Kanker merupakan penyakit yang cukup ditakuti dan membawa risiko besar penyebab kematian bagi penderitanya. WHO memprediksi akan terjadi peningkatan jumlah penderita kanker hingga 50 persen dalam rentang waktu tahun 2000 hingga 2020. Penyakit ini juga telah menjadi penyebab kematian keenam di Indonesia.
Terapi kimia atau kemoterapi merupakan salah satu upaya yang telah lama dilakukan untuk pengobatan kanker. Kendati begitu, kemoterapi masih belum memberikan hasil yang memuaskan untuk penanganan kanker. “Tak jarang ditemukan efek samping yang tidak dikehendaki dari penggunaan bahan-bahan kimia dalam pengobatan kanker,” kata Direktur PT Asindo Husada Bhakti, Oswald T. Tampubolon, Selasa (3/7) dalam Seminar Nasional “Herbal untuk Terapi Kanker” di Fakultas Farmasi UGM.
Oswald mengatakan meskipun obat kimiawi bersifat tajam dan reaktif terhadap tubuh, penangan kanker kebanyakan masih dilakukan dengan terapi kimia. Sementara itu, pengobatan herbal masih kurang begitu diminati masyarakat. “Selama ini pengobatan herbal hanya sebagai komplementer saja. Pengobatan secara herbal baru dilakukan karena melihat tipisnya kemungkinan untuk sembuh dan harga obat kimia yang mahal,” terang mantan peneliti LIPI ini.
Disebutkan Oswald bahwa obat yang berasal dari tanaman herbal dengan indikasi yang sama, pada umumnya tidak pernah bertentangan satu sama lain layaknya obat kimia sehingga dapat digunakan sebagai ramuan yang efektif melawan kanker. Secara alami, terutama buah-buahan mengandung zat kompleks yang dapat dikembangkan untuk pengobatan berbagai penyakit, termasuk kanker. “Semakin banyak jenis buah yang digunakan akan dihasilkan suatu bahan obat yang mempunyai spektrum luas,” tuturnya.
Meskipun pemakaian bahan herbal jarang menimbulkan efek samping pada penderita, dalam perkembangannya pengobatan ini kalah cepat dibandingkan dengan secara kimiawi. Salah satunya disebabkan obat yang tidak selalu tersedia setiap saat. Sementara itu, obat kimia relatif jauh lebih mudah didapat karena dibuat melalui sintesa sehingga dapat dibuatkan standar baku untuk dapat digunakan dalam skala produksi. “Dengan alasan ekonomis dan kontinuitas produk inilah para pemilik modal cenderung memanfaatkan bahan obat kimiawi,” jelasnya.
Ketua Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC) Fakultas Farmasi UGM, Prof. Dr. Edy Meiyanto, M.Sc., Apt., dalam kesempatan tersebut menyampaikan penanganan kanker salah satunya dilakukan dengan kemoprevensi. Kemoprevensi diperkenalkan untuk membuka alternatif penanganan masalah kanker dengan penggunaan agen, baik berupa bahan sintetik maupun herbal secara tunggal ataupun campuran untuk mencegah, menghambat, dan mengembalikan fungsi normal tubuh.
Edy menuturkan pada awalnya agen kemoprevensi ditujukan untuk mencegah perkembangan tumor pada awal karsinogenesis sebelum terjadi invasi dan metastasis. Namun, dalam perkembanganya agen ini dapat digunakan sebagai agen komplementer untuk meningkatkan efikasi agen kemoterapi, salah satunya pada penggunaan doxorubicin. Penggunaan doxorubicin sebagai agen kemoterapi dalam pengobatan kanker payudara menunjukkan efektivitas yang rendah serta menimbulkan toksisitas pada jaringan normal.
Lebih lanjut Edy mengatakan persoalan tersebut dapat diatasi dengan penggunaan agen kemoperventif yang dikombinasikan dengan agen kemoterapi. Selain dapat mengatasi resistensi sel kanker, kombinasi tersebut juga dapat meningkatkan efektivitas agen kemoterapi. “Kombinasi ini diharapkan mampu meningkatkan efektivitas dan mengurangi toksisitas obat untuk jaringan normal sehingga lebih efektif dalam memerangi sel-sel kanker,” pungkasnya. (Humas UGM/Ika)
No comments:
Post a Comment