggris sebagai Bahasa Asing di Indonesia dan Penyebab-Penyebabnya", Adi Sutrisno menjelaskan kemampuan mempersepsi bunyi ujaran menjadi kunci penting dalam proses pemahaman ujaran bahasa Inggris karena kemampuan ini bersentuhan langsung dengan proses decoding sinyal akustik dalam peristiwa komunikasi lisan. Menurutnya, proses ini rumit karena menyangkut elemen-elemen bunyi, perubahan kualitas bunyi vokal dan konsonan tertentu sebagai akibat dari adanya asimilasi ujaran yang disebabkan oleh keras lemahnya bunyi, ritme ucapan dan kompresi tempo ucapan.
"Ketika proses decoding berlangsung dengan lancar maka persepsi ujaran pun berjalan dengan benar. Sebaliknya manakala proses decoding mengalami hambatan dan bunyi ujaran tidak dapat diinterpretasi dengan benar, mispersepsi pun terjadi", jelas dosen FIB UGM Jurusan Sastra Inggris. (Humas UGM/ Agung)
Pernyataan tersebut dinilai logis, karena kosakata merupakan jantung bahasa, ia sebagai prasyarat keberhasilan dalam proses mendengarkan ujaran bahasa asing. Kosakata bersifat fundamental dalam proses informasi bahasa asing. Selain itu, kosakata menjadi syarat terjadinya komunikasi lisan sebab tanpa kosakata tidak ada yang dapat disampaikan.
"Meski begitu kosakata saja tidak cukup. Seseorang yang memiliki kosakata cukup memadai tidak selalu dapat secara konsisten menunjukkan kemampuannya dalam mendengarkan ujaran bahasa Inggris," ujar Drs. Adi Sutrisno, M.A., di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Kamis (2/7).
Adi Sutrisno menandaskan, kesulitan 'mendengarkan' ujaran bahasa Inggris tidaklah semata-mata disebabkan keterbatasan kosakata yang dimiliki seseorang, namun terkait pula dengan kemampuan individu mempersepsi ujaran secara fonologis. Hasil tes listening versi A dan B yang ia lakukan dalam desertasinya, memperlihatkan bahwa para subyek penelitian secara konsisten menunjukkan hasil yang lebih tinggi tes A daripada tes B.
"Implikasi dari temuan ini menyimpulkan seseorang yang tidak memiliki kemampuan mempersepsi ujaran secara fonologis akan mengalami kesulitan memahami ujaran bahasa Inggris," tandasnya dalam ujian terbuka guna memperoleh gelar doktor Ilmu Linguistik FIB UGM dengan bertindak selaku promotor Prof. dr. Soepomo Poedjosoedarmo dan ko-promotor Prof. Dr. Stephanus Djawanai.
Mempertahankan desertasi "Kesulitan Mempersepsi Bunyi Ujaran Bahasa Inggris sebagai Bahasa Asing di Indonesia dan Penyebab-Penyebabnya", Adi Sutrisno menjelaskan kemampuan mempersepsi bunyi ujaran menjadi kunci penting dalam proses pemahaman ujaran bahasa Inggris karena kemampuan ini bersentuhan langsung dengan proses decoding sinyal akustik dalam peristiwa komunikasi lisan. Menurutnya, proses ini rumit karena menyangkut elemen-elemen bunyi, perubahan kualitas bunyi vokal dan konsonan tertentu sebagai akibat dari adanya asimilasi ujaran yang disebabkan oleh keras lemahnya bunyi, ritme ucapan dan kompresi tempo ucapan.
"Ketika proses decoding berlangsung dengan lancar maka persepsi ujaran pun berjalan dengan benar. Sebaliknya manakala proses decoding mengalami hambatan dan bunyi ujaran tidak dapat diinterpretasi dengan benar, mispersepsi pun terjadi", jelas dosen FIB UGM Jurusan Sastra Inggris. (Humas UGM/ Agung)
Subscribe to:
Posts (Atom)